Tanggal 2 Mei, untuk kesekian kalinya diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di tahun 2011 ini. Juga di Kabupaten Aceh Tengah dengan tema secara nasional telah ditetapkan Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dan subtema adalah Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti.
Melihat tema dan subtema diatas, khususnya di Aceh dan terlebih di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah tentu tidak bisa dilepaskan dengan Pendidikan Islam sejak dini baik dipendidikan formal maupun informal serta pengaruh lingkungan.
Berikut petikan wawancara Lintas Gayo bersama seorang pelaku dunia pendidikan Islam di Aceh Tengah, Abidah, M.Pd selaku Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Tarbiyah yang ditemui di ruang kerjanya dikomplek STAI Gajah Putih Takengon, Senin (2/5).
Bagaimana anda melihat pendidikan hari ini, khususnya Pendidikan Agama Islam di Aceh Tengah
“Secara kurikulum bagus !, tujuan intruksional juga sudah jelas dipaparkan. Di Madrasah Aliyah diajarkan mulai dari masalah kebersihan, Daulah (negara), bahkan jangan memberontak atau diajarkan menjadi warga negara baik. Tapi persoalannya pesan itu tidak tersampaikan. Guru-guru juga hanya menyampaikan pada tahapan kognitif saja, afeksinya tidak dapat. Padahal yang terpenting adalah bagaimana siswa atau pelajar dan juga mahasiswa mampu mengaplikasikannya. Kemudian dalam hal ini guru yang disalahkan, kenapa? Karena gurulah yang berada di garda terdepan. Maka sebenarnya internalisasi nilai harus diutamakan.
Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam apa sudah diterapkan secara maksimal dikalangan mahasiswa, pelajar dan masyarakat?
“Bahkan diera maraknya tempat-tempat pengajian misalnya juga belum mampu mewakili internalisasi nilai tersebut. Bahkan yang ada terjadinya gradasi nilai baik dikampus pelajar dan juga masyarakat. Menurut saya pendidikan harus dimulai dari basisnya, yaitu rumah lalu disinergikan dengan pendidikan di sekolah juga masyarakat.
Bagaimana peranan dosen dalam meningkatkan pengamalannya ditengah masyarakat.
“Dosen sebagai civitas akademika yang juga bertanggung jawab dalam peningkatan pengamalan pendidikan Agama sudah berupaya melakukan itu, mulai dari ceramah di masjid, seminar dan workshop, dan melalui program-program dari Lembaga Dakwah Kampus yang langsung dikelola oleh dosen. Walaupun mungkin belum berhasil secara maksimal, tapi upaya itu sudah dilakukan.
Upaya apa yang harus dilakukan agar penerapan Pendidikan Agama Islam dapat terlaksana secara maksimal?
“ Kalau dikampus, di STAI sudah dilakukan, misalnya program hafalan Al-Qur’an yang menjadi syarat keikutsertaan mahasiswa dalam ujian final. Ini salah satu upaya mendekatkan mahasiswa dengan AlQur’an. Selain itu kampus juga melakukan sosialiasasi pelaksanaan Syari’at Islam, misalnya mahasiswi yang tidak berpakaian rapi dan sopan secara standar pakaian muslimah, tidak diizinkan berurusan dengan dosen maupun dengan akademik. Melalui khutbah Jum’at. Semuanya bentuk kerja civitas akademika.
Penerapan Pendidikan Agama Islam ada hubungannya dengan budaya, bagaimana ?
“ Saya pikir budaya kita tidak ada yang bertentangan dengan syari’at. Jadi selama budaya tidak bertentangan dengan Syari’at, ya silahkan dijalankan.
Apakah ada perbedaan yang mendasar pendidikan masa kini dan sebelumnya?
“Saya pikir ada, bedanya apa? . Saat ini fasilitas memadai bahkan dibeberapa sekolah sudah sangat lengkap, orang-orangnya banyak prestasi. Tapi sepertinya ada yang hilang, pendidikan saat ini kehilangan nilai, kepribadian atau ruh dari pendidikan itu.
Apakah ada hubungan pendidikan dengan politik?
“ O, jelas ada, bahkan sangat dekat. Politik yang saya maksud adalah bahwa pendidikan harus diatur dengan baik oleh pemerintah, artinya harus ada kebijakan yang jelas mulai dari anggaran pendidikan sampai kepada kebijakan pendidik itu sendiri. Terutama pendidikan Agama. Pemerintah punya Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an (LPTQ) lho…. Tapi LPTQ dibiarkan tanpa program sampai-sampai TPA-TPA yang dulu ada di setiap desa sudah tidak bergerak lagi. Kenapa? Karena guru-gurunya tidak mendapatkan pembinaan, gajinya kecil.
Bagaimana pendapat anda mengenai PNS yang 1 tahun bertugas tapi sudah minta pindah, bukan hanya putra luar daerah, tapi putra daerah sendiri begitu.
