Fauzan Azima : Pengukuhan Reje Linge Untuk Satukan Masyarakat Gayo

Prosesi tepung tawar secara adat Gayo saat pengukuhan Iklil Ilyas Leube sebagai Reje Linge ke-XVIII. (Lintas Gayo | Alaska)
Prosesi tepung tawar secara adat Gayo saat pengukuhan Iklil Ilyas Leube sebagai Reje Linge ke-XVIII. (Lintas Gayo | Alaska)

Linge | Lintas Gayo – Gayo akhirnya punya raja Linge lagi. Dan ini terjadi Senin 28 Januari 2013 bertempat Umah Pitu Ruang Buntul Linge Iklil Ilyes Leube dikukuhkan sebagai pemangku Reje Linge ke-XVIII.

Pengukuhan ini dihadiri oleh masyarakat,  akademisi, ketua dan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.

Menurut keterangan Fauzan Azima selaku penyelenggara di Buntul Linge kepada Lintas Gayo, Senin (28/01/2013), pengukuhan Reje Linge ini sudah lama digagas oleh akademisi, seluruh ketua KPA kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah dan Aceh Tenggara.

“Pengukuhan ini bertujuan hanya untuk mermpersatukan masyarakat Linge Raya meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kalul di kabupaten Tamiang dan Lukup Serbejadi di Aceh Timur,” kata Fauzan Azima

Ditegaskan mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Linge ini, pemangku Reje Linge ke-XVIII ini hanya bersifat sementara.

“Ini sementara, jika ada pihak yang berkeberatan dengan pengukuhan ini maka kita akan dimusyawarahkan lagi dengan semua pihak dan akan dipilih secara aturan adat Gayo yang ada,” timpal dia dengan mata berkaca-kaca, terharu.

Momentum ini, ditegaskan Fauzan adalah sebagai momentum merajut persatuan masyarakat Gayo dimanapun berada. “Dengan bersatunya masyarakat Gayo maka semua cita-cita dengan lebih mudah bisa dicapai”, tutup Fauzan Azima.

Amatan Lintas Gayo di tempat acara pengukuhan tersebut di Buntul Linge Aceh Tengah, prosesi tersebut berlangsung hikmat walau dikemas sederhana. Turut hadir sejumlah keturunan langsung dari Reje-reje Linge, Aman Jalil dan putranya Karimansyah yang juga sebagai kepala kampung Linge. (Alaska/Red.03)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Sejarah Gayô Berdasarkan “Kekeberen”

    Kekeberen merupakan bahasa Gayô yang berarti berita-berita atau cerita turun menurun, sama halnya dengan hikayat Pase atau Hikayat Aceh. Perbedaannya hanyalah orang Gayô lebih suka menggunakan metode ini kepada anak cucunya untuk mengingatkan sejarah dari masa lalu mereka, berbentuk lisan.
    Kekeberen ini berasal wawancara dengan Tengku Ilye Lebee, yang juga bila didengarkan ucapan dari Beliau mengambil bahan dari A. Djamil seorang Sejarawan Gayô dan Acih.

    Dalam cerita ini ada cerita yang sedikit mistis akan tetapi ini lebih merupakan kepada sebuah perumpamaan. Seperti ketika mereka berubah dikutuk menjadi batu, maka ini bisa jadi merupakan perumpaan adanya sebuah pertikaian yang menyebabkan terjadi saling bunuh. Oleh karena itu, sebenarnya terdapat kebenaran disitu.

    Dalam kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M)

    Asal Mula Kata Gayô

    Ketika akhirnya diketemukan Merah Mege pada saat itu di Luyang datu terucap kata-kata Sansekerta yaitu Dirgahayu, kemudian dilafazkan menjadi DirGayô = Sehat Walafiat, ini semua terucap karena Mérah Mégé berhasil selamat walau sudah lama di Loyang Datu tadi.

