Oleh : Sabela Gayo*)
Situasi pembangunan di Indonesia yang terus mengalami berbagai macam kemunduran hampir di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara membuat sejumlah kalangan kelompok intelektual menginginkan terjadinya perubahan secara cepat dan revolusioner dalam menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia dan rakyat merasa seperti hidup di ”negeri asing” dan kejamnya kehidupan melebihi kejamnya ”penindasan” yang dilakukan oleh kaum penjajah, ketidakadilan terjadi dimana-mana, korupsi merajalela dan bahkan sudah dianggap biasa oleh sebagian besar lapisan masyarakat. Pengelolaan dan penyelenggaraan kehidupan negara yang tidak dilandasi oleh semangat memajukan dan mengangkat harkat dan martabat bangsa membuat kekayaan negara hanya dikuasai oleh sekelompok orang yang nota bene hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Daya tekan kaum intelektual pasca reformasi 1998 menjadi mengendur seiring dengan masuknya para kaum ”aktivis” menjadi tokoh-tokoh kunci di berbagai partai politik yang banyak tumbuh pasca reformasi. Di satu sisi dengan masuknya para mantan aktivis tersebut diharapkan dapat ”mewarnai” sistem yang sudah terlanjur korup dengan ”warna-warni” yang dapat memberikan secercah harapan perubahan bagi masyarakat. Tetapi harapan tersebut menjadi pupus seiring dengan hanyutnya para mantan aktivis tersebut dengan gemerlapnya ”lampu gedung DPR” dan dinginnya ”Pendingin gedung DPR”,bahkan akhirnya para mantan aktivis tersebut tidak mampu ”mewarnai” kondisi yang terlanjur korup tersebut dan justru mereka yang ”diwarnai” oleh sistem yang terlanjur korup itu. walaupun ada sebagain kecil yang masih bertahan dengan segenggam idealismenya.
Bahkan beberapa hari yang lalu, Dr.Dipo Alam yang mantan aktivitis kampus era rejim Soeharto bahkan pernah dipenjarakan oleh rejim Soeharto akibat kekritisannya tersebut mengeluarkan kata-kata yang anti demokrasi dengan mengancam akan memboikot media televisi dan koran yang menjelek-jelekkan pemerintah. Dari situasi tersebut dapat dipelajari bahwa persfektif korban menjadi sama/tidak jauh berbeda dengan persfektif penguasa ketika si korban diberikan peluang berkuasa atau menduduki satu posisi tertentu. Wajarlah jika ada orang yang mengatakan bahwa di dalam politik tidak ada kawan/lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Ketimpangan-ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia hari ini merupakan konsekwensi nyata dari lemahnya perencanaan dan pengawasan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sistim pembangunan kastaisasi yang telah diterapkan oleh pemerintah pusat sejak Indonesia merdeka sampai hari ini telah mematikan daya kreativitas dan daya inisiatif masyarakat, sebagai contoh; kalau masih berkasta tingkat kabupaten/kota, tidak boleh menyelenggarakan pembangunan yang menyamai/melebihi tingkat kasta propinsi atau pusat. Sehingga banyak potensi-potensi daerah yang ada belum tergarap secara maksimal untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pembangunan dan pengawasan jalan di Indonesia merupakan salah satu bentuk nyata sistim pembangunan kastaisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat, sebagai contoh; ada jalan desa, ada jalan kecamatan, ada jalan kabupaten/kota, ada jalan propinsi dan ada jalan pusat. Hal tersebut berdampak buruk pada pembangunan dan pengawasan jalan itu sendiri, misalnya di satu sisi ada satu kabupaten memiliki banyak perusahaan kelapa sawit yang sehari-harinya truk pengangkut kelapa sawit melewati jalan tersebut dan di sisi lain jalan tersebut merupakan jalan kabupaten yang pembangunan dan pengawasannya dilakukan oleh kabupaten dengan anggaran yang sangat terbatas, sehingga ketika jalan tersebut hancur dan rusak parah, masyarakat setempat meminta agar diperbaiki maka bupati/walikota tidak bisa melakukan apa-apa karena biaya untuk mengaspal beton jalan tersebut sangat mahal dan kalau dilakukan akan menyerap anggaran APBD yang sangat besar sehingga akan mengganggu pelaksanaan pembangunan sektor lain. Disisi lain, pajak minyak kelapa sawit tersebut tidak masuk ke kas daerah kabupaten melainkan harus disetor langsung ke kas pemerintah pusat. Kalau dana sudah masuk ke kas pemerintah pusat maka akan sangat sulit untuk mengeluarkannya kembali karena dihadapkan dengan berbagai aturan birokrasi yang kaku dan berliku-liku. Ini merupakan salh satu contoh nyata dampak negatif sistem pembangunan kastaisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat selama puluhan tahun dan hal ini terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Indonesia.
