Menurut al-Ghazali anak adalah amanat bagi orang tuanya. Hatinya yang suci merupakan permata tak ternilai harganya, masih murni dan belum terbentuk. Orang tuanya merupakan arsitek atau pengukir kepribadian anaknya. Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak di kandungan hingga meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Tidak ada satu pun makhluk ciptaan Tuhan di atas bumi yang dapat mencapai kesempurnaan hidup tanpa berlangsung melalui suatu proses. Akan tetapi, suatu proses yang diinginkan dalam usaha kependidikan adalah proses yang terarah dan bertujuan, yaitu mengarahkan anak didik kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak di capai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai mahluk social untuk mengabdi kepada Tuhan yang maha esa.
Ada banyak pengertian tentang apa itu pendidikan seks, bergantung pada sudut pandang yang dipakai. Menurut Abdullah Nashih Ulwan (2007:1) pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan. Dengan begitu, jika anak telah dewasa, ia akan dapat mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan; bahkan mampu menerapkan perilaku islami dan tidak akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara-cara yang tidak Islami.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
orang yang bertanggung jawab penuh adalah kedua orang tuanya. Mereka merupakan pembentuk karakter anak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah.
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مامن مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه وينصّرانه ويمجّسـانه –(رواه مســلم)
Artinya : “Dari Abi hurairah ra. telah bersabda Rasulullah SAW. tidak ada anak yang dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya sebagai orang yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR. Muslim).
Sementara menurut Don Fleming dan Mark Ritts (2009:43), ketika orang tua mulai melihat grafik prilaku provokatif atau pun penggunaan bahasa seksual oleh anak adalah wajar, sekalipun menyusahkan, yang merupakan bagian dari pertumbuhan, maka mereka dapat menghadapinya secara efektif dan konstruktif.
Nah kalau begitu, Orangtua manapun tentu selalu menginginkan anaknya menjadi anak yang baik. Anak adalah generasi yang diciptakan untuk kehidupan masa depan. Sepantas nyalah orang tua memberikan bekal berupa pendidikan yang menyeluruh, termasuk pendidikan seks. Orang tua dituntut memiliki kepekaan, keterampilan, dan pemahaman agar mampu memberi informasi dalam porsi tertentu sesuai dengan teori perkembangan anak, yang justru tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. Orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak dalam masalah pendidikan, termasuk pendidikan seks.
Pokok-Pokok Pendidikan Seks Perspektif Islam
Di antara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah:
1. Menanamkan rasa malu pada anak.
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah SWT. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR Al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur mereka.
Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin. Sesuai sabda Rasul SAW yang diriwayatkan Abu Daud dari Mukmal bin Hisyam.
حدثنا مأمل بن هشام قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مروا اولادكم بالصلاة وهم ابـناء سبع سـنـين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بـيـنهم فى الـمضاجع –(رواه ابو داود)
Artinya : “Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukulilah mereka itu karena shalat ini, sedang mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. (HR. Abu Daud).
4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu).
Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13). Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.
5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.
6. Mengenalkan mahram-nya.
Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya. Siapa saja mahram tersebut, Allah Swt telah menjelaskannya dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 22-23.
7. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata.
Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar, film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
8. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât.
Ikhtilât adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang dibolehkan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara mereka. Ikhtilât dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi mengantarkan pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu, jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.
9. Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat.
Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilât, khalwat pun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari perbuatan semacam ini. jika bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak ber-khalwat.
10. Mendidik etika berhias.
Berhias, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat.
11. Ihtilâm dan haid.
Ihtilâm adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig. Adapun haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan haid, Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Yang paling penting, harus ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi Muslim dan Muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
Pendidikan seks di dalam Islam merupakan bagian integral dari pendidikan akidah, akhlak, dan ibadah. Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri, bahkan mungkin akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal manusia melakukan kegiatan seksual dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan seks tidak boleh menyimpang dari tuntutan syari’at Islam.
*Dosen STAI Gajah Putih Takengon dan Pemerhati Anak