    Atau ada lagi yang mengisahkan bahwa kata-kata Gayô berasal dari sebutan sebuah daerah yang penuh dengan gerep (Kepiting). Sewaktu masyarakat membawa-bawa Depik mereka selalu mengatakan akan ke Gayô, berjangkat ke Isak, owak, Blang Kéjérn. Bertemu dengan orang Rikit, saya dari Pegayôn. Begitu juga ketika Kuté Bélang masih belum diketemukan, didapat akhirnya dibelakang kampung toran, ada satu paya (payau) yang hidup gerep (kepiting), dalam bahasa Gayô sedangkan bahasa Karônya Gayô. Waktu itu ada sebuah budaya bahwa sebutan Gayô penting buat Karô, begitu pula sebaliknya. Seperti jug sebutan untuk orang Karô bahwa di kuté panyang (Kuté panjang) ada pertempuran antara orang Gayô dan Karô karena tidak mau masuk kedalam Islam. Karena lari maka disebut dengan Karô, yang berarti Kejar atau buru dalam Basa Gayô.

    Ada sejarah Aceh, bahwa orang Gayô berasal dari Kayô atau mutérih, takut masuk ke agama Islam, maka lari ke gunung. Ini tidak benar, karena yang pertama kali Islam adalah orang Gayô. Sedangkan yang tidak masuk Islam ada kemungkinan ada sebuauh nama yang bernama marga Ginting Pasé terasing dan tidak ada hubungan dengan yang lain. Ada kemungkinan ini adalah ini berasal dari keturunan Lingë.

    Kerajaan Lingë

    Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih) atau Tengku Kik Bétul (pancing yang lurus dalam Bahasa Gayô).

    Abu bakar siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib” kene Tengku Ilyas Lébé. (fajriboy.multiply.com)

    Inilé Elem si pemulo muképak-képak i Buntul Lingë (bendera Kerajaan Linge) “Warnaé gërë néh terasi aku, karna ngé tué, apakah wé ilang atau pé kônéng, itepi atas bertulén Lailahailallah, itepi toyoh bertolésën geral sahabat si opat: Abu bakar siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib” kene Tengku Ilyas Lébé. (fajriboy.multiply.com)

    Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke Karô).

    Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.

    Ketika besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.

    Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.

    Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I

    Ali Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan.

    Tinggallah Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.

    Terdapat sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.

    Namun, ternyata ada yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.

    Setelah lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén.

    Sesampai diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.

    Akhirnya mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat tersebut telah melahirkan.

    Mereka lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.

    Dalam keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.

    Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan Raja Lingë.

    Mengetahui hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di Karô.

    Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë

    Sepeninggal adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.

    Ketika jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.

    Ketika rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.

    Ketika tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja Langkra.

    Setelah itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah, yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.

    Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.

    Setelah itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis pertahannya terakhir di Lingkë.

    Melihat hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.

    Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.

    Kemenangan tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.

    Malam Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.

    Kerajaan Malik Ishaq

    Islam pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.

    Sewaktu terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.

    Anak Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.

    Muyang Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah, Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka merencanakan akan membunuhnya.

    Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.

    Ketika Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.

    Keanehan atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang Bersah.

    Kemudian Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh, didahului dengan nama Mérah.

    Keenam Anak Muyang Mérsah

    Keenam Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada daerah yang akan ditempatinya.

    Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.

    Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.

    Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.

    Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.

    Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén

    Mérah Sinabung

    Mérah Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,

    Keduanya mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan yang terjadi.

    Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia mengajar mengaji.

    Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah Mégé.

    Réjé Lingë ke XII

    Sultan Aceh , Sultan Ali Mugayat Syah Al Kahar, yang mengembangkan Aceh Darussalam. Aceh sewaktu Iskandar Muda sudah matang menjadi satu pada zaman Réjé Lingë yang ke 12 tersebut, memimpin peperangan untuk berperang dengan Malaka.

    Ketika akan menyerang Portugis membantu Kerjaan Johor dengan Perahu Cakra Donya, maka yang memimpin peperangan tersebut adalah Raja Lingë ke XII. Dengan berbagai upayanya ia berhasil mengalahkan Portugis. Sebagai rasa terimakasih ia dikawinkan dengan anak Raja Johor dan mempunyai anak yang bernama Bénér Mériah (Bénér Mérié dalam bahasa Gayô) dan Séngëda.

