Oleh: Feri Julianto Selian
Kebun Singkong.
Kehidupan ini hanya perihal pergi dan datang. Seperti sahabatku Malik. Dia pergi beberapa hari yang lalu;meninggalkanku dan dunia ini. Meninggalkan segala cita-cita kami. Entah mengapa dunia hanya diberi pilihan dua mata kehidupan itu. Datang dan pergi. Entahlah. Mungkin sudah seperti inilah kehidupan ini. Dari sang empunya kehidupan yang mengatur segalanya.
Sahabatku Malik, sebelum kepergiannya masih bermain bersamaku. Bermain perang-perangan ditengah kebun singkong Kek Jadi yang garang itu, sambil menembakiku dengan peluru buah jambu air dia berujar,
“Kau tahu tidak, Sadri? Bagaimana rasanya terkena peluru?”
“Pastinya sakit, Lik.”
“Kau benar, Sad. Aku tak ingin mati dalam perang.”
“Mengapa?” tanyaku sambil menembakinya. Tapi dia keburu lari sambil tertawa.
“Bilang-bilanglah kau kalau menembak, Sad!”
“Ah, kalau kubilang kapan aku bisa mengenaimu!”
Seharian kami berkejar-kejaran ditengah-tengah kebun itu. menembak, menerjang, membentak dan mengeluarkan kata-kata yang kurang layak. Seperti yang sering dikatakan serdadu-serdadu Hollywood ketika berperang dalam film-film.
“Ai, Kena kau Sad!! Kena! Mati. Mati kau!”
“Ah, mana ada bekasnya? Mesti berbekaslah. Coba kau lihat badanku. Masih bersih. Tak ada bekas jambunya.”
“Eh, kau lihat sendiri saja. Kau kena, Sad. Mati…” aku tak mau mendengarnya. Malah berlari sambil menembakinya. Kami tertawa lepas. Iitulah tawanya yang paling lepas yang kudengar. Dia menghindari lemparan jambu yang menghampirinya. Tapi satu jambu mengenai jidadnya. Lalu beruntun mengenai badannya.
Aku meloncat girang.
“Nah, kena kau, Malik! Sekarang jidadmu pula. Kau mesti mati.”
“Ga akan, Sad. Kaupun tak mati tadi.”
Aku terpingkal-pingkal menahan tawa. Malikpun kulihat merah mukanya karena geli.
*****
Dibawah pohon mangga yang Rindang.
Matahri mulai terik. Dan badan hitamku sudah berlumuran keringat. Baju malik yang tipis sudah menempel-nempel tak rata dibadannya. Dahaga mulai menyerang kami. Malik mengeluarkan sebotol air mineral yang dia bawa. Dia menyodorkannya padaku.
“Kau pasti haus, Sad.”
“Kau juga. Minumlah lebih dulu. Aku bisa setelahmu.”
“Kau saja lebih dulu. Aku belum terlalu haus. Ayo, minumlah.”
“Ah, tak apalah. Kau saja. Aku belum terlalu haus.”
“Ini airku, Sad. Aku berhak menyuruhmu duluan. Ambillah. Ini perintah komandan.” Katanya. Aku menaruhkan tanganku dikening. Dan menghentakkan kaki ke tanah. Kuteguk air itu beberapa teguk. Dan kusodorkan padanya yang tersenyum puas melihatku minum.
Kami duduk disana. Melihat kearah gunung didepan kami. Aku tak tahu nama gunung itu. Itu tak terlalu penting. Namun aku sering mendengar cerita nenekku tentang gunung tanpa nama itu. Dulunya, gunung itu tempat persembunyian para penyamun dan perompak yang dikejar oleh tentara kerajaan. Mereka lari kesemak belukar kampung ini lalu masuk kehutan belantara itu. Hutan itu masih perawan. Belum banyak dimasuki oleh manusia. Disana masih banyak hewan buas yang ganas. Burung-burung aneh yang jarang dilihat manusia, suara-suara aneh dari hewan langka yang kemungkinan ada yang belum dilihat dunia, begitu kata nenekku. Tapi, itu taklah terlalu penting bagiku dan Malik. Karena itu hanya membangkitkan kei ngin tahuan kami.
Kami baru saja menamatkan Madrasah Tsanawiyah kami dengan nilai yang bersaing. Aku mendapat peringkat pertama, sementara Malik peringkat keduanya. Dan itu tak pernah berubah sejak pertama kali kami masuk sekolah itu. Bahkan sejak Madrasah Ibtidaiyyah. Malik selalu belajar mati-matian untuk mengejar nilaiku. Tapi, dia tak pernah berhasil. Namun dia tak pernah mengakui keunggulanku. Heh! Entah kenapa.
“Mengapa tak kau tukarkan saja peringkatmu dengan peringkatku, Sad?” kata Malik ketika kami mulai duduk dibawah pohon mangga itu. Sambil menyimpulkan senyum khasnya yang tak ada tandingan dikampung ini. Yang membuatnya banyak disukai orang, juga gadis-gadis sebaya kami.
“Bukannya kau bilang tak penting angka-angka itu, Malik?” Jawabku dengan mengingatkannya akan perkataannya yang sering dia lontarkan ketika pembagian Raport dilaksanakan dikelas.
Dia menarik nafas dan kembali tersenyum.
“Ada masanya dia terasa penting bagi semangat, Sad.”
“Oh, Bagiku bukan itu yang membuatku bersemangat.” Sindirku lagi sambil memalingkan wajahku. Sok bijak dan sedikit menampakan sikap sombong. Malik memukulkan kepalan tangannya ke lenganku sambil tersenyum.
“Jangan kau sindir aku.”
“Aku tak menyindirmu.”
“Baiklah, sekarang, ceritakan kepadaku bagaimana kau bisa mendapatkan angka-angka yang itu itu saja sejak aku mengenalmu masih ingusan dulu?”
“Ah, kau juga ingusan, Lik.”
“Tapi ingusmu lebih banyak!” Kami melepaskan tawa lagi. Malik memegang perutnya yang berguncang. Sementara aku memukul-mukulkan kakiku ketanah.
“Aku tak memikirkan angka-angka itu, Lik. Aku tak begitu mengharapkannya. Aku hanya membiarkannya menjadi akibat. Tak sulit, bukan?”
“Jadi, kau tak membutuhkan imbalan?”
“Bukan tak membutuhkan. Tapi tak mengharapkan.”
Malik mengangguk-anggukkan kepalanya seperti ayam yang mematuki umpan-umpan yang ditebarkan ditanah. Sementara aku menatapinya sebagai salah seorang temanku yang paling setia yang pernah kumiliki. Kesetiakawanan yang luar biasa. Yang tak pernah pudar. Yang tak rusak karena iri. Dan tak disusupi oleh kedengkian.
“Sad, lalu apakah imbalan dari sebuah kehidupan?”
“Kehidupan itu milik kita, kita tak mendapatkan imbalan darinya. Karena kita memintanya dari yang memiliki kehidupan. Kita telah dihadiahi nafas ini. Apakah ada imbalan dari sebuah hadiah?”
“Begitukah?”
“Menurutku. Entah menurutmu.”
“Aku berharap ada imbalan dari itu semua, Sad. Aku ingin ada imbalan dari sebuah kehidupan yang sebenarnya menarik ini. Tapi, entah mengapa kehidupan ini tak semenarik dahulu. Ketika kita masih ingusan dan suka bertengkar. Namun cita-cita itu tetap masih ada dan tetap bersemayam. Ya, berupa imbalan mungkin.”
“Aku tak mengerti.”
“Tak penting!”
Malik menggores-goreskan kayu ditangannya membentuk lukisan sebuah lingkaran yang tak jelas di tanah. Sesekali dipungutnya bebatuan kecil lalu dilemparnya kearah yang kurasa tidak terlalu penting ketika itu.
“Kau Tahu? Kalaulah Tuhan diatas sana memberikan sebuah imbalan, maka aku meminta kepadanya sebuah kekayaan untuk menjadi imbalan itu.”
“Kekayaan?”
“Ya, kekayaan yang tak pernah menghampiri lehidupanku dan orang tuaku selama bertahun-tahun sudah aku hidup. Kami tetap saja miskin. Fakir dan papa. Kami selalu diinjak dan disepelekan. Kami bahkan tak berhak untuk menempati tanah kami sendiri. Mungkin suatu saat nanti, akupun tak berhak menyandang namaku sendiri. Sangat angkuh sekali kekayaan itu.”
“Tapi kekayaan itu di hati, Lik.” Kataku mengulangi ucapan pak Bakri disekolah sebelum kami tamat dahulu.
“Sampai kapan dia berada dan berhenti dihati terus, Sad? Kapankah dia menjelma menjadi nyata di alam kita ini. Dapat disentuh dan dirasakan? Juga dinikmati?”
“Itu bukanlah segalanya. Itu hanya fatamorgana yang semu. Yang hanya memberikan kekosongan yang sulit untuk diisi kembali.” Lagi-lagi perkataan pak Bakri yang kuulangi.
“Sekosong apapun akan tetap bisa diiisi dan disempurnakan, Sadri.”
“Tak akan pernah sempurna. Kebahagiaan yang paling sempurna adalah hatimu sendiri, Lik.”
“Tapi tak salahlah bila aku mempunyai harapan dan cita-cita, Sad?”
“Tidak.”
“Aku berharap akan segera tercapai.”
“Semoga. Aku juga akan senang. Kurasa, kekayaan yang berasal dari kefakiran akan menghasilkan rasa peduli yang sangat luar biasa.”
“Itulah yang kuinginkan.”
*****
Jalan setapak menuju kampung
“ingat-ingatlah selalu, Sadri… aku akan menjadi kaya dan akan membasmi keangkuhan orang-orang kaya itu. Tak akan ada lagi orang-orang tertindas dan lemah yang dipermainkan seperti mainan.”
“Sangat mulia!”
“Tak semulia cita-cita Baginda Nabi yang ingin seluruh ummat didunia berada disurga dengan berbagai kebahagiaannya.”
“Taklah bisa untuk ditandingi.”
“Aku tahu.”
Pagi yang dingin dan basah
Corong Mushalla bersuara riuh memecah kesunyian pagi ba’da subuh yang damai. Sebagian orang belum terbangun, tapi sudah banyak yang terbangun sejak fajar tadi untuk menunaikan ibadahnya.
Aku sendiri sedang mengurus ayam dikandangnya, dan memilihi telur itik yang akan aku jual pagi ini ke pasar.
Bilal mushalla itu batuk sebelum berbicara di corong mesjid. Berita itu telah dikabarkan ke seentaro kampung. Aku terduduk lesu. Telur-telur yang baru saja kupungut kuletakkan kembali ke tanah.
Kehidupan hanyalah dua mata yang saling berlawanan. Dan kita hanya bisa memilih salah satunya. Bila aku boleh ikut memilihkannya sebuah jalan, maka akan kupilihkan padanya sebuah persahabat erat dikedua sisi kehidupan itu. Dan bergandengan melangkah menapaki setiap sisinya. Tapi aku tak berhak untuk itu.
“Kekayaan yang abadi itu bukanlah disini, sahabat. Dan kata-kataku tak berlaku disana.”
Bener Meriah, Aceh 7-7-2010