Menyingkap Misteri Lailatul Qadr

Yusra Habib Abdul Gani*

PADA malam ”lailatul qadr”, dilancarkan ”Operasi Kemuliaan” yang menerjunkan team gabungan Malaikat, terkait dengan missi penyebaran dan pembagian: keberkahan, pahala dan kebajikan; yang diperkirakan terjadi dalam rentang masa 10 hari menjelang berakhirnya bulan ramadhan. Banyak hadits yang menyebut demikian. Tetapi pada umumnya mengatakan bahwa ”lailatul qadr” terjadi pada malam ke-27. Sebab ada teori mengatakan: kalimat ”lailatul qadr” terdiri dari 9 huruf, sebanyak 3 kali disebut, sehingga menghasilkan: 9 x 3 = 27. Atas dasar itu pula di beberapa negara Arab, Nuzulul qur’an diperingati setiap 27 dan 17. Ramadhan. Operasi ini berlangsung dibawah arahan langsung dari Allah. ”Pada malam itu turun para Malaikat dengan seizin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.” (Q: Al-Qadr, ayat 4).

Yang menjalankan puasa, shalat Tarawéh dan ibadah lain berharap agar terjaring dalam operasi yang membawa paket keberkahan yang ganjarannya = beribadah selama 1000 bulan (83 tahun 4 bulan) dalam perkiaraan waktu manusia. Maha Kuasa dan Maha Pengasih Engkau ya Allah! Dalam konteks inilah, Imam Al-Ghazali berkata: ”Kenikmatan dimaksud hanya bisa digapai oleh mereka yang tingkatan puasanya sudah mencapai ’khuwasul khuwashah’, yakni: orang-orang yang mampu berpuasa dengan meningkatkan dan mengembangkan kesadaran hati (the heart councious) setelah lolos dari pelbagai godaan pancaindera.”

Proses terjadinya lailatul qadr tidak akan mampu dicerna oleh logika, tanpa dibantu oleh kajian tentang hubungan waktu, kecepatan cahaya dan tingkatan sepiritual manusia. Untuk itu, ”The big idea: Einstein and Relativity” (1997) karya Paul Strathern, yang mengisahkan pengalaman seorang Ayah berusia muda (27 tahun) terbang ke ruang angkasa dengan kenderaan yang kecepatannya mendekati kecepatan cahaya. Saat ia meninggalkan bumi, anaknya baru berumur 3 tahun, akan tetapi 30 tahun kemudian (perkiraan waktu bumi), ayahnya landing ke bumi. Betapa terkejut saat mendapati anaknya sudah berumur 33 tahun. Padahal berdasarkan perkiraan ayah, waktu yang dialaminya mengikut putaran jarum jam di tangannya berkisar hanya 3 tahun. Artinya, usia anaknya 3 tahun lebih tua daripada sang ayah.

Kisah ini membantu menyibak tabir tentang misteri waktu dan pergerakan benda-banda alam, yang oleh para ahli fisika berpendapat bahwa: perjalanan fisik tidak mungkin dilakukan seseorang, sebab jasad akan hancur berkeping-keping, jika bergerak yang kecepatannya mendekati kecepatan cahaya. Agustinus dalam karyanya: ”Confessioness” menyimpulkan: ”phenomena waktu tidak akan bisa ditemukan jawabannya secara pasti tanpa melibatkan pengalaman seseorang terhadap suatu peristiwa.” Artinya: soal waktu adalah sah bersifat subyektif. Misalnya: pengalaman seseorang tengah bercinta yang merasakan singkatnya waktu, dibanding pengalaman seseorang sedang kedinginan dalam salju yang merasakan beberapa saat, seakan-akan telah berjam-jam.

Dengan bantuan penemuan tentang perbedaan waktu dan gerak perputaran benda-benda alam tadi, bisa dikaitkan langsung dengan dalil relativitas waktu Albert Einstein, yang mengaku: ”waktu berhubungan erat dengan pengalaman seseorang dalam suatu peristiwa, sekaligus menentukan lama atau cepatnya waktu.” Jika hal ini di-asosiasikan dengan cerita pemuda Kahfi yang tertidur selama 309 tahun, akan muncul pertanyaan: Benarkah tertidur selama jangka masa itu? Pengalaman pemuda Kahfi, membuka tabir tentang perbedaan waktu, yang secara matematik disebut dalam qur’an: ”Kadar kecepatan Malaikat, dalam sehari = 50 tahun” (dalam perhitungan manusia) (Q: Al-Ma’arij, ayat 4). ”sehari disisi Tuhanmu =1000 tahun dalam perhitunganmu” (Q: Al-Hajj, ayat 47). ”sehari = 1000 tahun lamanya dalam perhitunganmu” (Q: As-sajdah, ayat 5).

