SUATU ketika langkahku tersendat, mimpiku bergumul dengan jiwaku yang liar. Memang, seharusnya aku liar. Aku telah lama hidup dalam sangkar emas, dengan majikan yang sebenarnya galak padaku. Meski begitu, dengan perasaan yang berada di luar batas kesadaranku. Aku masih merasa nyaman tinggal di sana. Sesungguhnya tuan Leon sangat menyayangiku, setiap pagi dia selalu menggantikan air minumku. Memberiku makanan yang layak, sangkarku juga selalu dibersihkannya. Tetapi sebagai gantinya, aku harus berkicau! Di kala aku lelah berkicau, tuan Leon akan marah padaku. Sangkarku digoyangnya keras-keras, hingga sangkarku terombang-ambing seperti terkena tiupan angin topan. Kemudian tuan Leon, akan mengucapkan kata-kata kasar padaku.
“Dasar! Burung keparat, kurang ajar, tak tahu diri! Setiap hari kau kuberi makan, kau malah malas-malasan berkicau? kalau sakit kau kuobati, aku tidak pernah membuatmu menjadi burung yang sengsara. Tapi hanya tinggal berkicaupun, kau tak mau.” Wajah tuan Leon berubah muram, sangat menyeramkan. Mirip sekali dangan awan kelabu yang akan mengeluarkan gelegar petir.
* * *
Satu tahun telah berlalu, suatu ketika sepupu tuan Leon yang bernama tuan Samuel datang dari negeri seberang. Ia membawa sepasang burung miliknya yang tidak diletakkan dalam sangkar, burung –burung itu bersandar di kedua bahu tuan Samuel.
“Oh, Samuel saudaraku. Lama sekali, kau tidak berkunjung ke tempatku. Bagaimana kabarmu? Kudengar, kau sekarang menjadi saudagar terkaya di negeri seberang?” Tuan Leon terlihat sangat gembira, menyambut kedatangan sepupunya itu.
“Ho..ho..ho, aku tak mungkin bisa menyaingimu saudaraku.” Tuan Samuel berjalan dengan gagah, menghampiri saudara terkasihnya itu.
“Hai Samuel, apakah itu burung peliharaanmu? Mengapa tidak kau sangkar mereka?” Tuan Leon, memandang heran pada sepupunya.
“Burung-burung ini, bukanlah burung kepunyaanku. Mereka diciptakan Tuhan, mereka dari alam dan untuk alam. Aku tidak punya hak, untuk mengikat mereka. Merekalah yang memilih mengikutiku,” jawabnya dengan senyum. Kemudian tuan Samuel melirik ke arahku,
“Apakah itu burung kesayanganmu?”
“Ya tentu, itu burung milikku. Tapi dia sungguh burung yang malas, dia tidak mau berkicau. Padahal, dia juga bukan burung yang istimewa.”
“Leon, bukankah setiap mahluk Tuhan punya keistimewaan?” Samuel bertanya heran
“Tapi, itu tidak berlaku padanya.” Selagi aku sedang asyik mengamati mereka berdua, tiba- tiba kedua burung milik tuan Samuel menghampiriku.
“Hai kenalkan, aku Wata dan ia istriku, Meta. Sebentar lagi, kami akan punya anak. Anak kami, akan kami beri nama Sunta.” Wata berkata padaku.
“Selamat, sebentar lagi kalian punya anak dan tentu akan sangat membahagiakan sekali.“
“Kau kelihatan menderita? Apakah dia berlaku tidak baik padamu?” Saat itu yang kuingat, hanyalah kejelekan tuan Leon. Dia yang memanggilku keparat, kurang ajar, dan mengombang-ambing sangkar emasku.
* * *
Tahun kedua, mereka datang lagi. Aku sudah tidak tinggal di sangkar emas, seekor kakak tua putih bernama Alice menempati sangkar emasku. Sedang aku dipindahkan di sangkar berkarat, tapi aku tetap diberikan makanan dan minuman yang layak. Kotoranku pun selalu dibersihkan. Entah mengapa, melihat ketidakadilan ini. Aku merasa, tuan Leon tidak perhatian lagi padaku. Apakah karena aku hanyalah seekor burung yang jelek? Aku menganggap tuan Leon, hanya menilai seekor hewan dari fisiknya saja. Padahal jika ia berpikir sejenak saja perihalku, tentu aku adalah burung yang paling setia. Jika aku mau, aku bisa saja lepas. Terbang, saat dia membuka pintu sangkarku untuk memberi makanan.
“Hai! kami datang untuk menawarkan sesuatu padamu, apakah kau mau?” Wata datang padaku.
“Apa yang ingin kau tawarkan?”
“Kau punya kesempatan seperti kami, terbang bebas dan mencari makan sendiri di alam milik Tuhan. Kau juga bisa menyanyikan kicauan yang kau inginkan, sesukamu saja!”
Tawaran yang menarik. Sudah semestinya aku harus berani, mengambil langkah sendiri. Ini saatnya aku lepas dari majikan yang galak sepertinya, ini saatnya aku terbang lepas tanpa beban. Aku yakin aku bisa hidup sendiri, aku bisa bebas. Aku bisa berbuat semau-mauku, dan di luar sana aku akan temukan semua yang kucari.
“Lantas bagaimana caranya?” Tanyaku menggebu-gebu.
“Mudah saja! Saat Leon menaruh makananmu dalam sangkar, dia akan membuka pintu sangkar ini. Pintu sangkarmu berkarat, pintu ini pasti akan sulit ditutup kembali. Saat itulah, kau harus mencari celah dan terbanglah sekuat mungkin. Kami akan menunggumu di dahan pohon pinus yang ada di samping pagar tuan Leon, bagaimana?” Aku mengerti, apa yang dimaksud Wata. Sebab memang sudah lama aku pun memikirkan cara itu, tapi ketakutanku terlalu besar. Aku belum punya keberanian untuk itul.
“Terima kasih Wata, kau hebat!” Aku tersenyum bahagia, sangat senang rasanya.
* * *
Esok paginya, ketika tuan Leon mengantarkan makanan untukku. Aku sudah mulai bersiap-siap untuk lari dari sana, aku merasa ini akan menjadi lebih baik. Ini merupakan jalan yang mudah, untukku melepaskan diri dari tuanku yang tak berperasaan ini. Maka ketika ia membuka sangkarku, aku pun langsung terbang. Tuan Leon kaget, ia langsung berteriak.
“Regard, kembali! Regard!” Dari kejauhan, kulihat tuan Leon menunduk sedih sambil bersimpuh ke tanah. Aku heran, ia bersedih karena aku pergi.
“Wata!” Teriakku, memanggil Wata yang menungguku di pohon pinus bersama istri dan anaknya. Mereka menyambut kehadiranku, betapa bahagianya aku.
“Selamat datang di alam milik Tuhan, Regard si burung jalak yang tertindas.” Ucap Wata padaku.
“Wata, tahukah kau? Tuan Leon menangis, ia bersimpuh di tanah saat aku pergi meninggalkannya.” Aku mengawali ceritaku padanya, “Padahal jika kupikir-pikir, untuk apa dia menangisi kepergianku? Bukankahaku selalu membuatnya marah? Aku jadi bingung, bukankah aku keparat?” Entah mengapa, perasaanku agak sedikit janggal. Seperti ada yang kurang dari diriku.
Sudah seminggu, aku menjalani hidup tanpa kehadiran tuan Leon. Keluarga Wata, selalu mau berbagi makanan denganku. Mereka mendapatkan makanan dari tuan Samuel, dengan cara berkicau pagi hari seiring saat matahari terbit. Namun, lama kelamaan istri Wata, Meta mulai merasa keberatan. Memang, tidaklah secara langsung. Meta berkata keberatan tentang keberadaanku. Meta yang awalnya sangat baik, kini mulai memasang wajah kasar. Dia mulai bersikap dingin, acuh tak acuh padaku. Sebenarnya, aku tak terlalu peduli dengan hal itu. Tapi lama kelamaan, Wata yang juga awalnya tidak keberatan, mulai membicarakan masalah ini padaku.
“Regard! Sepertinya aku tahu, kenapa kau menjadi tersisih dan tuan Leon berkata kasar padamu.” Sambil bersantai, Wata mengawali pembicaraannya.
“Maksudmu apa?” Aku mulai keheranan
“Sepertinya, ini tidak sepenuhnya merupakan kesalahan Tuan Leon.” Wajah Wata mulai berubah serius.
“Tuan Leon, selalu memberimu makanan yang layak. Di balik sifatnya yang menyebalkan, sebenarnya dia penuh perhatian terhadap dirimu. Ingatkah ketika kau pergi, kau melihat betapa terpukulnya tuan Leon? Wajar bila dia marah, karena apa yang seharusnya ia dapatkan dari dirimu, tidak ia dapatkan. Seharusnya kau berkicau pagi-pagi menghiburnya, hanya berkicau! karena hanya itu yang bisa kita lakukan. Namun bahkan itupun, tak bisa kau lakukan.” Aku mulai menyadari tentang sikapku, betapa bodohnya aku selama ini. Tuan Leon, memang salah selalu berlebihan bila kesal. Ia selalu mengurungku, tanpa peduli perasaanku. Namun di sisi lain ternyata dia menyayangiku dan sangat peduli padaku.
Lalu aku pun mulai berpikir, mungkin ada baiknya Meta bersikap begitu padaku. Aku jadi sadar, aku yang memilih untuk pergi. Seharusnya, aku tidak bergantung pada siapapun dan mencari sendiri makananku. Begitulah pikiranku, harusnya aku sadar bahwa dalam hal ini akupun salah. Padahal aku telah diberinya makan, dan selalu dirawat. Namun aku tidak tahu terima kasih, hanya berkicaupun aku tak mau.
Aku menemui Meta dan minta maaf padanya, aku katakan padanya mulai besok aku akan mencari makan sendiri. Meta pun tersenyum, ia tampak bahagia dengan perubahanku. Dia mengajakku untuk mandiri, tidak bergantung pada orang lain yang pada akhirnya aku sendiri yang akan jatuh. Kukepakan sayap, meninggalkan rumah mereka. Tentunya dengan rencana jelas yang sudah kupikirkan matang-matang, berikut dengan tujuannya.
* * *
Satu musim berlalu, kini aku sudah mandiri. Aku berniat mengunjungi tuan Leon, kulihat sangkar emas miliknya kosong. Tidak ada Alice, atau burung apapun. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi ketika pagi itu dia sedang duduk dengan wajah muramnya. Akupun berkicau di sampingnya, aku berdiri di pinggir kursi tempat dia duduk. Dia tersenyum mendengar kicauanku, dia tidak berusaha menangkapku. Sepertinya tuan Leon telah berubah! Dia beranjak mengambil sepotong roti dan aku masih menunggu lalu memakan roti dari tangannya. Sungguh enak roti ini, karena kali ini roti yang dia beri bukanlah roti dengan aroma kemarahan. Kali ini adalah roti dengan aroma kasih dan bahagianya karena melihatku bebas dan terarah.
Bali, Januari 2010
Biodata Penulis:
Rahmi Rizqi. Kelahiran Medan, 2 Maret 1992. Mahasiswi Universitas Gajah Putih, aktif di Komunitas Muda Industri Kreatif.