Oleh: Abubakar Karim*
Dan dari tanah yang baik dihasilkan tetanaman yang baik pula dengan izin Allah, dan dari tanah yang tidak baik tidak demikian, kecuali kerdil. Demikian Kami (Allah) menerangkan ayat-ayat bagi kaum yang bersyukur(QS Al-A’raaf : 58)
Empat kabupaten bagian tengah Aceh mempunyai keterkaitan yang sangat erat, baik keterkaitan bidang pemerintahan, budaya, etnis maupun geografis. Keterkaitan bidang Pemerintahan, Aceh Tenggara kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten induknya Aceh Tengah pada tahun 1974, lalu Kabupaten Gayo Lues mekar dari kabupaten induknya Aceh Tenggara pada tahun 2002, dan terakhir Bener Meriah mekar dari kabupaten induknya Aceh Tengah pada tahun 2003.
Keterkaitan di ranah etnis, keempat kabupaten ini dikenal didominasi suku asli Gayo dan Alas. Suku Gayo mendominasi Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan sebagian Aceh Tenggara. Suku Alas mendiami dataran medium dan rendah Aceh Tenggara.
Dengan demikian, keempat kabupaten ini relatif mempunyai Bahasa dan budaya yang hampir sama, baik di bidang kesenian maupun adat dan budaya. Tarian saman sebagai warisan dunia tak benda, tarian didong dan tarian guel, sudah teramat biasa dimainkan oleh pemuda-pemuda di keempat kabupaten ini.
Sedangkan keterkaitan geografis keempat kabupaten ini berada di bagian tengah Aceh, di punggung Bukit Barisan di sepanjang warisan dunia raksasa hutan Leuser, pada ketinggian tempat 200-an hingga 3000-an meter di atas permukaan laut, sehingga negeri ini relatif terisolasi dan terperangkap dengan kondisi geografis yang relatif sulit, terperangkap dengan hawa mulai dari panas hingga dingin dan terperangkap di tengah hutan yang dibanggakan dunia.
Perangkap geografis ini sepertinya mempunyai hubungan dengan indikator pembangunan yang masih rendah, seperti rendahnya indek pembangunan manusia dan masih tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Gayo Lues dan Bener Meriah, walaupun relatif lebih baik di kedua kabupaten induknya, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kondisi ini diyakini terkait dengan lebih dahulunya kedua kabupaten terakhir ini dibandingkan dengan kedua kabupaten yang dimekarkan kemudian. Lalu bagaimana seharusnya strategi yang harus diterapkan keempat kabupaten ini agar dapat keluar dari keterisoliran dan meningkatkan kinerja pembangunan?.
Marthunis (2013) mengilustrasikan Kabupaten Gayo Lues, secara metafora, jika masyarakat kabupaten tersebutingin keluar dari kawah keterisolirannya, terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu menjadi ulat yang merayap melalui lereng dan dinding perbukitan yang terjal atau menjadi katak yang melompat tinggi melewati dinding bukit tersebut. Lebih lanjut disebutkan, dari sisi efektifitas dan efesiensi, kiranya melompat adalah cara yang lebih cepat dan mudah ketimbang merayap melalui perbukitan karena longsoran dinding bukit kerap menjadi batu sandungan yang dapat menunda negeri ini untuk melewati dinding keterisoliran. Namun demikian, untuk dapat melompat tinggi perlu persiapan yang lebih matang dan kuat terutama mempersiapkan fondasi dan kuda-kuda yang kuat agar lompatan tidak menabrak dinding bukit yang terjal tersebut.
Pilihan Strategi
Bila diamati dari sejarah pembangunan negara-negara yang sudah maju dan tua seperti Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di Eropa, maka keempat kabupaten ini tidak mungkin melakukan pembangunan hanya secara empiris dan normal-normal saja. Proses pembangunan menuju kesejahteraan harus dilakukan dengan tidak mengikuti tahapan pembangunan secara normal. Pilihan pembangunan sesuai potensi dan kendala yang dihadapi daerah harus benar-benar dilakukan secara lokalistik, seperti strategi pembangunan Israel dan Singapura ketika kedua negara tersebut baru saja terbentuk. Apalagi hambatan tersebut bukanlah hambatan poilitik (political barrier), tetapi hambatan geografis (geoghrafics barrier). Untuk ini dibutuhkan inovasi dan kretaivitas yang lebih dari penentu kebijakan dan pelaku pembangunan secara arif dan bijaksana serta bersandar kepada kekuatan spesifik lokal.
