Oleh : Dr. Al Misry, MA*
Berbicara Gajah Putih Takengon dalam tulisan ini dibatasi pada Yayasan Gajah Putih Takengon dan Universitas Gajah Putih Takengon atas perspektif kepemilikan dan kebanggaan seluruh rakyat Gayo kapan dan dimanapun mereka berada. Tujuan penulisan ini pula dibatasi sebagai niat pelurusan masalah agar tidak bermasalah, sebagai sumbangsih pemikiran penulis untuk menambah dari berbagai alternatif yang sudah ada dalam hati sanubari bapak-bapak di deretan pengurus yayasan dan sohibku semua yang langsung terlibat dalam ranah akademisi di lingkungan Universitas Gajah Putih Takengon.
Menarik untuk dipahami yang selanjutnya merespon, setelah membaca tulisan kakanda Mukhlis Gayo, SH di media Lintas Gayo dengan judul “Momentum UGP Maju atau Bubar ”. sisi menariknya antara lain 1). Penulisnya adalah seorang pakar dalam berbagai sisi seperti dalam birokrasi, pernah di kantor Mensesneg.RI, Kepala Dinas, staf ahli pemerintah. Sebagai pengusaha yang memiliki perusahaaan kapal laut yang diremot dari komplek elit Duta Merlin Jakarta, beberapa pabrik di Lampung, terakhir pemilik Hotel Linge Land di Takengon, pegiat dunia pendidikan katakanlah seorang Lektor di UNTAG Jakarta, pendiri dan pemilik Yayasan 1001 Takengon yang kini telah memiliki tingkat pendidikan PAUD,TK, SD, SMP dan SMA. 2) materi yang ditulis menyangkut hajat dan milik semua pihak di tanoh Gayo yakni eksistensi dan masa depan Yayasan bersama Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon yang diasuh oleh YGP.
Sisi lainnya ada beberapa hal lagi yang perlu dicermati tentang Yayasan Gajah Putih Takengon, seperti terbengkalainya asset yayasan berupa tanah wakaf rakyat Aceh Tengah pada awal-awal adanya yayasan ini di beberapa titik yang ada di Kampung Mongal Kecamatan Bebesen (perlu diingat bahwa lokasi tanah TK. Pembina dan SMKN 3 Takengon adalah Hibah Yayasan Gajah Putih kepada Pemerintah Aceh Tengah, termasuk tanah untuk Gedung Perpustakaan/Arsip Daerah Aceh Tengah), ada kekhawatiran, jika tidak diurus untuk diluruskan, masyarakat sekitar Mongal akan mencaplok kembali tanahnya, memicu timbul sengketa baru di kemudian hari. Hal yang senada terjadi pada lokasi tanah untuk kampus Universitas Gajah Putih yang ada di Kala Nareh Blang Bebangka menjadi sengketa dengan masyarakat, walau pemerintah daerah (NAD dan Aceh Tengah) telah menyetujui tanah 5,5 Ha untuk lokasi Kampus UGP nantinya.
Masalah lainnya tentang Pimpinan UGP. Era awal sebutan Rektor adalah Dekan Koordinator yang membawahi 3 (tiga) Sekolah Tinggi yakni Pertanian, Tarbiyah dan Ekonomi, selain tidak berkembang, disayangkan Dekan Koordinator tidak pernah menanda tangani Ijazah. ketika menjadi Universitas dan berpisahnya STAI Gajah Putih (awalnya Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah). Rektor UGP dijabat oleh Ir.Syukur Kobath menjadi sorotan dari beberapa tokoh Gayo yang ada diluar Aceh Tengah yang menganggap UGP mundur ke belakang, karena Pimpinan Universitas seharusnya berpendidikan minimal S2 dan seharusnya S3, malah UGP memiliki rektor masih memakai S1, pasca Ir. Syukur Kobath, pejabat Rektor UGP Takengon adalah Mirda Alimi, SE, MM, di saat beliau ini fokus membenahi beberapa hal untuk lebih baik, riak-riakpun kembali muncul dengan isu yang membuat mahasiswa marah dengan melakukan orasi dan pada pada akhirnya menuntut Rektor mundur.
