Oleh: Hanif Sofyan
Pilpres 2014 menyuguhkan fenomena menarik tidak saja terkait perbedaan dalam membangun koalisi, namun karakter kedua presiden juga menjadi sisi yang menarik untuk dicermati. Bahkan dalam survey yang dilakukan dan sampelnya 204 psikolog, menyebut karakter keduanya yang berbeda menjadi magnet tersendiri bagi dinamika pilpres 2014 yang telah usai.
Babak berikutnya paska pengumuman hasil rekapitulasi nasional. Lagi-lagi juga menawarkan fenomena akrobatik politik yang menarik. Berbagai indikasi kecurangan yang ditenggarai mewarnai pelaksanaan pemunggutan suara di lebih dari 5000 Tempat Pemunggutan Suara (TPS), menjadi salah satu materi pembahasan dan menjadi musabab kubu Prabowo-Hatta melakukan tidak saja gugatan, bahkan lebih jauh Prabowo memutuskan mundur dari kancah pilpres.
Ini memancing Yusril yang berkomentar bahwa keputusan mundurnya salah satu kandidat meskipun mengatasnamakan hak konstitusional, namun dinilai tidak lagi mencederai pilpres, jikalau tidak mau disebut terlambat. Karena keputusan yang diambil salah satu kubu kandidat presiden dilakukan setelah pilpres berjalan bahkan dalam situasi hanya menunggu detik-detik menjelang pengumuman resmi dari KPU Pusat yang sempat akan ditunda.
Pakar Hukum Tata Negara itu menyebut, langkah mundur itu melanggar hukum, karena tahapan pilpres akan berakhir. Menurutnya jika ada keberatan soal apapun harus melalui jalur Mahkamah Konstitusi (MK). Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 246 disebutkan bawa “Setiap calon presiden atau wakil presiden yang dengan sengaja mengndurkan diri setelah pemunggutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemunggutan suara putaran kedua dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (limapuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus milyar rupiah)-liputan6.com.
Sesungguhnya pertanda akan munculnya indikasi ketidapuasan dari kubu Prabowo telah terbaca paska kemunculan hasil Hitung Cepat (Quick Count), yang marak di media dan dilakukan oleh setidaknya 11 lembaga survey, yang dalam realitasnya tujuh diantara sebelas kemudian menunjukkan kemenangan yang berbeda kepada kubu Jokowi-JK, sementara 4 lainnya menyebut kemenangan di kubu Prabowo-Hatta. Ini juga kemudianmenimbulkan polemik di tataran Persatuan Lembaga Survey Indonesia. Gejala perbedaan dan mungkin bisa dimaknai perpecahan ini mengindikasikan adanya suatu situasi yang hari ini terbukti sebagai musabab ketidakpuasan pihak Prabowo-Hatta. Polemikini kemudian diredam dengan menghentikan seluruh tayangan dan penyiaran hasil hitung cepat.
Namun jika dirunut jauh kebelakang sesungguhnya ada realitas lain yang patut dicermati, tekait dengan berbagai kampanye hitam yang melanda kedua kubu namun lebih besar di salah satunya terutama kubu Jokowi-JK, yang menurut pengamat tidak dilakukan tindakan cepat mengantisipasi sehingga bisa dibaca “dibiarkan” yang tendensinya bernuasa politik.
Hanya saja kedewasaan dan revolusi mental yang terbangun dan lahir dalam suasana pilpres 2014 mampu menjadi filter dan menjadi peredam dan menjadi fenomena menarik ketika hampir seluruh lapisan masyarakat tua muda ikut dalam hiruk pikuk pilpres, baik sekedar menyemarakkan pesta demokrasi maupun yang berkesempatan menjadi pemilih, sehingga golput digembosi oleh gempita dinamika pilpres.
Fenomena ini menunjukkan kecerdasan rakyat dalam menyikapi berbagai fenomena politik. Sehingga akrobatik politik yang hari ini dipertontonkan, menjadi sesuatu yang tidak lagi menarik, karena model seperti itu layaknya potret masa pilpres di era orde lama dan Orde baru yang penuh intrik dan permainan. Dalam perkembangan sosial politik yang makin matang, rakyat mulai bisa menempatkan kepentingan politik dan kebutuhannya akan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Patut digarisbawahi diluar polemik yang lahir hariini, antara kedua kubu yang berbeda melahirkan angka perolehan suara yang nyaris berimbang, yang artinya dukungan untuk keduanya sesungguhnya sama-sama baik, hanya saja dalam kompetisi mestilah ada yang menang-kalah dan itu jamak . Namun inti sebenarnya soal kalah dan menang adalah bahwa kemenangan siapapun yang menjadi presiden tidak lagi hanya sekedar kemenangan seorang Jokowi atau Prabowo, namun menjadi kemenangan seluruh bangsa Indonesia.
Sebagaimana kata jokowi berfilosofi dalam pidato politik pertamanya, “ Lupakan nomor satu, lupakan nomor dua, salam tiga jari persatuan Indonesia.”Semoga dengan presiden baru, Indonesia bias menjadi lebih baik. [hans-2014]
*Pegiat – aceh environmental justice (AEJ)