Catatan : Aniko*
Aku menembus jalan raya mengendarai sepeda motor. Meski badan terasa agak sedikit penat, karena kesibukan dan berbagai aktivitas di kantor, ditambah lagi hiruk pikuk kota metropolitan, Jakarta. Kemacetan hampir semua sudut jalan raya, belum lagi cuaca panas, asap kendaraan yang lewat sudah menjadi santapan sehari-hari, cukup membuat stress.
Demi keinginan untuk sampai ke tujuan aku memaksakan untuk tetap berangkat juga, walau tenagaku sedikit terkuras.
Dari tempatku berkantor, aku melewati Jalan Raya Pramuka yang tembus ke jembatan layang (Fly over) Matraman, kemudian lurus sekitar satu kilometer, belok ke kiri, lurus lagi sampai aku menemukan sebuah terowongan, masyarakat Jakarta menyebutnya terowongan Pintu Air Manggarai.
Habis melewati terowongan, belok ke kanan, lurus sampai menemukan lampu merah pertama. Tanpa berbelok aku terus memacu sepeda motor hingga melewati sebuah pasar yang dikenal dengan Pasar Rumput. Pasar itu tepat berdampingan dengan markas Polisi Militer (PM) Kodam Jaya.
Sedikit melewati markas PM, belok ke kiri, selanjutnya ambil arah lurus dan menemukan dua perempatan jalan. Perempatan jalan yang kedua, belok ke kiri lagi sehingga tidak lama kemudian aku menemukan tempat yang aku maksud.
“Hmm memprihatinkan,” gumamku begitu melihat bangunan tua tersebut.
Pohon mangga yang besar berdiri tegak depan gedung tua, di halaman gedung yang tidak terlalu luas. Meski bukan ilmuan, ku taksir usia pohon itu puluhan tahun. Dan terselip di belakang pohon puluhan tahun itu, sebuah papan nama yang disangga oleh dua tiang penyangga dari besi yang sedikit sudah berwarna kecoklatan.
Bangunan tua itu dikelilingi pagar. Bagian depan dipagari dengan besi, tetapi bagian samping sebelah kanan hanya dipagari dengan kawat berduri yang diikatkan ke beberapa balok kayu yang berdiri berjajar sebagai tiang penyangganya. “Sepertinya pagar yang ini sudah digondol maling,” pikirku lagi sambil turun dari sepeda motor.
Sesekali aku menoleh ke dalam gedung. Aku memandangi atap dari bangunan, tampak sebuah triplek yang sudah hancur dimakan usia berjuntai ke bawah, kalau dibiarkan bisa-bisa akan mencelakai orang yang lewat dibawahnya.
Adrenalinku semakin terpacu kencang, bernafsu ingin mengetahui isi dalamnya. Begitu memasuki pintu aku tertegun. Gedung tua yang tidak terawat, rumput liar tumbuh subur mengintari bagunan itu, hingga menutupi selokan yang memanjang sampai ke depan.
Bila hujan menguyur, air akan menggenangi gedung. Plafon bangunan yang terbuat dari triplek, rapuh dimakan usia dan rembesan air hujan. Beberapa genteng juga bocor, kerusakan hampir di sekeliling langit-langit bangunan.
Lapisan dinding banyak yang mengelupas. Beberapa genteng bagian tengah juga sudah hancur, dan sebagian lain sudah turun, susunan genteng sudah tidak beraturan karena tidak ada penyangga. “Ehmm bangunan ini seakan tidak berpenghuni,” kataku lirih.
Beberapa kamar ada dalam bangunan tua itu, berjajar dari depan sampai ke belakang mengikuti luas tanah dari bangunan yang memanjang, layaknya kamar indekost.
Berjalan ke arah belakang. Ada sekitar delapan kamar yang berjajar, tiga kamar di depan dan lima kamar di belakang. Namun, tampak hanya lima kamar saja yang layak pakai, dua kamar dibagian belakang dan tiga kamar di bagian depan. Sisanya tidak dapat digunakan lagi, bahkan atapnya sudah roboh, hanya dinding kamar yang tersisa, dan sudah dijadikan tempat untuk menjemur pakaian.
Di depan jejeran kamar belakang, berdiri dengan kokoh sebuah mushola, sedikit lebih bagus dibanding barisan kamar bangunan tersebut. Sepertinya mushola ini pernah direnovasi, terlihat dari atap dan plafonnya yang masih terlihat bagus. Jendela mushola menghadap ke dinding kamar. Ada tiga baris jendela mushola, bagian tengah tertutup dengan kaca, sedangkan kanan dan kirinya tidak. Pada salah satu jendela yang terbuka itu tergantung beberapa sajadah untuk sholat.
Tepat di depan mushola ada sebuah kubangan yang dikelilingi tembok semen kurang dari setengah meter, persis sebuah kolam kecil. Di dalam kubangan itu ada tumpukan kayu yang tersusun, aku menduga, kubangan ini pernah dijadikan kolam untuk memelihara ikan, tapi entah kenapa tidak dimanfaatkan lagi.
Dinding mushola itu menyambung dengan sebuah dapur yang biasa digunakan memasak, tampak dari keadaan dapur yang agak kotor dan tidak terawat, tergambar bahwa dapur itu juga jarang digunakan. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup untuk dijadikan tempat memasak. Aku mendapati sebuah kompor gas satu tungku dan tabung gas elpiji tiga kilogram serta beberapa piring dan gelas.
Kamar mandi dan toilet terletak di sudut kanan paling belakang, sejajar dengan dapur dan mushola. Menurut salah satu penghuni kamar mandi dan toilet itu baru direnovasi, “Kami mendapat bantuan bang,” ungkap seorang penghuni yang tak menyebut namanya. Ketika aku tanya mendapat bantuan darimana, ia diam saja, sepertinya enggan menjawab.
“Ah sudahlah,” pikirku lagi, untuk apa aku mengetahuinya, yang penting kamar mandi ini sudah layak untuk digunakan.
“Mudah-mudahan ada bantuan lain lagi bang,” harap orang tersebut.
“Sehingga bangunan ini bisa di pugar dan renovasi kembali, bangunan ini sudah banyak berjasa terhadap orang-orang yang pernah merantau ke Jakarta ini, bahkan, sebagian dari mereka berhasil dan sukses hidup disini,” ungkapnya.
“Semoga harapanmu terkabulkan,” sahutnku dalam batin saja. Bangunan ini bisa berdiri kokoh lagi, agar dapat mengulang sejarah memberikan naungan bagi perantau dari daerah, khususnya generasi penerus yang menimba ilmu di Jakarta.
Tidak terasa hampir dua jam aku berada disitu, berbincang dan berkeliling dengan salah satu penghuninya. Sambil berjalan ke arah sepeda motor, aku pamit dan berjanji lain waktu akan datang lagi.
Sepeda motor pun menyala, ketika kepergianku dihantar dengan keramahan seorang penghuni. Saat ingin tancap gas meninggalkan gedung tua, aku terhenti, dan sedikit menoleh ke kanan, “ Asrama Mahasiswa, Yayasan Laut Tawar Jakarta” tertulis disebuat papan nama.
“Semoga tidak ditinggalkan dan berharap semua mata masih menoleh padamu Asrama Mahasiswa, Yayasan Laut Tawar Jakarta, dan mandapat perhatian untuk kembali berjaya,” kataku semberi berlalu.
*Aniko, tinggal di Jakarta