Oleh : Joni MN
Menyikapi pemaparan pada tulisan sebelumnya, tanggal 24 April 2020 yang berjudul “Adab & Budi Pekerti Bertindak Tutur” dapat diambil benang merahnya bahwa adab dalam bertindak tutur dan berinteraksi dengan indevidu dan masyarakat sekitar sangatlah penting diperhatikan, karena hal ini menentukan tersampaikan atau tidaknya pesan yang dituturkan kepada mitra tutur/ O3 (orang yang ikut mendengar).
Dalam proses menyampaikan pesan terdapat di dalam tuturan yang dibawakan penutur tersebut tidak cukup hanya memperhatikan bentuk internal kebahasaannya saja, misalnya hanya memperhatikan keajekan tatanan kata-katanya (grammartikal) saja, dan tidak boleh lepas dari perhatian, yakni tuturan yang disampaikan disembarangan tempat (tidak memperhatikan situasi dan kondisi) dan sembarang kondisi, menyampaikan tanpa melihat kepada siapa kita sampaikan dan tata krama penyampaiannya pun tidak diperhatikan.
Keluputan-keluputan inilah yang dapat mengakibatkan rusaknya hubungan, gagalnya komunikasi dan bisa saja berdampak buruk lainnya. Tidak sedikit orang bertengkar, berkelahi dan perilaku busuk lainnya hanya karena kesalahan-kesalahan dalam bertindak tutur dan berkomunikasi. Ungkapan dan tuturan yang tidak hati-hati yang lebih berdampak memicu perpecahan, dendam, dan dapat juga memicu terjadinya tindakan-tindakan yang bersipat anargis lainnya.
Untuk menjaga berhasil atau tidaknya pesan yang disampaikan kepada peserta tutur lainnya dalam proses komunikasi dengan mitra tutur dan kepada O3 (orang-orang yang ada di sekitar) salah satunya didasari pada pijakan ‘kontektual, yaitu konsep budaya di mana tindak tutur tersebut ditindakan. Dalam menggunakan bahasa untuk proses komunikasi ternyata yang sangat penting untuk diperhatikan bukanlah bagian internal tuturan atau kalimatnya (tatanan kaedah-kaedah kebahasaan) atau struktur gramatikalnya saja, tetapi lebih penting dari itu adalah bagian eksternal kebahasaannya sangat penting diperhatikan, salah satunya unsur ‘kontekstual’ (kebudayaan).
Maksud kontekstual di dalam hal ini, yaitu; unsur-unsur yang mengikat pada peserta tutur dan/ atau penutur juga mitra tutur, seperti; unsur norma-norma adat dan nilai-nilai budaya yang diyakini oleh masyarkat setempat.
Norma adat dan nilai budaya tersebut jika dilanggar akan dapat berdampak ekspresi kebencian atau pelanggaran perinsip kerja sama dan juga dapat juga melanggar perinsip sopan santun. Jika hal tersebut sudah terabaikan, maka segala pesan atau apa pun bentuknya akan gagal tersampaikan bahkan bisa saja komunikasi tidak berjalan dengan lancar atau gagal.
Kontekstual dalam hal ini lebih merujuk kepada cultural si peserta tutur di mana mereka tinggal, tentu mereka harus mengikuti aturan yang sudah terkonvensi dan yang sudah menjadi suatu tata pola hidup bersama. Biasanya pola-pola semacam ini sudah melekat di dalam bentuk agrapha yang budayanya bersumberkan bentuk budaya lisan dan hal tersebut ada di dalam konsep budaya (cultural concept) mereka.
Konsep budaya atau Agrapha dalam hal ini, yakni aturan, arahan, nasihat, dan konsep-konsep berkehidupan masyarakatnya ada dalam tuturan bijak dari suku itu sendiri. Hal ini dapat dibuktikan pada suku Gayo yang tedapat di bagian ujung barat wilayah Indonesia.
Pada suku Gayo terdapat norma-norma adat yang mengatur mereka bagaimana seharusnya berinteraksi dan menjalani hidup bersama agar hidup damai, harmonis, dan intinya tidak saling merusak satu sama lain.