    Dalam perjalanan pulang ia sakit perut dan akhirnya meninggal di Pulau Lingga, ia dimakamkan disitu, dan banyak orang Melayu tiap tahun berziarah ke makamnya, dan makamnya sudah dibuat dengan bagus.

    Istri ke-2 dari Raja Lingë ke XII bersama kedua anaknya meneruskan perjalanan dan menetap di Kutéréjé pada salah satu messnya untuk Janda Raja Aceh dan anak-anaknya.

    Ketika mereka besar mereka menginginkan pergi ke asal Ayah mereka, namun berkenaan dengan adanya pertemuan tahunan antara Raja-raja di Aceh di Kuté Réjé (Banda Aceh sekarang), maka ibunya menyaramkan untuk bersabar karena akan ada rombongan Réjé Lingë ke XIII (anak Raja Lingë ke Xll, dari istri pertama) ke sini dan mereka bisa ikut pulang ke Lingë bersama rombongan.

    Selama sebulan dalam perjalanan. Sampai ke Lingë menghadap, ketika melihat Cincin dan Rencong bertuliskan Réjé Lingë pada anak-anak Réjé Lingë 12, Bénér Mériah dan Séngëda. Réjé Lingë Xll dengki, dan menuduh kalo Ayahnya Raja Lingë XlI diracuni oleh Bénér Mérié dan Séngëda, dan Raja Lingë Xlll tidak tahu kalau mereka adalah saudaranya sekandung seayah. lantas menugaskan kepada PM-nya Cik Serule, Syekh Réjé Juddin, diperintahkan untuk membunuh Séngëda. Akhirnya mengetahui akan dibunuh Oleh Réjé Lingë XlIl Bénér Mérié Oleh Réjé Lingë XlIl berangguk-angguk menangis. Cik Sérulé tidak sampai hati membunuh Séngéda, diganti darahnya menjadi darah kucing, seolah-olah telah dibunuh, sehingga ada daerah yang bernama daerah Tanom Kucing.

    Séngëda ingin bertemu dengan Ibunya, maka di perjelek wajanya sehingga tidak dikenal untuk ikut dengan rombongan Réjé Lingë ke XIII. Diistana ada satu kamar yang bernama Balé Gadéng, disitu Séngëda menggambar Gajah Putih, melihat gambar tersebut seorang Putri Aceh melihat ada Gajah Putih kemudian meminta kepada ayahnya, Sultan Acih dan Sultan Aceih segera memerintahkan pencarian Gajah Putih tersebut dengan hadiah barang siapa yang berhasil mendapatkannya akan mendapatkan pangkat.

    Kemudian rombongan Réjé Lingë ke XIII kembali ke Gayo. Sesampai di Gayo Sengeda ke kuburan Abangnya Bener Meriah, untuk kemudian menceritakan apa yang menjadi persoalannya selayaknya seorang adaik yang mengadu kepada Abangnya. Akhirnya dengan seijin Allah SWT diketemukan Gajah Putih oleh Sengeda, kIemudian dicoba untuk dapat ditaklukkannya.
    Ketika Réjé Lingë ke XIII mendengarkan hal tersebut lantas memerintahkan kepada Perdana Menetrinya yang berasal dari Serule agar Sengeda memberikan Gajah tersebut kepadanya. Sesampai di kediaman Réjé Lingë ke XIII Gajah Putih tersebut sepertinya tidak suka didekati oleh Reje hingga menyemprtokan air ke tubuhnya yang menyebabkan ia menjadi basah kuyup.