Salah satu yang membuat pilihan strategis optimis keempat kabupaten ini adalah tersedianya potensi lahan untuk mengembangkan komoditas yang relatif tidak ditentukan waktu dalam pemasarannya, sehingga kendala transportasi (fisik – geografis) relatif dapat dikendalikan. Strategi yang dikembangkan adalah pilihan komoditas yang tidak dibutuhkan harus segera tiba di pasar, karena ada anacaman busuk dan turunnya harga. Dan komoditas tersebut berpotensi dikembangkan di keempat kabupaten ini secara berbeda-beda. Selain itu strategi pilihan faktor pendukung juga sangat berpotensi dikembangkan, apalagi keempat kabupaten ini berada di hulu sungai-sungai besar yang bermuara ke pantai Timur dan Barat Aceh.
Keempat kabupaten ini berpotensi untuk melakukan lompatan ekonomi dengan kemandirian energi yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, di berbagai kesempatan, Bupati Ibnu Hasyim menyatakan tahun 2016 sebagai tahun mandiri energi bagi Kabupaten Gayo Lues, dimana seluruh pelosok KabupatenGayo Lues akan teraliri listrik dengan kemampuan sendiri melalui pembangunan pembangkit energi listrik terbarukan; yaitu pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Kemandirian ini merupakan sebuah lompatan dari tahapan proses pembangunan konvensional dimana pembangunan pada awalnya akan berjalan seiring dengan kerusakan lingkungan hingga pada satu titik balik ketika peningkatan tingkat pendapatan masyarakat berjalan seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan. Secara konvensional, daerah atau negara yang baru berkembang cenderung memperoleh energi dari sumber-sumber yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Jika KabupatenGayo Lues berhasil menyediakan energi secara mandiri melalui teknologi yang ramah lingkungan, bisa dikatakan bahwa kabupaten ini telah melakukan lompatan pembangunan di bidang energi.
Kondisi itu sangat berpeluang dikembangkan di ketiga kebupaten lainnya, karena potensinya sangat besar; sebagai contoh Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Krueng Peusangan, Bener Meriah ditambah dengan Wih Bidin, Aceh Tenggara dengan Lawe Alas dan Lawe Mamas yang kesemuanya dapat membangkitkan listrik cukup besar. Bahkan Aceh Tengah telah memulai membangun Pembangkit Listrik Tenga Air (PLTA) Peusangan 1 dan Peusangan 2.
Pilihan Komoditas
Hasil studi analisis kamparatif komoditas unggulan Aceh yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Aceh sejak tahun 2012 hingga sekarang, dan ditambah hasil-hasil studi secara parsial yang pernah dilakukan menunjukkan, peluang komoditas seperti Kopi Arabika hanya berpotensi di kembangkan di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, serta sedikit di Pidie. Komoditas jagung sangat berpotensi dikembangkan di Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Utara, dll. Komoditas sere wangi dan nilam berpotensi dikembangkan di Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, dll. Kakao berpotensi dekembangkan di Aceh Tenggara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Utara, Gayo Lues, dll. Pilihan komoditas tersebut relatif tidak dibutuhkan harus segera tiba di pasar karena kekawatiran hasilnya busuk. Kretaivitasnya, mau dan mampukah keempat kabupaten ini fokus dan serius, Ini bukan bermakna menutup kran kreativitas dan inovasi masyarakat, tetapi penentu kebijakan dan pelaksana pembangunan dibutuhkan fokus dalam rentang waktu yang ditetapkan, sedangkan kreativitas dan inovasi masyarakat, secara alami jangan dihambat untuk berkembang.
1. Kopi Arabika
Harus dikakui, komoditas kopi Arabika saat ini telah mendunia, bila tidak berlebihan dapat disebutkan dari Gayo untuk dunia. Luas lahan potensial untuk kopi Arabika di tiga kabupaten dari empat kabupaten tersebut (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues) dapat mencapai 130.000 – 140.000 ha, sedangkan luas tanam saat ini telah mencapai sekitar 100.000 ha. Masih ada peluang pengembangan lebih kurang sekitar 40.000 ha lagi di ketiga kabupaten tersebut. Hal lain yang amat sangat menarik, dari sekitar 100.000 ha luas tanam yang sudah ada, semua kebun kopi rakyat.