Saat ini plt. Rektor Adnan, SE, MM memiliki tugas yang maha penting untuk mengantarkan adanya rektor depenitif, muncul masalah tentang kreteria calon seperti harus memiliki jabatan edukatif Lektor Kepala, memiliki NIDN, diutamakan S3 dan sebagainya, mencuat kritikan nilai lemah terhadap calon yang mendaftar, katakan 2 calon dari sisi jabatan edukatif telah Rektor Kepala, namun belum S3, seorang calon telah S3, jabatan edukatif masih proses pindah dari Kopertais Wilayah V Aceh ke Kopertis Aceh serta NIDN yang pernah ada hilang entah kemana. Lain lagi bicara SDM dosen, sudah lebih seperempat abad, baru 1 orang dosen yang S3, pendanaan untuk operasional kampus, gaji pimpinan universitas, fakultas, staf serta yang lebih ironis pihak yayasan meminta jatah gaji dari pungutan sah bersumber mahasiswa. Bagaimana semua ini ?
Tidak seharusnya Universitas Gajah Putih Takengon mundur ke belakang, apalagi nada miring berhembus “ bakal ditutup”, padahal nama besar Gajah Putih melalui akses kreatifitas mahasiswanya, sehingga gaungnya telah bergema “jika di Jawa ada Universitas Gajah Mada di Jogya, maka di Sumatera ada Universitas Gajah Putih di Takengon”. Semua pihak harus menyadari bahwa Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon adalah milik dan kebanggaan seluruh rakyat Gayo, maka semua pihak harus bertanggung jawab dan lebih meningkatkan rasa kepemilikan terhadapnya (saince of blonging), apalagi hamper seluruh mahasiswa adalah putra-putri yang lahir dan besar di Gayo terutama dari Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Untuk itu diperlukan tenaga dan fikiran dari segenap komponen untuk meluruskan dan memposisikan kearah kondisi yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta setara dengan perguruan tinggi lain.
Alternatif dan langkah strategis yang ditempuh dalam rangka mewujudkan kampus yang edial di daerah ini, menurut pembacaan saya (Dr. Al Misry, MA) yang pernah menjabat sekretaris Yayasan Gajah Putih satu priode dan penjabat Ketua STAI (sekarang STAIN) Gajah Putih (2004-2012) antara lain :
- Upaya pelurusan. Seluruh personil yayasan, civitas akademika (pimpinan universitas, fakultas, dosen dan mahasiswa harus memfokuskan diri membangun dan mengisi kampus yang ada di Kala Nareh Blang Bebangka Pegasing, mengingat lokasi kampus yang ada di Jalan Aman Dimot telah menjadi asset STAIN Gajah Putih Takengon. Hal ini didasarkan pada penyerahan Yayasan Gajah Putih Takengon bersama Pemerintah Aceh Tengah kepada Kementerian Agama RI yang telah diperkuat dengan akte notaris. Caranya melalui a). Sosialisasi dan membutuhkan pikiran jernih semua pihak yang terkait untuk menghindari konflik berkepanjangan, b). pihak yayasan dan pimpinan universitas/fakultas memperluas jaringan untuk memperoleh dana hibah pembangunan gedung dan sarana kelengkapannya dari berbagai pihak. c).sesegera mungkin seluruh kekayaan atau asset yang dimiliki untuk diaudit oleh akuntan public sesuai saran kaknda Mukhlis Gayo, SH, yang tentunya sebagai evaluasi perjalanan selama ini dan sekaligus sebagai barometer program amal kedepan.
