Kuala Lumpur | Lintas Gayo – Penggiat World Gayonese Association (WGA) Sabela Gayo megungkapkan, pengukuhan Tgk Iklil Ilyas Leube sebagai Reje Linge XX merupakan langkah maju dan strategis dalam mengembalikan kejayaan Kerajaan Linge Gayo yang telah “mati suri” selama puluhan tahun.
Banyak pihak bahkan orang Gayo sendiri menganggap bahwa keberadaan Kerajaan Linge merupakan mitos dan diragukan kebenarannya. Sehingga pengukuhan Reje Linge XX merupakan langkah luar biasa di tengah-tengah kebimbangan dan kebingungan rakyat Gayo sendiri terhadap sejarah perjuangan nenek moyangnya sendiri.
Menurut Sabela, selama ini orang luar Aceh tidak tahu bahwa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan bentuk “legacy/bukti” keberadaan Kerajaan Linge dan sekaligus merupakan “successor kingdom/kerajaan penyambung”.
Anggapan yang selama ini berkembang diluar Aceh adalah bahwa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan Kerajaan tertua dan merupakan Kerajaan yang “hanya” didirikan oleh masyarakat Aceh pesisir dan tidak ada andil orang Gayo di dalamnya sama sekali. Anggapan orang diluar Aceh tersebut ternyata salah besar karena pendiri Kerajaan Aceh Darussalam sekaligus sebagai Raja Aceh Darussalam yang pertama adalah Merah Johansyah (putra Reje Linge) dengan gelar Sultan Ali Mughayatsyah.
“Bahkan berdasarkan sejumlah riset ilmiah disebutkan bahwa Sultan-Sultan Aceh selanjutnya setelah Merah Johan merupakan sultan-sultan yang berdarah Gayo termasuk Sultan Iskandar Muda,” ungkap Sabela Gayo dalam siaran pernya, Rabu (30/1/2013).
Pengembalian simbol-simbol Kerajaan Linge sebagai Kerajaan tertua di tanah Aceh, lanjut Sabela, mutlak dilakukan seiring dengan semakin melunturnya semangat kebersamaan dan kekompakan di dalam struktur sosial masyarakat Gayo. Dengan adanya keberadaan lembaga Reje Linge XX diharapkan dapat memainkan peran sebagai simbol pemersatu di tengah-tengah masyarakat Gayo dan sekaligus membawa angin perubahan bagi proses pembangunan ekonomi, sosial dan budaya khususnya di Tanoh Gayo maupun Aceh secara keseluruhan.
Terlepas dari adanya pro dan kontra terkait urutan Reje Linge yang ke XVIII atau ke XX dan juga terlepas dari adanya pihak-pihak yang apriori terkait pengukuhan tersebut karena menganggap dirinya merupakan keturuan langsung/asli dari Reje Linge juga, namun demikian pengukuhan tersebut patut diapresiasi dan dihormati sebagai satu langkah revolusioner bagi kemajuan Tanoh Gayo.
Reje Linge XX memikul beban dan tanggung jawab moral yang demikian tinggi dalam mengembalikan kejayaan dan wibawa Kerajaan Linge sebagai kerajaan pertama, tertua sekaligus “pemegang saham utama” Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan bukan tidak mungkin keberadaan dan kehadiran Reje Linge XX akan lebih mulia dibandingkan kehadiran dan keberadaan lembaga Wali Nanggroe. Dan bila perlu yang melantik dan mengesahkan Wali Nanggroe adalah Reje Linge XX atau mungkin Reje Linge memiliki kedudukan ganda baik sebagai Reje Linge maupun Wali Nanggroe di Aceh.
“Semoga pengukuhan Reje Linge XX dapat memberikan semangat baru, suasana baru, dan harapan baru bagi segenap tumpah-darah Gayo dimanapun berada,” harap Sabela.(SP/red.04)
eya sana. Boh sahen2 simera keturunen ni reje2 a ku arap renye. Ari maneami sengap, a kekene si wan tv so perinne makrum ente, bahlul ente deh-el-el
Gajah Putih dan Kerajaan Linge Di Gayo
Saat Sengeda menjinakkan gajah putih, dan menyerahkan kepada Sultan. Sengeda membongkar kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Sultan Murka. .
Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul
wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan denganberdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo.
Sumber tulisan ini berasal dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.Tahun 1025 di Gayo berdiri Kerajaan Linge pertama. Rajanya namanya “Kik Betul” atau “Kawee Teupat” menurut sebutan
orang Aceh pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.
Raja Linge ini mempunyai 4 orang anak, tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu
Beru, kemudian anaknya yang lain adalah Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga ketua adalah laki-laki. Sebayak Lingga berkelana ke daerah Karo dan membangun negeri di sana.
Meurah Johan mengembara ke daerah Aceh Besar dan juga membangun negeri di sana yang dikenal sebagai Lamkrak dan Lam Oeii (Lamoeri) sedang Meurah Lingga tetap tinggal di Linge yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun-temurun.