Kondisi ini sangat menguntungkan rakyat dalam menghadapi berbagai kondisi krisis yang menerpa. Pilihan bentuk produksi yang dipasarkan, menurut hemat kami biarkan pasar yang memilih dan petani siap menyediakan kebutuhan pasar. Bentuk produksi; gabah, biji kering, bubuk, dan siap dinikmati sepenuhnya disesuaikan permintaan pasar. Inovasi dan kreataifitas Café (baca : warung kopi) pada tempat-tempat yang strategis dengan suasana nyaman meruapakan suatu keharusan. Pilihan permintaan konsumenpun semakin bervariasi. Jarak dari kota sampai batas-batas tertentu sepertinya sudah bukan pembatas lagi. Kreativitas pilihan dengan menghadirkan gula aren, gula semut, susu kerbau atau susu sapi sebagai penyedap kopi bagi peminum pemula seharusnya sudah dapat disediakan bagi pemasar kopi di warung-warung secara lokal.
2. Jagung
Provinsi Aceh dikenal sebagai salah satu produsen jagung, dan kabupaten produsen terbesar di Aceh adalah Aceh Tenggara, dan belakangnya mulai muncul Gayo Lues sebagai kabupaten tetangga Aceh Tenggara. Luas tanam Jagung di Aceh Tenggara dan Gayo Lues saat ini per musim tanam tidak kurang dari 40.000 ha, baik di lahan basah maupun lahan kering. Bila satu hektar dihasilkan sekitar 8 ton saja jagung pipilan kering, maka tidak kurang dari 320.000 ton per musim tanam atau dapat mencapai tidak kurang dari 600.000 ton per tahun, bila satu tahun ditanam dua kali saja, lalu kemana jagung ini dipasarkan?.
Pilihan diolah sendiri untuk menghasilkan nilai tambah produk di wilayah off farmsudah merupakan sauatu keharusan, oleh karenanya sudah saatnya investasi pabrik pakan ternak. Bila tidak ada private sector yang berinvestasi di pabrik pakan ternak ini, sudah saatnya pemerintah daerah sedikit berani mengivestasikan anggarannya di sektor off farm. Ini dilakukan agar petani sebagai produsen mendapat jaminan harga secara kontinyu dan tidak dibatasi musim tanam.
3. Sere Wangi dan Nilam
Selama ini Kabupaten Gayo Lues dikenal dikenal sebagai kabupaten penghasil minyak atsiri, yaitu minyak sere wangi dan nilam. Belakangan minyak sere wangi juga diproduksi di Kecamatan Celala, Aceh Tengah. Sudah tidak dapat dipungkiri minyak nilam Gayo Lues merupakan minyak nilam dengan kualitas terbaik di dunia. Namun demikian, kendala yang dihadapi belum optimal pada saat penyulingan dan kebutuhan kayu bakar saat penyulingan. Tidak kurang 50.000 – 65.000 ha lahan berpotensi dikembangkan tanaman sere wangi dan sekitar 25.000 ha berpeluang dikembangkan tanaman nilam. Proses produksi minyak melalui penyulingan membutuhkan sentuhan pemerintah secara baik, terutama penyediaan bahan bakar yang tidak memanfaatkan kayu secara besar-besaran. Inovasi penyulingan dengan menggunakan tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga hidro sudah saatnya dimulai. Inovasi ini mendapat dua keuntungan secara bersamaan, yang pertama akan mengurangi tekanan terhadap penurunan kualitas sumberdaya alam dengan penyulingan menggunakan kayu bakar dan yang kedua akan diperoleh minyak atsiri dengan kualitas yang baik dan seragam. Selain itu, petani nilam dan sere wangi akan lebih efisien bekerja di kebunnya, karena mereka hanya menjual serasah hasil pengkasan.
4. Kakao
Aceh Tenggara merupakan kabupaten penghasil kakao terbesar di Provisni Aceh, tidak kurang dari 30.000 – 35.000 ha lahan yang berpotensi ditanam tanaman kakao. Selain Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues dan Bener Meriah juga berpotensi di kembangkan tanaman kakao, walaupun tidak seluas di Kabuaten Aceh Tenggara. Wilayah Kabupaten Gayo Lues yang berpotensi dikembangkan tanaman kakao di Kecamatan Terangun, Tripe Jaya, Pining dan Putri Beutung, sedangkan di Kabupaten Bener Meriah sesuai dikembangkan tanaman kakao di Kecamatan Timang Gajah, Gajah Putih, Pintu Rime Gayo, dan Syiah Utama. Oleh karena itu sudahseharusnya tidak lagi memasarkankakao dalam bentuk biji, paling tidak sudah bisa dipasarkan dalam bentuk bubuk kakao. Oleh karena itu sudah saatnya dikembangkan mesin-mesin pengolah biji kakao untuk memproduksi tepung kakao. Selain itu pengembangan kakao dari varietas unggul dan perawatan kebun, seperti pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit, pemupukan, dll seharusnya dapat terus menerus didorong agar petani mendapatkan hasil yang lebih baik.