Secara logika, turunnya Malaikat pada lailatul qadr sungguh sulit dimengerti dan dipahami tanpa dibantu oleh penjelasan Prof. Bahaudin Mudhary, seorang pakar fisika sekaligus Ulama yang merumuskan dalil interdepensi jiwa, bahwa: manusia sebenarnya punya dimensi cahaya yang berteduh dalam jiwa-raganya sebagai ruh.

Menurut Mudhary: ”kualitas ruh inilah yang mampu mengubah persepsi seseorng tentang waktu” dan rahasia disebalik orang merasakan nikmat dalam durasi menit itu, hanya dapat dipahami, jikalau dihubungkan antara ruh (muatan amal) dan jasad yang dijabarkan serara ilmiah dengan postulat Albert Einstein: E = Mc2 (E= energi, m= massa dan c=kecepatan cahaya.) Dalam arti: c= potensi ruh (sepiritualitas) dan m= jasad (tubuh manusia).

Dengan melakukan hipothesa seperti ini, diketahui bahwa: “pengembangan ruhaniyah seseorang bisa melipat-gandakan seluruh potensi dirinya yang sekaligus memparkaya penghayatannya terhadap waktu.” (Bimo Satrio Widarto. “Lailatur Qadr dan fenomena waktu.” Republika, 5/11/2005).

Dari dalil Albert Einstein inilah Mudhary memperoleh inspirasi, hingga dia memberi tafsiran intensif –secara lain– kedalam dunia keagamaan dan tingkatan sepiritualitas seseorang (khususnya Islam), yakni: ruh “tercerahkan” yang bersemayam dalam jasad manusia, diartikan sebagai refleksi dari cahaya keimanan seseorang yang bisa bertemu dan bergabung dalam gelombang yang sama dengan sumber cahaya lain yang datang dari luar dirinya. Di saat kedua sumber cahaya ini bertemu, ianya akan melahirkan suatu kekuatan baru yang daya kekuatannya berlipat ganda.

Jadi, interpretasi Mudhary memastikan bahwa: jika gerakan ibadah fisik (m) yang sudah ditabung selama setahun, ditambah lagi dengan gerakan (ibadah khusyuk) pada malam lailatur qadr; yang dihidupkan oleh kesadaran tinggi, penghayatan dan penyerahan diri kepada Allah secara totalitas yang tercerahkan (c2); sudah tentu akan melahirkan ledakan energi dalam bentuk pahala, keberkahan dan kebajikan (E) yang muatannya menyamai dengan ibadah selama 1000 bulan. Dengan demikian, sangat relevan ucapan Fakhruddin Iraqi dalam: “Ghayah Al-Imkan fi Dirayah Al-Makan” bahwa: “semakin tinggi tingkatan sepiritual makhluk, maka ia semakin dekat dengan waktu Ilahi. Dalam hubungan ini, Qur’an menyebut: “Tahukah engkau malam kemuliaan itu? Yakni: malam kemuliaan yang lebih baik daripada 1000 bulan.” (Q: Al-Qadr, ayat 2-3).

Di malam “lailatul qadr” itu benar-benar bertabur keberkahan yang datang dari sisi Allah, membumi dan menghampiri hati orang-orang yang tingkat sepiritualnya sudah prima (karim dan ridha.) Keberkahan yang menjelma seketika dalam “sejuta rasa” itu, hanya terjadi dalam bulan ramadhan, sebagai jawaban dari “Ibadah puasamu semata-mata untuk-KU” (Hadits).

Apapun yang terjadi, yang pasti adalah: kehadiran cahaya-cahaya (Malaikat) yang mentating keberkahan ke setiap relung hati yang suci dan dalam, hanya bisa ditangkap oleh frekuensi cahaya yang sama, yakni: ruh-ruh yang tercerahkan. Ya Allah! Adakah kami termasuk dalam daftar (list) di malam “lailatul qadr” tahun ini, sebagai golongan yang akan mencicipi nikmat keberkahan yang Engkau limpahkan? Pintu hati kami terbuka, agar team gabungan Malaikat yang Engkau kirim; sudi kiranya singgah, menyerahkan keberkahan, “ribuan pesona” dan “jutaan rasa” yang Engkau taburkan untuk dikemas dalam bingkai sukma kami yang paling indah dan mendalam.

Hati ini bergetar menanti! Sebaliknya, jika Engkau merasa keberatan memberi keberkahan, insya-Allah kami tidak bersikap seperti orang Quraish, yang: “… tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang selayaknya…” dan ngomèl: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” (Q: Al-An’am, ayat 91), dikala mereka tidak kebagian apa-apa. Kami adalah kami; bukan Quraish yang tidak tahu mensyukuri nikmat. Kepada-Mu kami berserah, yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pemurah.

*Urang Gayo berdomisili di Denmark

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.