Bahasa Berbudaya
Oleh: Joni MN, S.Pd.,S.Pd.I., M.E.L.T*
Linguis (ahli bahasa) dan Antropolog telah lama mengakui bahwa bentuk dan penggunaan bahasa tertentu mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat dimana bahasa tersebut diucapkan (Krasner, 1999)[1]. Perlu disadari, misalnya, dari cara pengiriman yang berbudaya ke alamat orang, mengekspresikan rasa terima kasih, mengungkapkan permintaan, dan setuju atau tidak setuju dengan seseorang. Mereka harus tahu bahwa perilaku dan pola intonasi yang tepat dalam pidato mereka sendiri, mungkin dirasakan berbeda oleh anggota masyarakat tutur dari bahasa target. Agar komunikasi (penggunaan bahasa) dapat berjalan dengan baik, maka harus dikaitkan dengan perilaku budaya masyarakat tempatan.
Salah satu cara mengajarkan budaya melalui bahasa adalah dengan menggunakan teks-teks sastra. Teks tersebut mengandung budaya setempat. Di dataran tinggi Gayo milsanya, salah satunya, terdapat cerita Putri Pukes. Dalam teks tersebut, tersirat nilai-nilai atau pesan moral, seperti anak harus patuh kepada perintah orang tuanya dan gambaran tahapan tata cara perkawinan menurut adat istiadat dalam masyarakat Gayo. Disamping itu, para muda-mudi, anak-anak muda, siswa bahkan mahasiswa akan mengenal pelbagai istilah yang dipakai orang tua zaman dahulu, seperti munenes, mujule rempele, dan lain-lain. Dengan demikian, siswa akan mengenal budayanya sendiri termasuk di dalamnya nilai-nilai dan norma-norma.
Dengan mengenal budaya sembari menerapkan pembelajaran bahasa baik bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tambah bahasa yang lain, para peserta didik akan lebih hati-hati ketika mereka akan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Dengan pengertian lain, mereka akan lebih menjaga kesopanan dalam berkomunikasi. Dalam banyak hal, budaya yang diajarkan secara implisit tertanam di bentuk-bentuk linguistik. Dengan demikian, siswa yang sedang belajar menyadari fitur-fitur budaya yang tercermin dalam bahasa yang mereka gunakan.
Seorang guru bahasa Inggris sebagai pengajar dan pendidik bahasa asing dan bahasa kedua bisa membantu siswa untuk lebih memahami sosial-komunikasi yang sesuai. Sebagai contoh, saat membuat kalimat permintaan yang menunjukkan rasa hormat, “Hei kamu, come here, atau datang ke sini.” Kata permintaan ini, benar menurut ilmu bahasa. Tetapi, kalimat tersebut tidak mencerminkan bahasa atau cara berbudaya yang tepat bagi siswa atau guru. Jadi, siswa akan menguasai bahasa hanya ketika mereka belajar dengan baik atau dalam kondisi yang baik pula, yaitu dengan cara mengenal ilmu bahasa dan norma budaya yang mereka miliki.
Dengan mengajarkan bahasa melalui pemakaian perangkat-perangkat budaya setempat, maka peserta belajar tidak akan kehilangan ciri-ciri mereka. Dan, mereka selalu memiliki citra yang berfungsi sebagai alat memperkenalkan atau identitas diri pengguna bahasa itu.
Kesantunan Berbahasa Masyarakat Gayo
Masyarakat Gayo, khususnya yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh sangat mengedepankan kesopanan dalam berinteraksi. Gambaran tersebut tertuang dalam falsafah mereka, yaitu “remalan bertungket peri serta berabun.” Maksudnya, kalau berjalan bertongkat. Artinya, saat bertindak, hendaklah mengikuti aturan dan beradab untuk tidak saling merugikan baik perasaan maupun meteri. Sementara itu, peri serta berabun berarti bahwa setiap berbicara haruslah memperhatikan kepada dan atau dengan siapa kita berbicara. Saat berinteraksi janganlah terlalu blak-blakan. Sebagai tambahan, kalau orang itu salah, sampaikanlah dengan cara halus, dan lain-lain. Cara ini sangat efektif dipakai dalam dunia pendidikan, khususnya dalam mengajarkan bahasa. Juga, berfungsi untuk melatih ketajaman nalar seseorang. Karena, setiap mereka mendengar kata dari lawan bicaranya, mereka selalu memfungsikan alat penganalisaan guna mendapatkan sebuah makna dari kata yang di dengar.
Fungsi dari bahasa yang bermoral ini adalah untuk saling menjaga hubungan, keberhasilan berinteraksi, keberlangsungan komunikasi, dan saling menghargai penutur dengan lawan bicaranya. Menurut penulis, masih banyak manfaat-manfaat lain dalam kehidupan manusia tersebut. Hal terebut pernah dinyatakan Leech (1983) dalam bukunya yang bertajuk Positive Politeness Strategies in Oral Communication I Textbooks[2]
listed three roles of address terms as vocatives. The first is that of getting attention, the second is that of identifying addressees, and the third is to establish or maintain a social relationship between the speaker and the addressee(s). The third one is considered to work as a positive politeness.
To distinguish the address terms used as positive politeness strategies, the following criteria are set up and only the ones fit in them were counted.
1. The address terms at the beginning of the sentence are not counted. However, if the address terms appear after the first turn of the conversation and unless there are more than two speakers, they will be counted.
2. The address terms in the middle of sentences are counted as positive politeness strategies unless there are more than two speakers.
3. The address terms at the end of the sentence are counted as positive politeness strategies unless there are more than two speakers.
Seperti yang dijelaskan di atas, setiap penutur diharapkan memahami situasi dan kondisi, karena sangat menentukan keberhasilan pada saat penutur mengirimkan pesan (addressee) kepada penerima pesan (addresser). Apabila hal tersebut berjalan dengan lancar, keintiman saat berinteraksi dan persahabatan juga akan terjaga. Sebaliknya, pada saat lawan bicara menggunakan strategi yang tidak sesuai, akan menyebabkan gangguan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, pengguna bahasa baik bahasa Inggris maupun bahasa yang lain dianjurkan untuk menguasai konsep-konsep budaya lawan bicara (masyarakat tempatan). Dalam bahasa Inggris, ada dua konsep yaitu kesopanan dan keramahan yang merupakan dua konsep yang sama. Konsep tersebut terkandung pula dalam bahasa Gayo.
* Dosen & Ketua Lembaga Bahasa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengen
[1] ELIZABETH PETERSON AND BRONWYN COLTRANE, CENTER FOR APPLIED LINGUISTICS “Culture in Second Language Teaching” U.S. Dept. of Education, Office of Educational Research and Improvement, National Library of Education, under contract no. ED-99-CO-0008. The opinions expressed do not necessarily reflect the positions or policies of ED, OERI, or NLE.
[2] Leech “Positive Politeness Strategies in Oral Communication I Textbooks” Focusing on Terms of address The Economic Journal of Takasaki City University of Economics vol.52 No.1 pp.59-70. 2009.