Pakan sempak adalah istilah untuk mengumpan ikan yang hendak ditangkap dengan cara menebar pakan, baik untuk ikan piaraan di kolam maupun ikan yang hidup liar di danau atau berawang (telaga). Biasanya umpan ini ditebar di lokasi yang memudahkan penangkapan. Begitu ikan berkerumun memperebutkan makanan saat itulah jala atau jaring atau sauk dimainkan. Tanpa susah payah ikan dalam jumlah lumayan akan didapat. Makna konotatif dari “pakan sempak” tidak jauh beda dengan prinsip dalam ilmu ekonomi, dengan modal yang sekecil-kecilnya akan diperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Jelas filosofi di balik prinsip ini adalah kapitalisme.
Akhir-akhir ini istilah “pakan sempak” semakin santer terdengar, tapi bukan dari para nelayan melainkan dari kalangan profesi kerah putih, yaitu kontraktor (pemborong) pekerjaan jasa konstruksi atau pekerjaan jasa pengadaan/supplier. Modusnya bila ingin dapat proyek, jauh-jauh hari sebelum pekerjaan itu ditenderkan kontraktor harus menservis bouwhier dengan iming iming sang kontraktor akan diberi satu atau beberapa proyek, baik melalui tender atau melalui pe el (penunjukkan langsung). Sudah barang tentu nilai proyek yang dijanjikan besarnya berkali lipat dibanding dengan nominal jasa sempak pakan.
Samakah sempak pakan ala nelayan kerah dekil dengan servis kelas satu ala kontraktor kerah putih? Jelas beda bung! Pertama dari aspek inisiatif, siapa yang bekenak (memulai). Sempak pakan ala nelayan inisiatifnya jelas inisiatif sepihak karena ikan tidak mungkin berunding dengan ikan. Tidak ada janji atau jaminan akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
Lain halnya sempak pakan ala kontraktor, inisiatifnya bisa jadi dari si pemborong dan bisa juga sebaliknya, dari si bouwhier. Keduanya telah terjadi proses simbiosis mutualisme, pemborong perlu pada bouwhier begitu juga sebaliknya. Bukan lagi timba yang mencari sumur tetapi bisa juga sebaliknya, sumurnya yang gentayangan mencari timba. Sudah pasti juga dalam proses ini terjadi saling memadu janji “sehidup-semati” untuk mendapatkan proyek. Si “sumur” kadang beralasan bahwa ia juga perlu modal untuk sempak pakan di lokasi yang berbeda, di parlemen dimana tukang ketok palu memegang kendali.
Konon pakan sempak mulai ditebar pada saat rancangan anggaran belanja sedang dibahas. Bisa jadi sang kontraktor yang merasa perlu untuk mengikat jasa agar nanti diantara proyek- proyek yang disahkan sebagai anggaran tahun ini terdapat satu atau lebih pekerjaan yang digiring/diarahkan untuk dikerjakan olehnya, bisa jadi pula sang bouwhier yang merasa perlu meyakinkan panitia anggaran bahwa proyek proyek yang dia usulkan itu adalah pekerjaan yang menjadi prioritas utama di sub sektornya dibanding dengan pekerjaan di sub sektor yang lain sehingga perlu dialokasikan anggarannya.
Otomatiskah si kontraktor/pemborong mendapat proyek? Belum tentu. Yang sering terjadi proyek yang dimaksud hanya isapan jempol belaka. Kalau sudah begitu si bouwhier dengan lihai berkelit bahwa awak parlemen ternyata ingkar janji. Proyek yang dinanti tidak gol karena ada tangan-tangan dari bur atau kekuatan paloh yang tarik-menarik, dan seribu satu alasan lainnya. Bouwhier dengan enteng malah menjanjikan proyek baru kepada sang pemborong di anggaran tahun depan, tapi sekali lagi, servisnya dulu, mas!. Bagai kerbau dicucuk hidung pemborong yang lugu mengiyakan saja.
Menjelang pilkada ini para penyempak pakan dan bouwhier diyakini kembali bergentayangan, saling berspekulasi, memangsa atau dimangsa. Dua-duanya sebetulnya mengharap rezeki ala harimau; perut boleh keroncongan tapi begitu dapat bisa nabung untuk satu tahun tak usah kerja. Belakangan ini melalui beberapa media massa, baik media cetak maupun media elektronik para fakar seringkali menyebut mereka dengan gelar-gelar yang cukup mentereng seperti “mafia anggaran, mafia pemilukada, mafia proyek, mafia hukum “ dan entah mafia apalagi yang nanti akan lahir.
Kepada para pencari proyek sebaiknya harus sedikit berhati-hati dalam menginvestasikan dananya menjadi pakan sempak, karena sebentar lagi para penguasa di 18 negeri akan berganti yang “menurut dalil edet” bila terjadi penggantian penguasa tentu saja kabinetnya juga turut berganti. Jangan sampai pakan terlanjur di-sempak eh tiba tiba si mak comblang dilengserkan oleh penguasa baru sehingga sang penyempak pakan terpaksa harus “tetok lekum”, masih untung daripada cari tali rapia langsung owek (gantung diri).
*Penulis adalah Pemerhati Sosial-Politik. Bermukim di Banda Aceh