5. Kentang
Aceh Tengah dan Bener Meriah dikenal sebagai sentra tanaman hortikultura, seperti Kentang, Jeruk Keprok, Alpukat, dll. Pengembangan tanaman hortikultura di kedua kabupaten ini sudah tidak diragukan lagi potensinya, sehingga selalu bersaing dengan tanaman kopi Arabika. Namun untuk memproduksi tanaman hortikultura diperlukan dukungan transportasi yang memadai karena produk tersebut harus segara dapat tiba di pasar dengan harga yang menjanjikan.
6. Ternak
Sejak lama Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues sudah dikenal sebagapi kabupaten penghasil ternak besar seperti kerbau. Masih tersisa sampai sekarang wilayah pengembalaan ternak kerbau di Uber-Uber, Bener Meriah, Lane dan Keutapang di Kabupaten Aceh Tengah, dan Kecamatan Terangun, Blangjerango, dan Rikit Gaibdi Gayo Lues. Bahkan untuk saat ini oleh Kabupaten Aceh Tengah telah mengembangkan kawasan Keutapang sebagai transmigrasi lokal berbasis pengembalaan ternak sapi. Bila potensi ini dapat dikelola secara baik oleh berbagai pihak, maka kebutuhan akan daging untuk Aceh telah dapat diswasembadakan dari wilayah tengah ini.
Sistem pengelolaan bersama (regional manajemen) komoditas merupakan pilihan yang sudah tidak dapat dihindari, mengingat kabupaten-kabupaten tersebut memiliki potensi yang sama, sehingga merencanakan pengembangan secara bersama-sama akan memacu pemasaran yang lebih kondusif. Sebagai contoh; (1) kopi arabika dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues; (2) Jagung dan Kakao dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues, (3) nilam dan sere wangi dapat dikembangkan oleh Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tengah, termasuk juga Aceh Barat Daya, (4) hortikultura dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dan lain-lain. Keempat kabupaten di bagian tengah ini sedikit kendala menyangkut bahan pangan padi, karena di keempat kabupaten sawah relatif terbatas, kecuali di Aceh Tenggara. Namun demikian sampai batas tertentu masyarakat dapat mengembangkan padi ladang pada kawasan-kawasan tertentu yang berpotensi.
Fondasi Percepatan Pembangunan Ekonomi
Saat ini keempat kabupaten tersebut relatif terhambat secara geografis. Hambatan wilayah ini tidak mudah dan tidak murah dapat diselesaikan dengan hanya membangun jalan tembus, seperti yang diprogramkan Pemerintah Aceh saat ini. Andaikan program ini berhasil, masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat tiba di keempat kabupaten tersebut. Oleh karena itu, pilihan infrastruktur konektivitas yang perlu diprioritaskan adalah jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi tidak menjadikan keterisolasian geografis wilayah sebagai kendala. Aliran dan manajemen informasi yang didukung oleh infrastruktur IT yang baik akan memudahkan investor untuk menentukan kegiatan investasi di wilayah-wilayah pedalaman ini tanpa harus melalui ketidaknyamanan akibat perjalanan yang panjang dan berliku. Pilihan ini sekarang makin menjadi relevan dan mendapatkan momentum karena PT. Telkom telah melakukan ground breaking pembangunan jaringan Fiber Optic berkapasitas bandwith 1,6 terabyte sepanjang 515 kilometer yang melintasi kawasan tengah Aceh (Harian Serambi Indonesia, 29 Agustus 2013). Jaringan ini tentunya membuat aliran data dan suara dari dan ke wilayah ini menjadi sangat cepat dan jernih dan menjadikan keempat kabupaten ini cyberly connected ke dunia global. Tapi bagaimana aliran dan transportasi barang dan orang dari dan ke keempat wilayah tersebut?. Sarana transportasi relatif baik di sepanjang Pantai Timur-Utara dan/atau Pantai Barat Selatan menuju ke Pelabuhan Eksport atau ke pusat-pusat pasar di luar Aceh. Sedangkan lintas tengah, paling tidak saat ini, belumlah terlalu memadai. Oleh karena itu, pilihan produksi komoditas yang tidak butuh waktu harus segera sampai ke pasar menjadi keharusan. Ini merupakan pertimbangan pemilihan komoditas unggulan. Keempat Pemerintah kabupaten tersebut sebaiknya memilih komoditas yang bernilai tinggi sehingga rasio ongkos transportasi terhadap nilai jual komoditas tersebut kecil dan menyediakan margin keuntungan bagi masyarakat yang memproduksi komoditas tersebut. Komoditas-komoditas yang disebutkan sebelumnya merupakan contoh komoditas endemik di keempat kabupaten tersebut yang bernilai tinggi. Ditambah ketersediaan energi yang murah membuat ongkos pertambahan nilai komoditas tersebut menjadi rendah. Keunggulan komparatif ini perlu dikelola secara baik, sehingga memberikan kesejahteraan bagi petani yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup petani dan generasi penerusnya.