    Akhirnya dibawalah Gajah Putih tersebut ke kutéréjé, asal sebutan Timang Gajah, ketika Gajah kabur dari rombongan. Begitu juga dengan Sigeli, ketika Gajah Putih tidak mau beranjak dari tempatnya. Baru sampai ke Kutéréjé. Kemudian diarak-arak Gajah Putih tersebut di keliling Kutereje tersebut. Keadaan Kutereje pada waktu itu sudah begitu pada dengan manusia sehingga Gajah Putih tersebut menjadi tontonan mereka dengan suka cita, Pada saat itu memang banyak penduduknya disana jutaan. Kemudian diserahkan ke Istana Darul Dunia.

    Lantas Gajah Putih tersebut di bawa ke Kediaman Sultan yang bernama Darul Dunia. Ketika sampai di kediaman Sultan kembali Gajah Putih menjadi marah, kembali menyeburkan air kepada Sultan. Melihat hal ini kemudian Sultan memanggil orang yan bisa menjinakkannya, sehingga hanya Séngëda yang berhasil menjinakkannya.
    Kemudian Sultan bertanya kepada rombongan Réjé Lingë ke XII siapa kiranya anak tersebut, Reje Linge sudah barang tentu tidak mengetahuinya hingga Perdana Menteri dari Réjé Linge tersebut akhirnya mengatakan kepada Sultan siapa Sengeda tersebut.
    Akhirnya terbongkarlah kejahatan dari Réjé Lingë ke XII, sehingga sidang dibuka untuk mengadili kejahatan Réjé Lingë ke XIII yang telah membunuh Bener Meriah. Darin keputusan Qadhi Al malikul Adil Réjé Lingë ke XIII dijatuhi hukum qishas.
    Ketika mendengar hal tersebut Datu Beru yang pada waktu itu menjadi satu-satunya penasehat dari Sultan mengatakan keberatan dengan keputusan tersebut, dengan alasan bahwa hukum qishas dapat dilakukan apabila kepada korban sudah dimintakan atau ditawarkan dengan hukum diyat (hukum ganti rugi) terlebih dahulu.
    Yang menarik adalah bahwa sebelumnya Datu Beru telah menemui Ibu dari Sengeda untuk mengutarakan maksud hatinya bagai perdamaian, yaitu mengampuni Réjé Linge ke 13 untuk kemudian Sengeda menjadi penggantinya.
    Sudah barang tentu dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sengeda menerima diyat tersebut dan pulang ke Tanoh Gayo untuk menjadi Reje Linge ke 13.Besambung,….

  2. TAWAR SEDENGE

    Engon ko so tanoh Gayo
    Si megah mu reta dele
    Rum batang uyem si ijo kupi bako e

    Pengen ko tuk ni korek so
    Uwet mi ko tanoh Gayo
    Seselen pumu ni baju netah dirimu

    Nti daten bur kelieten
    Mongot pude deru
    Oya le rahmat ni Tuhen ken ko bewenmu

    Uwetmi ko tanoh Gayo
    Semayak bajangku
    Ken tawar roh munyang datu uwetmi masku

    Ko matangku si mumimpim
    Emah ko uyem ken soloh
    Katiti kiding nti museltu
    ilahni dene

    Wo kiding kao ken cermin
    Remalan enti berteduh
    Nti mera kao tang duru
    Bon jema dele

    Nti osan ku pumun jema
    Pesaka si ara
    Tenaring ni munyang datu ken ko bewen mu

    Uwet mi ko tanoh Gayo
    Ko opoh bajungku
    Ken tawar’n roh munyang datu
    uwetmi masku,……….

  3. “Reje Musuket sipet,Petua Musidik sasat,Imem Muperlu sunet,Rayat Genap mupakat”

    “Edet kuet muperala agama, regang edet benasa nama, edet munukum bersifet ujud, hukum munukum bersifet kalam”

    “Amatan agama edet pe i olek oya baru mersek kao urang Gayo”

    “Keramat Mupakat Behu Berdedele”

    “Musara mi kite gere ara uken towa, gere ara bur paloh”

  4. Seni dan Tarian

    Didong
    Didong Niet
    Tari Saman
    Tari Bines
    Tari Guel
    Tari Munalu
    Tari Sining
    Tari Turun ku Aih Aunen
    Tari Resam Berume
    Tuah Kukur
    Melengkan
    Dabus

  5. ” SUKU GAYO ”

    Jumlah populasi

    kurang lebih 500.000.
    Kawasan dengan populasi yang signifikan
    Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues
    Bahasa
    Bahasa Gayo
    Agama
    Islam
    Kelompok etnik terdekat
    Alas,,Mandailing, Batak dan Karo.

    Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kecamatan Serbe Jadi, Simpang Jernih, Peunaron di Aceh Timur sebaga daerah wilayah adat Suku Gayo. Suku Gayo juga terdapat di setiap kecamatan di Aceh Tenggara dan sebagian kecil di kabupaten Aceh Tamiang. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
    Daftar isi

    1 Sejarah
    1.1 Dinasti Lingga
    2 Kehidupan sosial
    3 Seni Budaya
    4 Seni dan Tarian
    5 Makanan Khas
    6 Galeri
    7 Sumber
    8 Bacaan Lanjutan
    9 Pranala Luar

    Sejarah

    Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

    Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).

    Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

    Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.[1]
    Dinasti Lingga

    Adi Genali Raja Linge I di Gayo
    Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
    Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
    Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
    Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
    Raja Lingga III-XII di Gayo
    Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

    Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era

    Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
    Raja Kalilong Sibayak Lingga

    Kehidupan sosial
    Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

    Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).

    Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

    Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).

    Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

    Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.
    Seni Budaya
    Kubur tradisional orang Gayo

    Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, sebuku/pepongoten, guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

    Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

    wassalam,…

  6. Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kecamatan Serbe Jadi, Simpang Jernih, Peunaron di Aceh Timur sebaga daerah wilayah adat Suku Gayo. Suku Gayo juga terdapat di setiap kecamatan di Aceh Tenggara dan sebagian kecil di kabupaten Aceh Tamiang. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

  7. Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah Linge. Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.

  8. “Turun ni edet ari Pute Merhum (Reje Linge) Ukum ari Cek Serule”. Ini penggalan Isi dari Pasal 1 dalam Naskah Tua berjudul “45 Pasal Edet Negeri Linge”. Artinya kurang lebih: Reje Linge adalah yang pertama merumuskan mengenai Edet Gayo yang disusun bersama para ulama dan pemimpin Gayo pada saat itu (sekitar Tahun 450 Hijriah). Tentang Edet Gayo apa saja yang disusun oleh Reje Linge, bisa dibaca dalam naskah tua berjudul “45 Pasai Edet Negeri Linge”, namun kira2 inti dari isi pasal2 tersebut adalah mengatur pemerintahan, Hukum dan norma2 sosial kehidupan bermasyarakat di Tanoh Gayo.

    Sedangkan ” Reje Musuket Sipet,Petue Musidik Sasat,Imem Muperlu Sunet,Rayat Genap Mupakat ” berasal dari Sistem Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat. Empat unsur tersebut adalah Reje, Petue, Imem dan Rakyat. Nah, Maksud dari kalimat diatas kurang lebih, Negeri Linge bisa makmur dan sejahtera jika memiliki 4 unsur seperti Reje museket sipet (Raja yang Adil, dilihat dari konteks kekinian, Raja bisa berupa Bupati/kepala pemerintahan hingga yang terkecil), Petue musidik sasat (Cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas), Imem muperlu sunet (Imam memahami betul hukum Islam dan dapat menjadi tauladan untuk menjalankan yang Halal, dan menghindari yang haram) Rakyat genap mupakat (segala persoalan masyrakat diselesaikan dengan musyawarah).

    Lebih jauh, mungkin bisa dibaca dalam buku “SARAK OPAT” dan Naskah Tua “45 Pasal Edet Negeri Linge”

    Wassalam,..

