Catatan: Bahtiar Gayo (Wartawan Waspada)
“Penosahe kite terime, ike milih teserah kukite”. Kata kata ini sudah sangat sering penulis dengar. Ternyata bukan hanya saat Pileg, saat Pilkada juga kalimat ini kembali muncul. Pemberianya kita terima, kalau pilihan itu terserah kita.
Saat penulis kembali mendengar ada yang mengucapkanya, spontan tanpa sadar penulis menatapnya lurus. Dia agak kikuk dan berusaha tersenyum. “Hanati lagu noya, gere ke oya nafeq- Kenapa harus seperti itu, bukankan itu gambaran manusia munafiq.” Sengaja saya sampaikan dengan nada lembut, agar dia tidak tersingung.
Pemberianya (beragam jenis, ada uang, kain sarung, perlengkapan ke kebun, beras, dan lainya), semuanya diterima. Namun sang penerima tidak punya prinsip hidup. Belum tahu, atau tidak tahu, atau sengaja pura-pura tidak tahu hukum agama.
Memilih seseorang untuk pemimpin karena pemberian, menandakan aqidah seseorang perlu dipertanyakan. Apakah tidak ada perasaan berdosa karena memilih dengan adanya imbalan? Yang lebih parah lagi, setelah menerima pemberian, justru menambah daftar dosa menjadi manusia munafiq.
Sipemberi bagaimana? Untuk mendapatkan kedudukan, mendapatkan jabatan karena dibeli, justru lebih parah lagi. Jabatan sudah dibeli, uangnya dari mana? Kalau uang pribadi, bukankah lebih mulia membantu anak yatim dan mereka yang hidupnya susah? Tetapi kalau biaya untuk sekedar cost politik, bukan membeli suara, itu lain persoalanya.
Lantas bila kita membayar untuk mendapatkan suara, bagaimana kita mau memimpin dengan hati nurani, bila jabatan yang kita dapatkan dibeli? Bagaimana mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu dimata Allah kelak?
Pemimpin menggambarkan suata kaum yang dipimpinya. Bila pemimpinya pemabuk, maka yang akan memilihnya juga manusia yang pemabuk. Bila manusia yang memilihnya mayoritas munafiq, maka pemimpinya juga akan munafiq, minimal ingkar janji.
Ada lagi yang menyebutkan, “Ike nge kunul, kite selo ingette”. Kalau sudah duduk, mana dia ingat lagi kita. Saya justru merenungi kata-kata ini. Apakah setelah kita memilih seseorang, lantas dia yang kita pilih, harus ingat kita, atau dia lebih mengumatakan kepentingan rakyat banyak?
Apakah orang yang sudah kita pilih, harus balas jasa kepada kita yang telah memilihnya, atau dia bertanggungjawab penuh kepada rakyatnya? Beragam pertanyaan berputar di otak saya. Apakah saya salah bila punya keinginan memilih seseorang bukan karena ada sesuatu, akan tetapi kewajiban kita sebagai rakyat untuk memilih pemimpin?
Atau saya yang salah? Karena saya punya keinginan, agar saudara saudara saya memilih pemimpin bukan karena ada sesuatu, namun panggilan jiwa? Dan mereka juga yang akan dipilih rakyat, mendapatkan jabatan bukan karena memberi sesuatu.
Mungkin keinginan saya ini yang salah, terlalu berlebihan.!!! Ya inilah catatan hati nurani saya.