Di dalam UUD Tahun 1945 Pasal 33 (3) disebutkan bahwa ”air dan sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tetapi pada kenyataannya ketika air dan sumber daya alam tersebut dikuasai oleh negara yang terjadi justru bukan kesejahteraan yang diperoleh oleh rakyat melainkan kesengsaraan dan penderitaan, sebagai contoh nyata adalah pengelolaan listrik. Listrik merupakan salah satu sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh karenanya ia dikuasai oleh negara, tetapi negara justru mengelolanya untuk mencari keuntungan (profit oriented) dengan cara mendirikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, walaupun disebut-sebut bahwa PLN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki nilai-nilai sosial tetapi pada dasarnya, yang namanya perseroan terbatas sudah pasti akan berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya karena ada dana yang dianggarakan, karyawan yang digaji dan sejumlah biaya operasional lainnya yang harus dikeluarkan. Ditambah lagi dengan pener bitan saham, surat berharga dan pendaftaran perusahaan di bursa saham. Sehingga tujuan dan amanah Pasal 33 (3) tersebut diabaikan begitu saja oleh pemerintah dan hal ini sudah berlangsung salam berpuluh-puluh tahun mulai dari Indonesia merdeka sampai hari. Jadi wajarlah kalau sampai hari ini masih banyak desa-desa di Indonesia yang belum memperoleh pasokan listrik karena memang tidak ada kebijakan negara untuk memberikan pelayanan listrik kepada warga negaranya. Bahkan PLN menanggap rakyat miskin yang ada di desa-desa tersebut sebagai konsumen potensial yang ke depannya harus digarap secara bertahap sehingga dapat membawa keuntungan maksimal bagi PLN. Sehingga ketika rakyat miskin di des-desa terpencil menginginkan adanya aliran listrik mereka diwajibkan oleh PLN untuk membayar uang pemasangan tiang PLN, uang pemasangan arus listrik, uang jaminan, dan uang instalasi listrik. Sehingga wajar jika kemudian rakyat miskin kehidupannya semakin susah karena dirinya terus-menerus ”diperas” dan ”dieksploitasi” oleh negara. Kesalahan tersebut tidak sepenuhnya berada ditangan PLN tetapi berada pada pengambil keputusan tertinggi di suatu negara yang tidak mempunyai sense of crisis dan sense of belonging terhadap warga negaranya.
Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi tersebut diatas sangat kontras dengan maraknya budaya korupsi di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Mulai dari kasus pengemplangan dana BLBL yang menguap hingga triliunan rupiah, indikasi korupsi penjualan PT Krakatau Steel, korupsi para mafia pajak Gayus Tambunan dan Bahasyim merupakan beberapa contoh nyata betapa rusaknya sistim manajemen dan mental bangsa ini. Penyakit kronis yang bernama korupsi merupakan musuh bersama masyarakat yang harus sama-sama diberantas sampai ke akar-akarnya. Sistim pembuktian terbalik (Shifting Burden of Proof) yang didengung-degungkan akan diterapkan bagi para koruptor sampai hari ini masih sebatas wacana. Kalaupun sistim itu diterapkan maka Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung harus terlebih dahulu direformasi agar dapat memberikan proses peradilan yang jujur dan adil. Dengan kondisi yang ada hari ini apabila sistim pembuktian terbalik diterapkan maka akan terjadi penggunaan UU Korupsi sebagai alat untuk memberangus lawan-lawan politik yang dianggap berseberangan dengan kepentingan penguasa. Jika hal itu terjadi maka dapat menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia karena masing-masing blok politik akan berusaha sekuat tenaga membela kepentingan pribadi dan kelompoknya tanpa menghiraukan lagi kepentingan rakyat. Pada akhirnya akan menyulut ”perang para politisi” baik diparlemen maupun di eksekutif baik pusat maupun daerah.
Kalau dilakukan suatu penelitian pada anak-anak SD, SMP, SMA dan bahkan mahasiswa di Perguruan Tinggi tentang cita-cita mereka ke depan, mungkin sebagian besar akan mengatakan akan menjadi polisi, tentara, PNS, pegawai bank, karyawan perusahaan swasta, hakim, jaksa dan sebagainya. Tetapi jika ditanya setelah tercapai cita-citanya kemudian ingin ditempatkan di bagian apa? Maka kemungkinan besar mereka akan menjawab berkeinginan ditempatkan di tempat yang ”basah”. Ada istilah negatif yang sudah lama berkembang dan tertanam kuat di dalam masyarakat yaitu istilah tempat ”kering” dan tempat ”basah”. Tempat ”kering” artinya posisi/jabatan tersebut tidak akan menghasilkan uang tambahan bagi si pemegang posisi/jabatan sedangkan tempat ”basah” artinya posisi/jabatan tersebut bisa menghasilkan uang tambahan yang besar bahkan lebih besar dari gaji perbulan yang diterimanya dari negara/perusahaan dimana ia bekerja. Istilah negatif tersebut mudah ditemukan baik dilingkungan lembaga pemerintah maupun swasta.
Sistem negara kesatuan (unitary state) hanya menguntungkan suku Jawa sebagai etnis mayoritas di Indonesia. Hal ini terlihat dengan jumlah keterwakilan anggota DPR RI yang ada dimana jumlah kursi ditentukan oleh jumlah penduduk dan jumlah kabupaten/kota/propinsi yang ada. Hal ini menyebabkan di Jawa ada satu kabupaten yang hanya terdiri dari 3 (tiga) kecamatan bahkan tidak memiliki sumber apapun bagi pendapatan kabupatennya. Tetapi karena diperlukan untuk tujuan-tujuan politik maka kabupaten/kota yang seperti itu banyak dibentuk dalam rangka memperkuat basis politik dan jumlah keterwakilan anggota DPR RI dari daerahnya. Kondisi demikian merupakan satu bentuk kepincangan dalam demokrasi dan masyarakat asli (indigenous peoples) harus merancang suatu inisiatif gerakan demokrasi yang mampu merubah sistem kastaisasi tadi ke arah sistim baru yang lebih representatif dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.
*)Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo (PP IPEGA) dan Direktur Eksekutif Biro Bantuan Hukum – Sentral Keadilan (BBH-SK) Banda Aceh