  9. SEJARAH YANG TERTINGGAL DI GAYO
    (KERAJAAN LINGE)

    “Cap Stempel Reje Linge”

    PENDAHULUAN

    Fhoto di atas adalah sebagian bukti yang tidak jelas keberadaannya, yang merupakan “peninggalan Kerajaan Linge”, ada lagi peninggalan Kerajaan Linge konon orang desa setempat mengatakan bahwa rumah adat pitu ruang (tujuh ruang) itu adalah tempat tinggal Kerajaan Linge dari Raja Linge I-XIII, tapi ini semua di dapatkan berdasarkan hasil wawancara saja. Pertanyaan yang mungkin timbul salah satu dari kita adalah, siapakah raja yang I, II, III dan seterusnya sampai ke XIII tersebut yang pernah menjadi raja di kerajaan linge itu sendiri? Kemudian dalam hal ini juga ada sedikit yang belum jelas, yaitu tentang Silsilah dari Kerajaan Linge itu sendiri, yang konon kata penjaga rumah itu ada sampai 13 Raja yang berkuasa di Kerajaan Linge pada saat itu, tapi apakah benar adanya ini semua? atau mungkin hanya cerita belaka saja, atau juga mungkin referensi tentang menyangkut silsilah ini belum ditemukan.

    Siapa yang harus di salahkan? Pemerintah, Sejarawan, Tokoh Masyarakat, atau orang tua terdahulu? Semua benar, mengapa demikian? Buktinya:

    Pemerintah kurang memperhatikan sejarah, bisa dilihat dari tempat kantor kerja pemerintah Aceh Tengah, contohnya di kantor Bupati Aceh Tengah, di kantor ini hampir setiap sudut ruangan tidak ada yang bercorak bangunan Gayo, Misal Kerawang Gayo. Di daerah Pematang Siantar, setiap kantornya itu ada corak dari pada adat bangunan kantor tempat mereka kerja. Sebab itulah kota Pematang Siantar menjadi terjaga dan banyak di minati oleh wisata-wisatawan asing datang kesana, Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak bisa?.
    Sejarawan juga kurang spesifik dalam hal ini, pasalnya sejarawan kurang mengkaji lebih dalam tentang Kerajaan Linge, akibat dari pada hal tersebut, semua orang yang ingin mengkaji tentang Kerajaan Linge ini menjadi tidak berminat, ini lah yang terjadi pada saat sekarang ini, semua generasi penerus tidak sedikit yang mau meneliti lebih dalam tentang hal ini, tapi referensi dari Kerajaan Linge ini minim, kalaupun ada, itu tidak dijadikan sumber utama, karena bukti-bukti dari referensi atau sumber itu hanya kebanyakan dari hasil wawancara saja.
    Tokoh masyarakat, terkadang kita harus selalu menanyakan tentang apa saja yang terjadi di masyarakat kita, yang selalu harus di korelasikan dengan tokoh masyarakat kita. Misalnya saja dalam hal adat, ada pesta pernikahan, yang selalu di hadiri oleh tokoh masyarakat dimana dia berdomisili, tetapi akankah tokoh masyarakat itu mengerti bagaimana dengan adat gayo yang sebenarnya? Akankah Tokoh masyarakat itu mengerti sejarah adat pernikahan gayo? Inilah yang seharusnya dilakukan oleh tokoh masyarakat kita, yang mampu memperkenalkan sejarah lebih banyak kepada masyarakatnya.

    Pada hakikatnya suatu negara, atau suku bangsa itu maju dengan mengerti akan jati diri mereka. Dewasa ini kita sering mendengar dari kalangan ilmuan sains yang mengatakan bahwa sejarah tidak memiliki arti penting dalam ilmu manapun, mereka membuktikan dengan tidak adanya manfaat yang diberikan oleh ilmu sejarah di dalam berbagai bidang ilmu pada saat ini, terlebih lagi jaman sekarang telah mengikuti perkembangannya dengan ilmu pengetahuan yang serba canggih melalui media dunia maya yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan perkembangan jaman itu sendiri. Hal ini di akibatkan oleh kurangnya peranan dari kalangan sejarawan atau orang-orang terdahulu yang mengimplementasikan sejarah itu sendiri. Padahal, apabila kita tinjau dari beberapa pandangan mengenai arti pentingnya ilmu sejarah itu sendiri adalah :

