Nasib Anak Yatim dalam Pusaran Politik Lokal

Catatan Win Wan Nur*

SETELAH sempat menghangat di kalangan terbatas dan kemudian mendingin dalam waktu lama. Seperti yang diprediksi oleh banyak pihak kasus penjualan sebagian lahan Panti Asuhan Budi Luhur beserta mesjidnya oleh Pemda Aceh Tengah atas persetujuan DPRK kepada Bank Aceh, kembali menghangat dalam skala yang lebih massif menjelang Pemilukada. Sebab seperti halnya kegagalan pemerintahan Nasaruddin dalam mengelola penyediaan dan distribusi air bersih di daerah yang memiliki cadangan air tawar terbesar di Aceh dan kegagalannya dalam mengatur tata kelola pasar yang bermartabat. Isu penjualan sebagian lahan beserta mesjid panti asuhan budi luhur ini adalah target empuk untuk dijadikan sasaran tembak lawan politiknya. Lacing, dalam istilah bahasa Gayo.

Indikasi akan kembali menghangatnya kasus ini sudah mulai terlihat dari beredarnya selebaran yang berisi kecaman terhadap kebijakan bupati yang memutuskan menjual lahan dan mesjid panti asuhan ini, pada hari-hari terakhir menjelang berakhirnya masa tugas sang bupati.

Dan tidak perlu menunggu terlalu lama, hanya dalam hitungan hari setelah Nasaruddin, Incumbent yang kembali ikut bertarung dalam pemilukada kali ini meletakkan jabatan sebagai bupati. Isu penjualan lahan panti asuhan beserta mesjidnya ini langsung muncul ke permukaan. Pemicunya adalah laporan ke Polres Aceh Tengah yang dilakukan oleh para kandidat bupati Aceh Tengah yang akan menjadi lawan Nasaruddin di Pemilukada nanti. Sebagaimana yang bisa kita baca di artikel Lintas Gayo, tanggal 9 April 2012 kemarin.

Sebagai seorang alumni panti asuhan ini yang sempat bersusah payah mengangkat isu ini ke permukaan agar kasus yang memalukan ini dapat ketahui oleh masyarakat banyak. Saya seharusnya senang dengan perkembangan baru ini.

Tapi kenyataannya, sulit bagi saya untuk merasa senang dengan adanya perkembangan terbaru yang seperti ini. Sebab meskipun (tentu saja) para kandidat yang melaporkan sang mantan bupati berkeras mengatakan bahwa tidak ada motif politis apapun dari aksi pelaporan tersebut. Tapi opini masyarakat sulit untuk bisa digiring untuk mempercayai ucapan para politisi yang akan bertarung untuk menduduki kursi bupati tersebut. Sementara politik praktis dan politisi mendapat image yang sangat negatif di masyarakat, bahkan kata POLITIK sendiri di masyarakat sudah berkonotasi negatif. Sehingga sulit untuk menolak munculnya opini di masyarakat bahwa kini isu penjualan sebagian lahan dan mesjid panti asuhan ini telah menjadi komoditas politik menjelang Pemilukada.

Dalam kasus pelaporan ini, siapapun di Aceh Tengah tentu dapat melihat bahwa saat ini Nasaruddin yang menjadi terlapor dalam kasus penjualan sebagian lahan dan mesjid panti asuhan ini adalah kandidat dengan tingkat elektabilitas tertinggi , sehingga tidak bisa tidak aksi pelaporan oleh para rivalnya ini akan dilihat oleh masyarakat sebagai usaha penggembosan kekuatan Nasaruddin oleh lawan-lawan yang lebih lemah. Sebab memang seperti inilah perilaku politisi yang biasa disaksikan oleh masyarakat di negeri ini, baik di sekitarnya maupun di layar televisi. Akibatnya aksi pelaporan ini pun menjadi pedang bermata dua bagi para pelapor.

Sejarah perpolitikan di negeri yang rakyatnya rata-rata penggemar sinetron ini membuktikan kalau keberhasilan memerankan diri sebagai korban dalam sebuah konspirasi adalah jalan tol menuju kemenangan politis. Jadi kalau para tim sukses Nasaruddin dapat mengolah isu ini dengan benar dan dengan komunikasi politik yang benar berhasil menempatkan Nasaruddin sebagai korban. Aksi pelaporan ini bisa berbalik menjadi bumerang bagi para pelapor. Dan kalau aksi moral yang sangat kental dengan aroma politis ini gagal membendung Nasaruddin untuk kembali duduk di kursi bupati untuk kedua kali. Saya sangat khawatir ini akan menjadi bola salju. Sebab kalau ini terjadi, masyarakat bisa jadi tidak akan lagi melihat tekanan untuk menuntut pertanggung jawaban sang bupati atas kebijakan penjualan sebagian lahan dan mesjid panti asuhan ini sebagai sebuah gerakan moral, tapi tidak lebih dari teriakan dari sekelompok orang yang tergabung dalam barisan sakit hati.

Karena itulah sebenarnya kalau bisa memilih, saya sebagai seorang alumni dari panti asuhan Budi Luhur lebih memilih kalau tekanan terhadap kebijakan bupati yang tidak bijak ini muncul dari tatanan gerakan moral yang muncul dari masyarakat sendiri, bukan dari sebuah gerakan yang kuat dengan aroma politis.

Hanya tentu saja saya tidak memiliki pilihan itu, karena sejak awal isu ini bergulir. Kita semua tentu menyadari bahwa begitu isu ini dilempar ke masyarakat. Isu ini akan langsung menjadi bola liar yang tidak lagi bisa dikendalikan oleh siapapun kemana arah bergeraknya. Dia akan menabrak ke sana kemari tanpa ada yang bisa mengontrol. Berbagai kepentingan tidak akan bisa terhindarkan untuk ikut membonceng bersamanya.

Akhirnya sebagai seorang alumni Panti Asuhan ini saya hanya bisa berharap, mudah-mudahan pada akhirnya nanti adik-adik saya yang sekarang mendiami lahan panti asuhan Budi Luhur yang tersisa tidak menjadi korban dari pertarungan yang mengatasnamakan kepentingan mereka ini.

Wassalam

*Alumni Panti Asuhan Budi Luhur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.