500 tahun kemudian, sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal “Gajah Putih dan Kerajaan Linge Di Gayo” sebagai Raja Linge ke XIII. Raja ini terkenal, karena selain kedudukannya di Tanah Gayo, ia juga orang penting di pusat Kerajaan Aceh.
Bukan itu saja ia juga orang penting di kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.
Saat Portugis merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera. Keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh ikut membantu Raja Malaka tersebut.
Hubungan kerjasama ini berkembang demikian rupa hingga terjadi suatu perkawinan politik
antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya, seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh, ia adalah Raja Linge ke XIII yang duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb) sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.
Karena kedudukannya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di Tanah Gayo. Tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru. Dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor menugaskan Raja Linge XIII membangun pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor yang dikenal kemudian sebagai “Pulau Lingga”.
Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga. Ia punya dua orang anak lelaki, bernama “Bener Merie” dan adiknya bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga ini kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia. Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil Bener Merie dan Sengeda. Ketika keduaduanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.
Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV. Malang nasib mereka, kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV, mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua – duanya dijatuhi hukuman mati.
Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan
Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571. Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “Gadjah Putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya.
Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya. Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh. Upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan, gagal.. Gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasa jinak
telah berubah menjadi berang dan ganas, gajah putih mengejar-ngejar Raja Linge XIV. Raja ini hampir tewas saat gajah putih itu mengamuk.
Sengeda kemudian dapat menjinakkan gajah putih tersebut. Ia selanjutnya menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Hal itu mengundang keheranan khalayak yang hadir. Sultan menanyakan apa rahasianya, saat didesak seperti itu, Sengeda terpaksa membongkar rahasia
kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Mendengar keterangan Sengeda, Sultan murka. Ia segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati.
Tetapi beruntung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya kemudian diperingan, ia diturunkan pangkatnya dan harus membayar Diyat atau semacam Denda. Setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu.
Kisah lain mengenai peristiwa “gajah putih” dan kisah “Sengeda” adalah versii yang ditulis seorang penyair Gayo bernama Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenall Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hampir sama. Namun, isinya jauh berbeda.
Perbedaan terpenting adalah, menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda
tersebut berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan kisah
dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di Gayo Laut.
Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.
alangkah indahnya kalo kerajaan itu bangkit dengan kejujuran dan keikhlasan… bukan bermuatan politis…
indahnya budaya ketika domain raja ada pada garda terdepan pelestari budaya… bukan bermain api berpolitik ria…
siapkah anda2 dibalik iklil untuk tidak berpolitik…
benar bahwa kerajaan linge itu ada…. tapi apa benar yg diangkat itu keturunan raja linge… keturunan sengeda
mohon lintas gayo sebagai kumpulan orang muda untuk kritis… buka tabir selebar2nya banyak orang berkepentingan secara politis.
gayo akan hancur dg politik murahan dan yang untung segelintir org yg memanfaatkan tgk iklil
ga jadi bupati ya jadi raja-rajaan aja aaaah…… negeri yg aneh
kayaknya ada seseorang yg berkepentingan neh qiqiqi mudah ditebak
politik kampungan eheheu
tunjukkan dulu marwah sbg raja… tanpa dirajakan pun seseorang yg bermarwah akan lebih menjadi “raja” dari pada raja-rajaan
smoga dibukakan pintu hati yg selebar2nya…. istigfar..istigfar….
” YANG RAGU – RAGU DENGAN TANOH GAYO SILAKAN PULANG,…!!! BACALAH SEJARAH BANYAK – BANYAK BARU BERKOMENTAR TENTANG TANOH GAYO,….!!! DUIT NEGARA INI BANYAK BUNG,…!!! KENAPA HARUS MENGHARAPKAN DARI APBK YANG HANYA 700 RATUSAN MILYAR,…!!! TRILYUNAN RUPIAH BISA DI DAPAT DARI NEGARA INI,…JANGAN BERPIKIRAN KERDIL,….SEJARAH TELAH MENCATAT PENGORBANAN DAN PERJUANGAN RAKYAT GAYO UNTUK NUSANTARA INI,….!!! TINGGAL PARA AHLI SEKARANG YANG HARUS MAJU DAN AMBIL PEDULI DALAM HAL LOBY ( NEGOSIATOR ) KE JAKARTA,…BILA TIDAK ADA JUGA PARA AHLI DARI TANOH GAYO YANG IKUT PEDULI,….BAYAR PARA AHLI DARI LUAR UNTUK MENDAPATKAN DANA DARI NEGARA INI,…!!! SUDAH CUKUP RASANYA BERSABAR SEJAK TAHUN 1945 SAMPAI DENGAN SEKARANG,….MARI BERSAMA SISINGKAN LENGAN MAJU DI GARDA TERDEPAN BELA TANAH GAYO,…!!!! BELA REJE LINGE,….!!! BELA MARWAH DAN MARTABAT NEGERI ANTARA BUMI LINGE TERCINTA,…!!!!!!
merdeka….
merdeka….
merdeka….