    Ilmu sejarah dapat menyadarkan kita kepada jaman terdahulu yang sangat maju dan berkembang dari berbagai bidang, contohnya saja pada jaman penjajahan kolonial Belanda, bangsa Belanda sendiri sangat sulit menguasai daerah Aceh sendiri, hal ini di sebabkan oleh orang-orang Aceh sendiri yang memegang erat agamanya sendiri, hal itulah yang menyebabkan penajajahan kolonial Belanda lama menguasai Aceh.
    di nasional sendiri kita pernah menguasai sebagian Asia, yaitu dengan kerajaan Majapahit, yang dengan semboyan palapa-nya.

    Dari kedua contoh diatas kita seharusnya mengikuti jejak-jejak dari pada sejarah tersebut. Yang mana seyogiayanya kita mengeratkan agama kita agar kita tidak dapat lagi di kuasai oleh penjajahan yang tidak nampak jelas jika di pandang melalui pandangan kasat mata. Karena dengan agama lah kita dapat menghambat datangnya penguasa-penguasa yang memandang sebelah mata kepada kita.

    Kemudian dari kerajaan Majapahit kita selayaknya selalu membuat semboyan atau “visi-misi” istilah sekarang yang membuat kita berpegang teguh dengan tujuan tersebut untuk mencapai suatu tujuan dalam berbagai hal, baik dalam hal pendidikan, maupun dalam hal politik dan lainnya.
    Untuk mencoba membuat referensi yang “detail” mengenai Kerajaan Linge itu sangatlah sulit, karena amat sedikitnya referensi atau sumber mengenai Kerajaan Linge itu sendiri. Kemudian timbul pertanyaan “Mengapa hal itu bisa terjadi hal seperti itu? Sehingga membuat binggung generasi penerus dalam memberikan penjelasan tentang jati diri dari suku Gayo itu sendiri!”.

    Suatu titipan bagi generasi muda yang harus mengungkap bagaimana sejarah Kerajaan Linge itu sebenarnya, apakah benar dengan adanya Kerajaan Linge itu? Semua kalangan harus mengupas tuntas yang menyangkut hal ini, karena masalah ini adalah masalah jati diri suku bangsa gayo itu sendiri. Dalam hal ini kembali kita ingat akan kata pahlawan kita Jenderal Sudirman,”Tidak ada kemenangan kalau tidak ada kekuatan, tidak ada kekuatan kalau tidak ada persatuan dan persatuan itu harus disertai dengan silaturrahmi. Maka dari pernyataan tersebut, bisa dikutip, untuk membuat suatu pernyataan, kita harus menyatukan perbedaan pendapat dalam konteks Kerajaan Linge ini, tidak boleh mengutamakan pendapat suatu individu untuk di jadikan referensi atau sumber yang utama.

    Sangat sulit untuk membuat suatu referensi tentang Kerajaan Reje Linge, pasalya semua ini di akibatkan oleh kurangnya sumber-sumber tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Sampai saat ini orang-orang gayo sendiri sangat kurang dalam menulis tentang Kerajaan Linge itu sendiri. Jika berbicara lebih luas mengenai Kerajaan Linge, maka harus banyak juga melakukan penelitian, baik penelitian secara kualitatif, maupun kuantitatif.

    Sejarah kerajaan linge ini adalah salah satu hasil penipuan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa yang secara turun temurun mengelapkan kita untuk bangkit dalam mendalami asal kejadian dari kerajaan linge itu sendiri yang merupakan juga asal dari pada suku gayo itu sendiri.

    Adanya Kerjaan Linge itu betul ada, tapi yang diragukan sekarang adalah sejarah dari pada Kerjaan Linge itu simpang siur. Dengan adanya beberapa bukti yang sampai saat ini masih ada, kita mempercayai dinasti Kerjaan Linge itu ada, salah satu pecahanya adalah samudra pasai (pase) yang merupakan keturunan Raja Lingga (linge).