Darimana Sumber Dananya?
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) keempat kabupaten ini relatif terus bertambah dari tahun ke tahun sebagai konsekuensi dari bertambahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan dana otonomi khusus. Peningkatan PAD sangat terkait dengan kemampuan daerah untuk membangun sektor-sektor produktif dan sarana pendukung berbagai usaha yang dikembangkan masyarakat. Sedangkan dana perimbangan dan dana otonomi khusus sejalan dengan peningkatan pendapatan negara yang dituangkan di dalam APBN. Sejak tahun 2014 ini, sudah tidak ada lagi keempat kabupaten ini mempunyai APBK di bawah Rp. 600 milyar, bahkan Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara sudah hampir menyentuh masing-masing angka Rp. 1 triliun.
Masalahnya, peningkatan APBK ini juga diikuti oleh peningkatan belanja tidak langsung, yang diantaranya merupakan belanja pegawai, sebagai akibat dari peningkatan jumlah pegawai setiap tahunnya. Oleh karena itu, sudah saatnya memikirkan bagaimana cara untuk mengefisienkan dan mengefektifkan alokasi anggaran di dalam APBK, sehingga alokasi belanja langsung tidak lebih rendah dari alokasi belanja tidak langsung.
Alokasi anggaran dana otonomi khusus (OTSUS) yang relatif besar sebagai konsekuensi dari formulasi pembagian dana kepada kabupaten/kota yang masih mempunyai indikator pembangunan buruk seperti indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, luas wilayah, dan kemahalan biaya kontruksi. Variabel rendahnya IPM, besarnya persentase kemiskinan, dan mahalnya biaya konstruksi merupakan masalah yang diakibatkan oleh hambatan geografis. Seharusnya alokasi fiskal di kabupaten-kabupaten ini diarahkan untuk memantapkan fondasi dan kuda-kuda yang kuat agar dapat melompat sebagaimana disebutkan sebelumnya. Lompatan ini dibutuhkan agar dapat melangkahi beberapa tahapan pembangunan secara lebih cepat dan tiba pada karakter masyarakat yang berbasis pengetahuan lebih awal dari kabupaten/kota lainnya sebagaimana visi Aceh 2025. Bukan tidak mungkin akan lahir produk-produk pengetahuan global dari rindangnya kebun kopi Arabika di Aceh Tengah dan Bener Meriah atau rimbunnya pohon pinus dan sere wangi di perbukitan Gayo Lues, dan luasnya hamparan jagung dan kakao di Aceh Tenggara, seperti lahirnya sistem operasi Linux dari kawasan pinus yang sejuk di Finlandia.
Berapa besar alokasi dana OTSUS untuk masing-masing kabupaten tersebut?. Dana OTSUS Aceh sejak tahun 2008 sampai 2013 diformulasikan untuk kabupaten/kota sebesar 60% dan untuk membiayai pembangunan Aceh sebesar 40%. Tetapi sejak tahun 2014 dan seterusnya, formula ini telah menjadi 40% untuk membiayai pembangunan kabupaten/kota dan 60% untuk membiayai pembangunan Aceh, sesuai dengan Qanun Aceh No. 2 Tahun 2013. Alokasi 40% untuk kabupaten/kota, saat ini dibagi atas 23 kabupaten/kota dengan formula 30% dibagi sama, dan 70% dibagi berdasarkan kriteria IPM (30%), luas wilayah (30%), jumlah penduduk (30%) dan indeks kemahalan konstruksi (10%). Penggunaannyapun telah atur sedemikian rupa sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2006 dan Qanun No. 2 Tahun 2013, yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya dan keistimewaan Aceh.Berdasarkan formula dan kriteria tersebut, maka keempat kabupaten ini mendapat alokasi dana OTSUS per tahun, seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Alokasi Dana Otonomi Khusus untuk Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo, Lues, dan Aceh Tenggara mulai Tahun 2008 hingga Tahun 2027.
