Meski pernah terpuruk akibat konflik yang melanda Aceh beberapa waktu silam,namun kini usaha kerawangnya tak pernah sepi order dari para penjual produk kerawang Gayo.
Suasana damai yang berjalan di Aceh kini telah memberikan peluang besar bagi masyarakat Aceh untuk melakukan berbagai aktivitas. Terutama bagi kaum perempuan, mereka bisa kian bebas berutinitas untuk membantu perekonomian keluarga.
Seperti yang terjadi di dataran tinggi tanoh Gayo. Kaum hawa di sana kembali menekuni pekerjaan yang lama ditinggalkan semasa konflik.Mulai dari mendepe biji kopi yang dipanen, hingga pembuatan kerajinan kerawang, sebagai ciri khas budaya Gayo.
Kerawang Gayo
Produksi beraneka ragam kerajinan yang bermotif Kerawang Gayo, hingga saat ini masih dipertahankan. Seperti yang dilakukan Ida Kerawang,38 tahun, penduduk Paya Serngi Kampung Timangan Gading Kecamatan Kebayakan.
Bagi Ida, membuat produk ukiran kerawang dalam berbagai produk, seperti tas, kopiah, dompet, bantalan kursi, opoh ulen-ulen, hingga pakaian kerawang, merupakan usaha utama sekaligus sumber utama ekonomi keluarga.
Ibu tiga anak ini sudah mulai menggeluti usaha kerajinan kerawang Gayo sejak duduk di bangku SMP (sekolah menengah pertama). Waktu itu ia sering membantu orangtuanya yang juga perajin kerawang Gayo. Bahkan lebih dari itu, ibunya merupakan tokoh penggerak kerawang Gayo yang mendapat Upakarti pada 1991 dari Presiden Soeharto..
Hal itu telah membangkitkan semangatnya untuk meneruskan perjuangan orangtuanya sebagai perajin kerawang. Setelah tamat SMA pada 1990, Ida serius menekuni kerawang Gayo di desanya Bebesen. Bahkan setelah menikah, usaha ini dijadikan sumber ekonomi keluarga.
Meski pernah terpuruk akibat konflik yang melanda Aceh beberapa waktu silam, namun kini usaha kerawangnya tak pernah sepi order dari para penjual produk kerawang.Omzet Rp 2 juta per bulan setelah dipotong gaji dua karyawannya.
“Penghasilan kotor per bulan Rp 4 juta, tapi setelah dipotong berbagai keperluan lainnya, termasuk gaji pekerja, yang tersisa setiap bulan cuma segitu,” ungkap Ida.
Produksi kerawang Gayo dikerjakan oleh kebanyakan perempuan karena pembuatannya membutuhkan kesabaran dan ketelitian.
“Selain itu, perempuan bisa lebih banyak di rumah. Kalau laki-laki kita suruh kerjakan itu, mudah jenuh dan tidak tahan duduk berjam-jam untuk menjahit,” papar Ida
Kelangkaan bahan baku dan sistem pengerjaan yang masih manual, merupakan kendala mendasar yang dirasakan perajin seperti Ida. Sedangkan kerajinan lainnya yang dikembangkan di daerah pesisir, sudah menggunakan teknologi komputer. Sehinggaproduk yang dihasilkan bisa dalam jumlah besar dalam waktu singkat.
“Kelemahan perajin kerawang Gayo di Takengon adalah pada mesin perakit. Masyarakat tidak sanggup membeli mesin bordir yang harganya sangat mahal. Selain kerawang Gayo, ada produk Gayo lainnya yang kini nyaris punah karena tidak tersedianya bahan baku. Seperti alas belintem,” ujar Ida.
Alas Belintem adalah produk tikar, dibuat dari bahan alami yang tumbuh di daerah rawa (dalam bahasa daerah Gayo disebut kertan). Alas belintem juga berbentuk warnawarni dengan berbagai motif khas Gayo yang menarik hati.
“Namun, bahan baku alas belintem seperti kertan, cike dan beldem, sudah tak lagi dibudidayakan warga, karena kini banyak masyarakat yang beralih ke tikar plastik dan ambal. Sehingga alas belintem kurang diminati lagi. Padahal pada saat pameran di BandaAceh beberapa waktu lalu, alas belintem bisa terjual Rp450.000- Rp 500.000, per tikar,” katanya.
Pemetik Kopi
Hal lainnya yang menunjukkan kesetaraan gender dalam masyarakat Aceh, di tanah Gayo adalah pada panen kopi tiba. Maka saksikanlah, puluhan perempuan mendominasi pekerja di kebun. Pohon kopi yang sudah ditanam dan dirawat kaum laki-laki, dimanfaatkan para perempuan untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pendepe.
Diiringi senda gurau dan gelak tawa, setiap pagi hari,rombongan ibu-ibu pemetikkopi ini dengan kain panjang sebagai penutup kepala, menyerbu perkebunan kopi warga. Mereka menenteng keranjang atau ember untuk menampung biji kopi masak.
Para perempuan ini mampu memanen kopi dalam satu hari mencapai delapan sampai sepuluh kaleng. Bagi yang sudah terbiasa, hal ini jadi mudah saja bagi mereka.
Dalam satu kaleng kopi dihargakan Rp 8.000-Rp10.000,.“Hal ini dilakukan biasanyakalau musim panen kopi saja. Tapi jika tidak, kami mengerjakan aktivitas lainnya sebagai ibu rumah tangga,”ungkap Inen Timah, 35 tahun,pemetik kopi.
Sekali datang musim panen, para pemetik kopi ini bisa mendapatkan penghasilan Rp250.000, sampai Rp 500.000 perminggu. Mereka tidak hanya bekerja di kampung masingmasing, tapi tak jarang kaum ibu yang bekerja sebagai pemetik kopi ini, menjelajah ke kampung tetangga atau bahkan di kecamatan berbeda.Tergantung permintaan pemilik kebun.
“Kalau musim panen kopi, suami saya tidak bekerja. Saya menitip anak-anak tinggal di rumah bersama bapaknya,”kata Inen. Pada saat musim panen kopi tiba, penghasilan perempuan pemetik kopi bisa melebihi gaji suami yang bekerja sebagai buruh kebun atau kuli bangunan.(Aman Shafa Nurillah)
(Sudah pernah dimuat di Tabloid TingkaP)