    Untuk membicarakan suatu kenyataan sejarah, maka tidak terlepas dengan bukti-bukti yang harus dikaitkan dalam penulisan. Dari referensi di atas menurut dapat disimpulkan adanya Kerajaan Linge itu sekitar 60%, mengapa demikian? Karena ilmu sejarah itu bisa di buktikan dengan 4 hal, 1) Fakta (bukti Peninggalan), 2) Waktu, 3) dimana terjadinya kejadian tersebut? 4) Wawacara dengan orang yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Dengan demikian Semua kejadian sejarah, di perlukan bukti yang kuat untuk menjadikannya suatu sejarah yang sah.

    Kerajaan Linge hingga saat ini memang masih di masukkan dalam kemisteriusan dunia sejarah, terutama di daerah Aceh Tengah sebagai asal dari Kerajaan Linge itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan belum di resmikannya hingga saat ini Kerajaan Linge sebagai Kerajaan yang permanen di Aceh Tengah.

    Untuk mempersatukan bangsa Indonesia, masing-masing individu dari suku bangsa tersebut harus mengetahui jati diri mereka itu sendiri, tentunya semua itu harus dengan mengerti sejarah dari suku bangsa itu sendiri. Dengan dimengertinya sejarah dari pada suku bangsa itu, maka individu tersebut akan bersatu, itu semua di sebabkan oleh mengerti dengan apa-apa yang harus mereka lakukan di dalam kehidupan lingkungan masyarakat mereka sendiri. Mengetahui dan mengenal asal usul suku bangsa sendiri maupun suku bangsa orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap bangsa yang sedang di duduki ini. Dengan demikian, individu dapat menghargai dan mempelajari lebih tentang dari suku sendiri maupu suku orang lain, yang tujuannya adalah mempererat kebudayaan Indonesia.

    ASAL KATA LINGE

    Kata linge terdiri dari dua kata; “ling” dan “nge”. “Ling” dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan “nge” dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.

    Latar Belakang Kerajaan Linge

    Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).

    Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar “Cik Serule (Paman Serule)”. Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

    Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule”. Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.

    Dari situs http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/, saya membaca tentang didong gayo yang menurut Ismuha, (13/7), Kabid kebudayaan Pemkab Bener Meriah, kesenian didong dimulai sejak Reje Linge ke 13. Kemudian, di sini timbul pertanyaan yang besar bagi kita, lantas kapan Reje Linge I-XII itu terjadi?

    Di situs lain dikatakan juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein mengatakan bahwa Reje Linge itu merupakan kekeberen istilah gayo dan berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang langsung mereka wawancarai dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô.Dalam kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M).Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih).Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke Karô).
    Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.

    Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.

    Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I

    Ali Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan.

    Tinggallah Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.

    Terdapat sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.

    Namun, ternyata ada yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.

    Setelah lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén.

    Sesampai diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.

    Akhirnya mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat tersebut telah melahirkan.

    Mereka lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.

    Dalam keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.

    Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan Raja Lingë.

    Mengetahui hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di Karô.

    Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë

    Sepeninggal adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan’an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.

    Ketika jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.

    Ketika rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.

    Ketika tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja Langkra.

    Setelah itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah, yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.

    Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.

    Setelah itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis pertahannya terakhir di Lingkë.

    Melihat hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.

    Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan’an.

    Kemenangan tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.

    Malam Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.

    Kerajaan Malik Ishaq

    Islam pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.

    Sewaktu terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.

    Anak Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.

    Muyang Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah, Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka merencanakan akan membunuhnya.

    Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.

    Ketika Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.

    Keanehan atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang Bersah.

    Kemudian Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh, didahului dengan nama Mérah.

    Keenam Anak Muyang Mérsah

    Keenam Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada daerah yang akan ditempatinya.

    Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.

    Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.

    Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.

    Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.

    Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén

    Mérah Sinabung

    Mérah Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,

    Keduanya mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan yang terjadi.

    Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia mengajar mengaji.
    Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah Mégé.
    Wassalam,…