TAHUN | BENER MERIAH | ACEH TENGAH | GAYO LUES | ACEH TENGGARA |
2008 | 77,390,000,000 | 114,210,000,000 | 151,300,000,000 | 102,220,000,000 |
2009 | 77,390,000,000 | 114,210,000,000 | 151,300,000,000 | 102,220,000,000 |
2010 | 80,388,355,393 | 115,338,384,798 | 144,551,971,679 | 111,850,356,683 |
2011 | 80,658,387,499 | 119,349,261,789 | 147,604,949,042 | 119,631,216,398 |
2012 | 95,558,173,264 | 135,798,267,712 | 168,055,431,561 | 144,032,456,686 |
2013 | 125,676,693,791 | 171,801,124,648 | 187,734,858,157 | 183,285,909,131 |
2014 | 109,243,670,794 | 151,548,782,608 | 195,021,178,231 | 162,405,107,409 |
2015 | 117,983,164,457 | 163,672,685,217 | 210,622,872,490 | 175,397,516,002 |
2016 | 127,421,817,614 | 176,766,500,034 | 227,472,702,289 | 189,429,317,282 |
2017 | 137,615,563,023 | 190,907,820,037 | 245,670,518,472 | 204,583,662,664 |
2018 | 148,624,808,065 | 206,180,445,640 | 265,324,159,950 | 220,950,355,677 |
2019 | 160,514,792,710 | 222,674,881,291 | 286,550,092,746 | 238,626,384,131 |
2020 | 173,355,976,127 | 240,488,871,795 | 309,474,100,166 | 257,716,494,862 |
2021 | 187,224,454,217 | 259,727,981,538 | 334,232,028,179 | 278,333,814,451 |
2022 | 202,202,410,554 | 280,506,220,061 | 360,970,590,433 | 300,600,519,607 |
2023 | 109,189,301,699 | 151,473,358,833 | 194,924,118,834 | 162,324,280,588 |
2024 | 117,924,445,835 | 163,591,227,540 | 210,518,048,341 | 175,310,223,035 |
2025 | 127,358,401,502 | 176,678,525,743 | 227,359,492,208 | 189,335,040,878 |
2026 | 137,547,073,622 | 190,812,807,802 | 245,548,251,584 | 204,481,844,148 |
2027 | 148,550,839,512 | 206,077,832,426 | 265,192,111,711 | 220,840,391,680 |
TOTAL | 2,541,818,329,677 | 3,551,814,979,514 | 4,529,427,476,073 | 3,743,574,891,311 |
TOTAL 4 KAB. | 14,366,635,676,574 |
Keterangan : Angka Mulai Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2027 adalah angka proyeksi
Tabel 1 menunjukkan, total alokasi dana OTSUS sejak tahun 2008 hingga tahun 2027 untuk Aceh bagian tengah ini adalah sebesar Rp. 14,30 triliun lebih atau rata-rata sebesar Rp 3,59 triliun lebihper kabupaten. Selanjutnya alokasi dana OTSUS masing-masing kabupaten di bagian tengah Aceh tersebut adalah sebagai berikut :
- Kabupaten Bener Meriah; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 2,50 triliun lebih, sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar Rp. 646 milyar lebih, dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 hampir sebesar Rp 1,90 triliun.
- Kabupaten Aceh Tengah; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 3,50 triliun lebih, sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar Rp. 922 milyar lebih, dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 sebesar Rp 2,60 triliun lebih.
- Kabupaten Gayo Lues; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 4,50 triliun lebih, sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar Rp. 1,10 triliun lebih, dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 hampir sebesar Rp 3,40 triliun.
- Kabupaten Aceh Tenggara; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 3,70 triliun, sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar Rp. 925 milyar lebih, dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 sebesar Rp 2,80 triliun lebih.
Langkah berikutnya pemerintah kabupaten harus fakus,kreatif dan inovatif membangun sektor yang berpengaruh langsung terhadap perekonomian masyarakat dalam rangka menurunkan angka kemiskinan dan menaikan indeks pembangunan manusia (IPM). Kegiatan pembangunan harus benar-benar dapat memanfaatkan sisa dana OTSUS yang relatif masih besar tersebut, terutama bidang pendidikan, kesehatan dan penembangan eknonomi masyarakat.
*Guru Besar pada Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh