Banda Aceh | Lintas Gayo – Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Pusat, Prof Dr Mardiasmo Ak, MBA, Phd mengatakan, pemberian uang tips kepada aparatur pemerintah baik di tingkat desa hingga pusat, masih dianggap lazim oleh masyarakat. Ini salah satu penyebab sulit tercapainya reformasi birokrasi seperti yang diharapkan.
Hal itu ditegaskan Mardiasmo, saat menjadi pemateri Workshops The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) bekerjasama dengan USAID Indonesia, dengan tema ‘ Nanggroe Akuntabel, Rakyat Percaya’, di Hotel Hermes, Banda Aceh, Selasa (25/3).
Menurut Mardiasmo, selama ini hampir di setiap Provinsi di Indonesia, dapat ditemui masyarakat yang memberikan uang tips saat mengurus surat, baik di tingkat pemerintahan desa maupun pemerintahan pusat. Kata dia, masyarakat masih beranggapan, dengan memberikan uang tips semua pengurusan baik surat maupun hal lainnya akan cepat selesai.
“Masyarakat masih menilai pemberian uang tips itu adalah hal yang normal untuk memuluskan pengurusan dan tanda balas jasa. Misalnya urus KTP kasih uang ke aparat desa, urus sertfikat tanah kasih uang ke BPN. Padahal, itu bagian dari korupsi,” tambahnya.
Mardiasmo mengutarakan, selama ini masyarakat juga kurang respon terhadap pengawasan dan masih enggan melaporkan adanya potensi-potensi tersebut kepada petugas. “Karena sudah dianggap hal yang normal, masyarakat jadi tidak ada yang melapor. Hal ini yang perlu diberikan pemahaman tentang korupsi kepada masyarakat,” tambahnya.
Mardiasmo mengungkapkan, belum banyak keberhasilan BKPP dalam memberantasi kasus korupsi di Indonesia. Pasalnya, kata dia, untuk memberantas praktik korupsi memang bukan hal yang mudah dan butuh waktu lama. Namun demikian, Madiasmo bertekat untuk mendorong dan mewujudkan pemerintahan yang baik tanpa korupsi.
“BPKP tidak kompromi dengan korupsi. Untuk itu BPKP harus melakukan pengawasan dengan cara blusukan ke pemerintah. Harus ada reformasi birokrasi untuk mengoptimalkan peranan pemerintah,” pungkasnya seraya menambahkan, BPKP berhasil menyelamatkan uang negara Rp 68 trilyun dari hasil korupsi.
“Kita telah melakukan penghematan keuangan negara (cost saving), selama lima tahun terakhir,” tegas Mardiasmo.
“Periode 2009 sampai 2014, dalam membantu terwujudnya akuntabilitas dalam kebendaharaan umum negara dan pengelolaan asset. BPKP telah menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 8,13 triliun,” ujar Mardiasmo.
Sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), BPKP membantu mewujudkan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan negara dan daerah. Akuntabilitas pelaporan keuangan negara masih memerlukan perbaikan sebagaimana ditandai dengan masih belum diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Pernyataan Kepala BKPP tersebut dikuatkan oleh pandangan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Mursyid, saat menjadi narasumber dalam kegiatan yang sama.
Mursyid mengibaratkan, jabatan dalam pemerintahan di negeri ini, termasuk di Aceh bagaikan dagangan (jula-beli). Sehingga budaya korupsi susah dihilangkan dalam lingkaran sebuah kekuasaan. Untuk mendapat jabatan terhormat, kata Mursyid, bukan berdasarkan pengalaman dan kemampuan sesorang tetapi atas kedekatan dan loyalitas kepada pemerintahan yang berkuasa.
“Kenapa saya katakan ibarat dagang, pintar cara mendekati pejabat berkuasa maka posisi jabatan akan dapat. Di sini kemudian muncul dil-dil yang berujung korupsi,” katanya.
Sementara itu, Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar, dalam pemaparannya mengakui, sistem birokrasi di Indonesia masih belum baik. Menurut Azwar, hal tersebut dikarenakan masih gemuknya struktur pemerintah di Indonesia yang mengakibatkan tidak efektifnya kinerja aparatur negara.
Dalam rangka membangun birokrasi yang baik, kata Azwar, pihaknya telah melakukan evaluasi dibeberapa sektor seperti rekrutmen SDM dengan objektif dan promosi jabatan secara terbuka.
Meski belum tercapai semuanya, kata Azwar, namun pihaknya akan terus membangun birokrasi yang bersih dan kompeten, agar Indonesia dapat segera mengejar ketertinggalan dari negara lain. “Reformasi birokrasi terus kita lakukan dan masih dalam proses,” kata Azwar.
Azwar megatakan, guna menciptakan pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, dirinya saat ini lebih menekan pada pengawasan internal pemerintah. Menurutnya, saat ini dirinya telah mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menggagas sebuah lembaga pemeriksa internal pemerintah di bawah Presiden.
“Saya telah melaporkan ke Presiden untuk membuat sebuah lembaga pemeriksa yang disebut dengan Inspektur nasional. Saya menilai lembaga pemeriksa yang ada selama ini tidak begitu efektif karena kewenangannya terbatas dan petugasnya berada dibawah bupati sehingga tidak independen,” tegasnya.
Azwar mengutarakan, saat ini naskah akdemik pembentukan lembaga pemeriksa tersebut saat ini sudah rampung dikerjakan dan sudah disosialisasikan. “Insya Allah, Juni ini akan menyerahkan kepada DPR. Walaupun tidak selesai dalam priode ini, kita berharap bisa selesai di priode mendatang,” harapnya.
Anggota DPR RI asal Aceh Nasir Jamil, dalam kesempatan yang sama mengutarakan, masih banyaknya kasus korupsi di birokrasi ataupun instansi lainnya, dikarenakan Indonesia masih dalam masa transisi dari otorisasi menuju demokrasi.
Menurutnya, negara Indonesia belum termasuk negara demokrasi karena sistem pemerintahannya masih tertutup serta banyaknya kasus korupsi. “Negara yang demokrasi identik dengan pemerintahan yang bersih dan transparan, sementara negara otorisasi identik dengan korupsi. Dan Indonesia masih dalam masa transisi,” terangnya.
Anggota DPR RI dari PKS ini mengatakan, upaya pemerintah Indonesia untuk memperbaiki birokrasi secara struktur sudah dilakukan. Hanya saja, kata dia, tinggal mengubah kultur aparatur pemerintah untuk tidak melakukan korupsi.
“PR kita sekarang adalah mengubah kultur atau budaya agar tidak melakukan korupsi. Untuk itu, media diharapkan agar selalu mengawasi birokrasi agar pelayanan publik dapat ditingkatkan,” pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan, Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar, Anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Jamil, Anggota DPD asal Aceh, Ir.Mursyid dan Gubernur Aceh yang diwakili oleh Asisten III Pemerintah Aceh, Muzakkar, serta Direktur Eksekutif JPIP Rohman Budijanto dan 50 peserta dari jurnalis dan LSM di Aceh. (Rakyataceh)