“Menurut saya tidak masalah merekrut putra luar daerah asalkan berkualitas?. Tapi masalahnya sekarang apa benar putra luar daerah sudah terjamin kualitas nya? Ditengah carut marutnya pelaksanaan PNS saat ini?. Ini seharusnya diatur oleh pemerintah dengan baik. Jangan 1 tahun bertugas minta pindah akhirnya sekolah dan pelajar yang dirugikan. (athahirah)
Tetap semangat, semoga dari sekedar retorika bisa membangun tindakan berbagai kalangan untuk membangun pendidikan di Tanoh gayo. Amin….
semangat bg edi…
Problem Pendidikan di Tanoh Gayo adalah kuatnya intervensi para elit-elit lokal di dunia pendidikan, seorang guru dengan mudahnya pindah, asal punya koneksi dengan para penguasa, implikasinya kemudian adalah kurang memadainya guru-guru di daerah pedesaan, padahal di dalam Qanun No 5 Tahun 2008, sudah sangat jelas dinyatakan bahwa adanya pemerataan pendidikan bagi masyarakat, ini artinya bahwa pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap kebutuhan guru di daerah pedesaan, implikasi dari tidak meratanya guru adalah terjadi penumpukan di daerah perkotaan, ada banyak guru yang tidak kebagian jam, karena guru mata pelajaran yang sama jumlahnya sudah sangat melebihi kebutuhan sekolah. Implikasi lain dari tidak adanya pemerataan guru adalah adanya ketimpangan yang sangat kentara antara sekolah di perkotaan dengan sekolah di pedesaan, terhadap output yang dikeluarkan oleh sekolah tersebut. Demikian pula pemilihan kepala sekolah, kurang memperhatikan standar kualitas, pada kepala sekolah merupakan nakhoda bagi sekolah. Jadi “wajar” kalau setiap tahun output SMA sederajat sangat sedikit yang bisa diterima pun tingkat UNSYIAH, tahun 2010 tidak lebih siswa SMA sederajat yang berasal dari AT dan BM yang diterima di UNSYIAH. Faktor lainnya adalah ketidakjelasan visi pendidikan di Tanoh Gayo, indikator keberhasilan sekolah selalu dilihat dari hasil UN, ini sangat ironis, karena sesungguhnya UN itu merupakan awal bagi siswa menuju ke mahasiswa. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa antusiame masyarakat terhadap pendidikan tinggi sangat tinggi, bahkan tinggi sekali. Sebenarnya dari antusiame masyarakat terhadap pendidikan tinggi, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa yang dinginkan masyarakat itu adalah anaknya mampu berkompetisi pada PTN, tapi fakta menunjukkan sangat minim output SMA sederajat yang berasal dari AT dan BM yang bisa diterima pada PTN. Di dalam UUPA No 11 Thn 2006 dan Qanun No 5 Tahun 2008, disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan mutlak harus ada, artinya bahwa, ketika pemerintah merumuskan visi dan misi pendidikan, maka masyarakat juga harus terlibat. Kalau melihat antusiasme masyarakat menyekolahkan putra-putrinya pada jenjang PT, maka seharusnya Visi dan Misi Pendidikan Tanoh Gayo adalah (contoh visi) Menjadikan Siswa Yang siap berkompetisi pada jenjang Regional, Nasional dan International. Faktanya kan tidak seperti itu, yang penting tidak ada siswa yang tidak lulus UN, just it! ini sungguh naif. Ini sama aja menciptakan pengangguran-pengangguran baru di Tanoh Gayo, Kenapa? karena ada sebagian masyarakat kita Negeri Minded, pokoknya kalau anak saya tidak di PTN, tidak usah kuliah, ada orang tua seperti itu, banyak faktor kenapa orangtua berpikir seperti itu, salah satu faktornya adalah faktor ekonomi, kalau di Negeri lebih bisa terjangkau. Perihal Pembangunan Karakter Bangsa Gayo pada siswa, ini juga masih jauh dari harapan, menurut hemat saya, bahwa saat ini belum ada standar kurikulum muatan lokal yang tersedia pada dinas, yang itu kemudian bisa diterapkan oleh sekolah-sekolah, sehingga dimasing-masing sekolah implementasi kurikulum muatan lokal berbeda-beda, ada yang bahasa gayo, ada yang bahasa inggirs, ada kaligrafi dll. dan ironisnya pengajaran bahasa Gayo pun tidak berdasarkan, grammar, structure, listening dan reading, jadi wajar-wajar saja kalau bahasa tidak membumi pada anak-anak sekarang, disamping orangtua juga tidak membiasakannya. dan sisi tenaga pendidik, juga tidak berlatar belakang yang sesuai dengan diajarkan. Sebenarnya tujuan dari MULOK itu adalah bagaimana siswa bisa lebih mengenal lingkungannya, misal mulok di blang mancung tidak sama dengan di Isaq, karena perbedaan