Dalam konsep mereka terdapat pola atau patrun yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam berinteraksi dan bertindak tutur, mereka menyebutnya dengan “basa edet” yang sering disebut dengan Peri Mestike (PM) (Joni, 2017 dan Indra 2020). Aturan, nasihat, arahan, dan batasan-batasan bertindak ada dalam bentuk tuturan atau dalam Local Wisdom (kearifan Lokal) yang disebut Agrapha.
Salah satu contoh pola berttindak tutur dan berinteraksi dalam menjalani kehidupan, tuturan PM-nya, yakni “Remalan Bertungket Peri Berabun”.
Tuturan bijak ini sering digunakan oleh masyarakat di sana untuk mendidik, menasihati dan mengingatkan ketika ada anggota masyarakatnya yang tidak atau belum mengerti bagaimana tata cara berinteraksi dan bertutur-kata yang baik dengan sesama mereka dan dengan orang tua atau dengan lainya.
Maksud dari tuturan PM itu adalah “Remalan Bertungket” ini mengekspresikan bahwa jika berinteraksi dan bertindak itu tidak cukup dengan apa yang ada saja tetapi harus menggunakan ilmu pengetahuan selain yang sudah ada, inilah makna dari tongkat tersebut.
Gunakan tongkat ketika berjalan agar kita bisa tau yang mana jalan dapat dilalui dan mana jalan yang tidak dapat di lalui, lebih-lebih kita berjalan di malam hari dan/ atau di jalan yang berlumpur dan becek, dalam kondisi semacam ini tongkat sangatlah dibutuhkan. Artinya, bertindaklah dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan/ atau alat bantu agar apa yang dikerjakan atau yang ditindakan tersebut tidak merusak dan tidak sia-sia.
Selanjutnya, “Peri Berabun”, maksudnya adalah mengambarkan jika bertindak tutur dengan mitra tutur dan di depan O3 (orang-orang yang terlibat) dalam pertuturan tersebut tidak boleh blak-blakan atau menggunakan tuturan apa adanya.
Dalam konteks ini penutur harus mengerti situasi dan kondisi, dengan siapa si penutur itu berkomunikasi dan kondisi tutur saat penutur itu bertutur seperti apa, selanjutnya si penutur juga harus mengetahui di mana pertuturan itu berlangsung. Ini wajib diketahui oleh penutur dan peserta tutur, tujuannya agar ungkapan-ungkapan dapat disesuaikan, hal ini untuk membangun kerja sama dan sopan santun melalui bentuk tuturan yang eufimisme (halus) dan bermajas (bertamsil) atau bentuk perumpamaan lainnya.
Kontekstual yang bertindak tutur sangatlah berperan dalam menentukan kerja sama dan mengikuti prinsip sopan dan santun yang digunakan dalam berinteraksi dan bertindak tutur dengan mitra tutur kita atau dengan peserta tutur lainnya.
Kontekstual dalam diskusi ini lebih kepada kepada pendekatan pengetahuan budaya dari suku Gayo itu sendiri. Pengetahuan-pengetahuan tersebut adalah yang berpijak berdasarkan norma-norma adat mereka di sana, yang mana bagi mereka budaya harus tunduk kepada norma-norma adat yang mereka miliki, sangat lebih memalukan jika ada orang mengatakan mereka tidak beradar (gere mu-edet).
Oleh karenanyalah konsep-konsep norma adat ada pada posisi high superior dalam budaya Gayo atau dapat juga disebut dengan sebutan bahwa masyarakat Gayo memiliki konsep hidup dalam bentuk budaya tinggi.
Jadi, kontekstual dalam bertutur kata yang tidak dapat dianggap remeh atau yang harus dipatuhi adalah nilai-nilai bentuk budaya tinggi yang bersumber dari norma-norma adat suku Gayo itu sendiri. Kondisi kewajaran, prinsip sopan-santun, dan kerja sama semua unsur tersebut berpijak pada konteks budaya tinggi suku Gayo (Gayonese of hight culture contextual).
Semakin penutur memahami konteks situasi tutur, maka semakin tinggi potensi tersampaikannya pesan tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dan kepada O3 (orang-orang yang ikut dalam pertuturan di mana tuturan tersebut di tindakan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dalam konteks ini Allah SWT berpesan dalam QS: Al-Israa : ayat, 36, yang artinya;
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban”.
MAHA BENAR ALLAH DENGAN
SEGALA FIRMANYA
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~