Oleh : Zuhri Sinatra*)
Film dokumenter Radio Rimba Raya berhasil menjadi salah satu nominasi terbaik ,kategori film dokumenter yang di perlombakan dalam ajang Festival film Indonesia 2010 (FFI 2010).
Adalah Ikmal Gopi, sineas muda asal Takengon yang mengangkat kiprah radio tersebut ke dalam bentuk film dokumenter, pria jebolan Institut Kesenian Jakarta ( IKJ ) inilah yang berada dibalik suksesnya film dokumenter Radio Rimba Raya.
Mungkin tidak pernah terbayang di benak seorang Ikmal, untuk bisa menginjak Red Carpet pada malam puncak anugerah FFI yang di diselenggarakan di Central Park, Jakarta, “ini semua berkat Radio Rimba Raya” ujarnya. Hal ini tentu saja menjadi prestasi tersendiri buat Ikmal, sebab Red Carpet biasanya digunakan untuk menggambarkan situasi dimana sebuah karpet merah panjang dibentangkan untuk menghormati dan menyambut tamu – tamu yang datang ke acara itu. Biasanya acara yang menggunakan Red Carpet jenisnya formal yang dihadiri tamu VIP. ( Very Important Person).
Ketika seseorang berjalan diatas Red Carpet berarti ia merupakan tamu kehormatan, sejajar dengan tamu yang lain, apalagi pada saat ini kita kenal acara yang menggunakan Red Carpet biasanya dihadiri oleh para selebritis, seperti pada perhelatan malam puncak anugerah FFI. Para menteri, pengusaha, artis dan pejabat negara yang lain hadir pada acara tersebut.
Mereka melewati Red Carpet dimana disisinya terdapat pers dan penggemar. “ Tidak terbayang bisa berada disini, sejajar dengan mereka, ini semua berkat Radio Rimba Raya, tetapi kita tidak punya penggemar ya?” ucap ikmal sambil merendah dan bercanda. Pada malam puncak anugerah FFI itu, Ikmal didampingi oleh penulis sendiri, Fikar W. Eda dari koran Serambi Indonesia, dan Ir. Mursyd anggota DPD ( Dewan Perwakilan Daerah ) asal Aceh.
Bagi ikmal penghargaan hanya sebuah motivasi untuk berkarya yang lebih baik , akan tetapi harapannya agar sejarah perjuangan Radio Rimba Raya dapat diketahui masyarakat, dihargai oleh pemerintah, dan yang paling penting sejarah Radio Rimba Raya masuk ke dalam kurikulum pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas, sejarah Radio Rimba Raya adalah tolak ukur kemerdekaan Indonesia, “ tanpa Radio Rimba Raya, Indonesia tak akan ada” pungkas ikmal, ungkapan ini bukan tanpa alasan, sebab pada saat itu satu-satunya alat komunikasi yang bisa berhubungan dengan luar negeri dan perwakilan Indonesia di PBB hanya Radio Rimba Raya. Berkat Radio Rimba Raya pula Konferensi Meja Bundar ( KMB) di Den Hag terlaksana sehingga tercapai kedaulatan Indonesia.
Mersah Padang, adalah tempat Ikmal menghabiskan masa kecil, Mersah Padang atau Menasah Kota ini letaknya diapit oleh pasar ikan jalan Peteri ijo, Takengon. Di daerah ini ia melakukan aktivitas keseharian sejak kecil hingga beranjak dewasa, selain Mersah Padang, Simpang Lima juga menjadi tempat favorit Ikmal, Simpang Lima merupakan pusat kota Takengon Aceh Tengah, di daerah inilah ia menghabiskan waktu menjelang magrib untuk sekedar kongkow, bersama dengan anak-anak muda yang lain.
Pada Tahun 1990, ikmal menyelesaikan studi pada salah satu sekolah menengah atas di Takengon, pada saat itu ia tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, baru pada tahun 2000 ia masuk kuliah mengambil jurusan penyutradaraan pada Fakultas Film dan Televisi (FFTV), di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kemudian selesai pada tahun 2006.
Semoga Prestasi ini bisa diikuti oleh generasi muda yang lain, “jangan pernah merasa puas untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat orang lain merasa bahagia” ujar ikmal.
Radio Rimba Raya berhasil menghantarkan Indonesia mendapat pengakuan sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang berdaulat melalui Konferensi Meja Bundar ( KMB), Akankah prestasi ini bisa di ikuti oleh Ikmal menghantarkan Radio Rimba Raya mendapat pengakuan sebagai bagian dari sejarah bangsa??? Semoga. Kita Dukung.
*Tinggal di Jakarta.