karakter daerah. hal lain lagi kita punya kerawang Gayo, apa sebenarnya makna yang terkandung dalam setiap ukiran kerawang Gayo, kita punya alas belintem, keni rawan keni banan dan masih banyak kekayaan lokal yang dimiliki oleh Gayo, kalau tidak melalui sekolah hal ini diperkenalkan melalui lembaga mana lagi kita bisa mengenalkan potensi peninggalan nenek moyang kita kepada generasi penerus bangsa Gayo? Perihal Penanam nilai-nilai syariat Islam di Tanoh Gayo, saya melihat di SMA I TKN, tidak memiliki mushola yang cukup representatif bagi siswa untuk mempelajari nilai-nilai Islami, bagaimana mungkin siswa bisa belajar agama, sarananya saja tidak ada. Entah menurut siapa? bahwa nuansa Islam di sekolah bisa dilihat dari adanya lukisan Asmaul Husna yang menempel pada dinding sekolah, SubhanaALLAh ini simbul bukan belajar memahami agama. Dalam UU No 20 Tahun 2003, Sistem pendidikan Nasional di amanatkan bahwa adanya desentralisasi pendidikan, desentralisasi pendidikan tersebut berada pada level kabupaten kota, nah harusnya kabupaten kota memiliki keberanian untuk merubah jam mata pelajaran agama bukan hanya 2 jam dalam seminggu akan tetapi kalau bisa 4 atau 6 jam, agar dekedensi moral generasi muda saat ini sacara gradual bisa diperbaiki. Sebenarnya dalam UUSPN 20/2003 pusat hanya meminta kemampuan siswa untuk mata pelajaran yang di UN kan, ini memang menggunakan standar nasional, dengan harapan siswa yang berada dari sabang sampai mauroke, bisa memiliki kemampuan yang sama, pun ini tidak mungkin terjadi, diluar akal sehat, siswa jakarta, yogya dan bandung, disamakan dengan siswa di NTT dan Papua. mengingat ketimpangan baik sarana dan prasarana yang sangat besar, antara Jakarta dan NTT. Di point ini saya ingin menyampaikan bahwa ketika mata pelajaran agama tidak ditambah, maka jangan banyak berharap dekadensi moral generasi muda bangsa Gayo akan menjadi lebih baik. Impossible~! Jangan heran pula kalau saat ini banyak siswa yang sudah takut kepada Sang Guru, di dalam agama Islam posisi Guru sangatlah mulia. Ketika melakukan penelitian di salah satu sekolah di Jakarta di Tahun 2010, saya terharu melihat ada banyak siswa melakukan sholat dhuha di mushola sekolah, ada juga siswa bersama gurunya belajar kitab suci Al-Qur’an di tempat yang sama SubhanaALLAH pemandangan yang menyejukkan, saya berpikir saat itu, bukankan suasana ini harusnya berlangsung di Tanoh Gayo, mengingat kita sudah mengikrarkan bahwa daerah kita daerah Syariat Islam, kita juga punya pepapatah Gayo yang mengatakan bahwa Agama Ikanung Edet, Edet I Kanung Agama..Sungguh indah pepatah ini. Pertanyaanya apakah mushola-mushola sekolah di tempat kita sudah berfungsi sebagai media pembelajaran agama? ironisnya ada sekolah di tempat kita tidak punya musholla. jadi Inti dari tulisan saya ini Pertama, Kalau kita ingin adil dalam pendidikan, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh DINAS Pendidikan adalah Pemerataan Guru, Kedua, Kalau kita ingin melihat Generasi Muda Gayo yang Gayo Banget, maka Kurikulum MULOK harus secepatnya dirumuskan bersama TOGAM, TOMAS, KOMITE SEKOLAH dan SEKOLAH sendiri. Ketiga, Dekadensi Moral dan Pemahaman Agama bisa ditanamkan ke siswa kalau Mata Pelajaran Agama di tambah dan Guru Agama yang sekaliber Tgk, apabila perlu secara berkala Ulama atau Tgk-Tgk diundang ke sekolah untuk membantu guru agama mengajar tentang Apa itu ISLAM, IMAN dan IHSAN? Terakhir UUPA NO 11 Tahun 2006 dan Qanun No 5 Tahun 2008, saya pikir sudah sangat cantik dan manis merumuskan harus seperti apa pendidikan Aceh itu? pertanyaannya adalah maukah para pengambil kebijakan pendidikan mengimplementasikan Qanun No 5 Tahun 2008 secara kaffah? Wallahualam Bi Sawab.
hila nngnya ruh pendidikan kita saat ini tidak terlepas dari sistem pendidikan kita yang juga kehilangan ruh, terutama mulai dari produksi tenaga kependidikan kita yang salah, menyebabkan terjadinya sumber daya guru kita juga melemah, oleh karenanya perlu adanya komitmen dari semua pihak, mulai dari sekolah sampai Perguruan Tinggi serta pemerintah harus bisa menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.
Bukan pendidikannya yang kehilangan ruh, tapi orang-orang yang menjalankan sistem pendidikan itu yang sudah kehilangan ruh.