Redelong | Lintas Gayo : Pemerintah belum sepenuhnya mewujudkan terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional. Dalam hal ini Kemendiknas telah membuat sebuah Rencana Strategi (Renstra) Kementerian 2014 yang menekankan terwujudnya layanan pendidikan untuk semua warga negara.
Raihan Iskandar, Lc, MM anggota DPR-RI yang membidangi pendidikan dalam pernyataanya kepada Lintas Gayo, Rabu (4/5) mengatakan, laporan yang ia terima dari UNESCO, Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB soal Indeks Pembangunan Pendidikan dalam EFA (Education for All) Global Monitoring Report 2011.
“Dibalik krisis, konflik dan Militer yang dikeluarkan Maret 2011 lalu memperlihatkan peringkat Indonesia turun dari peringkat ke-65 tahun lalu menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara di dunia,”ungkapnya.
Dirincikannya, dari data UNESCO menyebutkan, di tingkat SD, dari 31,05 juta siswa, sekitar 1,7 persennya putus sekolah atau sekitar 527 ribu siswa dan 18,4 persen tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya atau sekitar 5,7 juta siswa. Lalu, pada satuan sekolah menengah pertama (SMP), dari jumlah 12,69 juta siswa, 1,9 persen putus sekolah atau sekitar 241 ribu, dan 30,1 persen di antaranya tidak dapat melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA) atau sekitar 3,8 juta.
“Jika dikaitkan dengan program Wajar 9 tahun, maka jumlah siswa yang tidak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP mencapai 10,268 juta siswa. Angka yang cukup tinggi ini bisa mengancam keberlangsungan program penuntasan Wajar 9 tahun,”kata anggota DPR-RI komisi X ini. Dan menambahkan, tingginya angka siswa yang tidak menuntaskan program Wajar 9 tahun ini disebabkan karena ketidakmampuan ekonomi keluarga.
Kata Raihan, fakta tersebut menunjukkan, ada persoalan mendasar yang belum sepenuhnya diselesaikan oleh Pemerintah, yaitu akses pendidikan. Pokok persoalan yang terjadi adalah masih terbatasnya akses pendidikan yang terjangkau bagi semua warga negara usia sekolah. Sejatinya menurut anggota DPR-RI dari PKS ini, persoalan inilah yang harus disasar oleh Pemerintah, dengan cara memberikan akses yang seluas-luasnya bagi semua warga negara untuk bisa menikmati layanan pendidikan.
Ditambahkannya, pendidikan gratis yang didengung-dengungkan selama ini ternyata juga hanya pepesan kosong. Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, sebagaimana amanat UU Sisdiknas pasal 11 ayat (1) dan (2) tak berdampak signifikan.
“Program Wajib Belajar yang mengharuskan Pemerintah membiayai penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana tertera dalam konstitusi kita, UUD Negara RI tahun 1945 pasal 31 ayat 2, nyatanya masih harus ditanggung juga oleh masyarakat miskin,”ungkap Raihan dan menambahkan, kewajiban negara untuk memberikan layanan masyarakat justru masih dibebankan oleh banyak pungutan yang terjadi di sekolah-sekolah.
Persoalan lain menurut Raihan Iskandar, yang juga menggambarkan tak jelasnya arah pendidikan kita adalah kebijakan soal Ujian Nasional (UN).”Meskipun formula UN sudah dimodifikasi, tetap saja UN menjadi momok yang menakutkan bagi siswa, sekolah dan Pemerintah Daerah,”sebutnya dan kecurangan yang masih terjadi dalam penyelenggaraan UN tahun 2011 ini memperlihatkan kepada kita bahwa kecurangan tersebut bersifat struktural dan sistemik.(Aman Buge)
Masalah klasik yang fundamental !