Takengen | Lintasgayo.com – Kabupaten Karo, Sumatra Utara selama ini dikenal dengan tanaman jeruknya. Jeruk dari negeri dengan hamparan tanah penunungan yang subur itu, sudah dinikmati di mana mana. Namun ahir ahir ini, petani di sana secara besar besaran mulai beralih ke tanaman kopi.
Bahkan mereka mendatangkan ahli kopi dari Gayo untuk mengembangkan budi daya buah berkapein ini. Budi daya tanaman kopi itu, kini sedang giat giatnya dikembangkan. “Kami terkejut ketika berkunjung ke Karo, ternyata petani di sana mulai beralih ke kopi,” sebut Fadli, salah seorang petani dan pengembang kopi di Gayo, Aceh Tengah.kepada Dialeksis.com, Selasa (15/1/2019) di Takengon.
Fadli berkunjung ke Karo bersama 8 temanya, dalam rangka memperdalam ilmu tehnik budi daya kopi. Disana mereka dikejutkan dengan pemandangan bari, petani di sana semakin professional dalam mengelola kebun kopinya. Rata rata petani di sana serius dalam menggarap sumber usahanya.
“Kopi Karo akan bangkit. Mereka mempersiapkan diri dalam segala lini demi kemajuan kopi. Lantas saya teringat dengan Gayo, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, dimana kopi merupakan sumber hidup masyarakat,” sebut Fadli.
“Kalau Gayo tidak mempersiapkan diri dalam mengembangkan kopi dan menjadikan petaninya lebih professional lagi, beberapa tahun ke depan, kopi dan petani Gayo akan dikalahkan Karo. Petani di karo menyiapkan diri untuk berkebun kopi, mereka ikut pelatihan (sekolah) kopi, demi sebuah tujuan yang baik,” kata fadli.
“Kami juga datang ke Karo untuk memperdalam ilmu tentang kopi. Disana kami lihat bagaimana tekun dan profesionalnya petani dalam menggarap lahanya. Mereka sudah membudayakan sistem menanam dengan jarak tanaman pagar segi tiga (PGS),” sebut fadli.
Jarak tanam sistem ini, kata Fadli, hanya 1,65 meter (satu meter 65 senti) kali 1,30 meter (1 meter 30 senti). Jarak tanamnya sangat rapat. Otomatis jumlah tanaman kopi juga lebih banyak dalam satu hektar, bila dibandingkan dengan jarak tanam di Gayo.
Tradisi menanam kopi di masyarakat Gayo, selama ini antara 2,5 meter atau 3 meter kali 2,5 meter. Dalam satu hektar mencapai 1300 sampai 1500 batang. Namun dengan sistem PGS yang diterapkan masyarakat karo, jumlah tanaman kopi dalam satu hektar mencapai dua kali lipat dari sistem yang dianut masyarakat Gayo selama ini.
Jumlah tanaman yang terbilang rapat ini, tentunya dalam merawat juga harus tekun dan professional. Artinya petani tahu persis apa kebutuhan tanaman kopi, bagaimana kopi diperlakukan, sehingga menghasilkan buah yang baik dan sempurna.
“Masyarakat Gayo bila tidak membudidayakan tanaman kopi secara professional, kami khawatir beberapa tahun ke depan, akan ada daerah lain yang lebih baik tanaman kopinya, karena dikelola secara professional,” sebut Fadli.
Untuk itu, harapan Fadli, sudah seharusnya rakyat Gayo, (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo lues), bangkit dan lebih professional dalam mengelola kebun kopinya. Tanaman yang menghasilkan rupiah ini, bukan hanya sebagai sumber hidup, namun sudah merupakan bagian dari marwahnya Gayo.
“Untuk itu kiranya Pemda juga mempunyai terobosan dalam meningkatkan kualitas petani, untuk lebih professional dengan menyediakan sejumlah fasiltas yang dibutuhkan petani agar mereka menjadi professional,” harap fadli. (Dialeksis.com )