- Upaya tertib. Pihak Yayasan Gajah Putih harus dengan segera menertibkan asset yang ada seperti tanah yayasan di beberapa titik yang ada di Kampung Mongal Kecamatan Bebesen, sebelum masyarakat Mongal mengambil alih kembali miliknya. memberdayakan asset bus kampus, usaha koperasi yang ada. Asset-asset ini adalah modal bagi yayasan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya, sehingga pada saatnya, yayasan harus memiliki sumber dana yang besar untuk membiayai kampus, bukan mengharapkan pendapatan untuk gaji dengan meminta-minta yang bersumber dari mahasiswa. Jika memang ada personil yayasan yang merasa tidak sanggup, kiranya dengan kesadaran penuh lebih baik mengundurkan diri, sebagaimana sikap yang telah ditunjukkan oleh Bapak Ir.H.Nasaruddin,MM mundur dari Ketua Umum/Pembina Yayasan dengan alasan tidak boleh rangkap selaku Bupati Aceh Tengah. Civitas akademika (pimpinan universitas/fakultas, dosen, staf dan mahasiswa), saatnya mewujudkan kampus yang ideal dengan indikator : a).Komitmen menjalankan, menerapkan dan mengaplikasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, selama ini baru berjalan pada tataran tri dharma pertama yakni adanya proses Pendidikan & Pengajaran, sedangkan untuk dharma penelitian dan pengabdian walaupun ada diperbuat, namun untuk standar minimalpun, masih penuh pertimbangan, b). memanfaatkan tokoh pendidikan tinggi yang berasal dari pedalaman Aceh ini yang kini ada di Banda Aceh, Medan, Jakarta dan di beberapa kota lainnya agar memiliki sumbangsih dan kepeduliannya pada Universitas Gajah Putih, contoh kecil Prof. A. Hamied (Medan), Prof. Ismail Arianto (Jakarta), Dr.Alfiansyah, Dr. Yusa’ AB, dll di Banda Aceh. c).memperbaiki nilai akreditasi lembaga/institusi dan prodi, untuk memperkuat nilai jual kampus di era kekinian, d). menambah kwantitas dan meningkatkan kwalitas journal ilmiah kampus dan penerbitan buku hasil karya dosen dan mahasiswa, e).menerapkan dan memadukan pendidikan kampus dengan interprenuership (jiwa wirausaha bagi mahasiswa) sehingga semua alumni nantinya bukan pencari kerja, tapi menghasilkan sarjana yang dapat membuka lapangan kerja baru. f). peningkatan SDM bagi dosen melalui studi lanjut, bagi dosen/tenaga pengajar yang masih S1 harus lanjut ke S2, bagi yang sudah S2 wajib berangkat S3. tentu dalam beberapa tahun ke depan ini UGP harus memiliki beberapa dosen yang meraih gelar Guru Besar (Profesor) tentunya. g). setiap dosen yang syaratnya terpenuhi, sesegera mungkin mengurus NIDN, Jabatan Educatif Dosen, pengusulan peserta Sertifikasi Dosen, pengusulan Dosen Tetap yang berpenghasilan tetap pada PTS.
- Untuk mewujudkan maksud, dipastikan memerlukan biaya/dana besar kedepan, memperoleh dana yang besar ini ada di pundak pengurus Yayasan Gajah Putih. Sehingga yayasan harus memiliki sumber dana yang jelas selain dipungut dari mahasiswa. Untuk modal awal, kemungkinan asset tanah yang ada di Mongal harus dijadikan uang sebagai modal usaha yayasan. Dengan demikian yakinlah pada saatnya nanti yayasan akan mampu menggerakkan roda kampus kearah yang lebih baik, seperti memenuhi dana operasional kampus, gaji pimpinan universitas/fakultas, dosen dan pegawai struktural kampus, membiayai dosen untuk studi lanjut ke S2 dan S3.
Mari kita yakini semua, “di mana ada kemauan, disitu pasti ada jalan Fastabiqul khairat
Blang Kolak II, 1 Agustus 2014.
*Mantan Ketua STAIS (sekarang STAIN) Gajah Putih 2004-2012
Kpn sangat membenci dosen PNS? Ingat bos yg mendirikan ugp cikal bakal orang2 PNS…keliatan barisan sakit hati g lulus2 PNS kamu…klu mmg km mampu buktikan?
UGP memang harus di REFRESH ulang secara menyeluruh daari organisasi kepengurusan, dan dosen2 yang mengajar, jangan asik kroni2 aja yang mengajar di situ, mereka sudah pns di tempat lain, masih mengajar di sana lagi, memang cuma mereka saja orang2 yang mampu di takengen ini