Oleh : Aman Rifa*
Di Gayo Lues, terpampang baliho bakal calon Bupati yang berbunyi “Lanjutkan….”, Di perempatan jalan yang tak kalah ramainya terpasang baliho bakal calon Bupati lain yang berbunyi ”Bukti, Bukan Janji !!!” Di jalan dekat rumah saya baliho yang sama tapi lain orang berbunyi “Perubahan…”.
Itulah perkenalan awal bakal calon yang akan maju memperebutkan jabatan Bupati dan Wakil Bupati Gayo Lues. Tidak bisa dipungkiri baliho itu menunjukkan nuansa kampanye yang kental. Bila kita mencermati pesan yang disampaikan tentulah berbeda dari setiap kalimatnya. Bila diulas lebih jauh perbedaan kalimat itu tentu juga berbeda pada pesan yang disampaikan. Aksentuasi pesannya masing-masing memiliki makna. Tetapi satu pesan tersembunyi dari baliho itu adalah “sayalah yang lebih unggul dari yang lain”. Pesan selanjutnya, “maka pilihlah saya”.
Masing-masing kandidat pasti memiliki ambisi yang berbeda-beda. Karena itu maka kita perlu menilai secara kritis apakah itu ambisi pribadi ataukah memang secara serius diikhtiarkan untuk membangun daerah yang lebih baik. Jika kita mampu membedakan mana ambisi pribadi dan mana yang ambisi untuk kepentingan masyarakat tentu baik sekali. Inilah yang memandu kita untuk memilih calon dengan benar. Menilai mana yang berniat baik dan mana yang tidak tentu bukan hal yang gampang. Apalagi dalam tampilan luar para kandidat itu semua mengesankan baik.
Banyak metode dan cara untuk meyakinkan seolah-olah kandidat memang bersungguh-sungguh untuk berbuat baik. Melalui metode pencitraan yang canggih masyarakat bisa dimanipulasi dengan citra artificial atau citra yang seolah-olah.
Karena itu kita perlu bersikap secara kritis terhadap semua calon. Kalau perlu kita telanjangi semua rekam jejaknya. Bagi yang tidak bersedia jangan dipilih, karena kita tidak mau lagi tertipu untuk beberapa kalinya. Jangan lagi kita terjeremus pada calon yang seolah-olah baik itu karena itu sangat berbahaya.
Menemukan kandidat mana yang benar-benar serius dan mana yang hanya serius untuk dirinya memang tidak terlepas dari karakternya. Masalahnya adalah karakter, sifat, dan kebiasaan aslinya baru terlihat ketika dia benar-benar memimpin. Jadi apakah dengan demikian calon incumbent saja yang bisa kita nilai mengingat telah pernah memegang kepemimpinan sebelumnya?
Tentu saja tidak demikian. Sekalipun calon yang belum pernah duduk sebagai pemimpin kita bisa menilainya juga. Yaitu dengan mengenali beberap tanda dan indikasi yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk mengenali karakter calon. Misalnya bagaimana tanggungjawabnya, disiplin, sikapnya terhadap orang lain, cara ia berbicara pada orang lain, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang me nyerah, ketulusan, peduli, kewargaan, tekun, integritas, visioner, adil dan sebagainya. Singkatnya kita mencari calon yang punya karakter sebagai negarawan.
Hal yang paling pertama harus dituntut adalah kesediaan untuk bertanggungjawab. Inilah sikap dasar dari seorang negarawan. Sekalipun definisi negarawan belum terlalu jelas tetapi secara sederhana seperti yang digambarkan oleh filosof Hans Jonas sebagai orang yang memikul tanggungjawab tak terbatas, bersedia memikulnya serta tidak lari dari padanya.
Frans Magnis Suseno menjelaskan, pemimpin tidak hanya dinilai dari apa yang pernah dilakukan, melainkan juga apakah dalam kedudukannya dulu pernah melakukan sesuatu. Secara retorik masyarakat harus menanyakan, apakah ia waktu pernah memimpin member cap kepribadian kepada apa yang terjadi? Apakah ia menunjukkan kebersamaan moral, artinya berani mengambil keputusan meskipun keputusan itu penuh resiko, berbahaya dan tidak populer?
Kini terserah kita. Para calon itu sebenarnya tidak punya daya tawar terhadap pilihan masyarakat. Kita dapat secara bebas menentukan pilihan siapapun yang kita percaya. Bagaimana dengan misalnya kalau ada tawaran uang atau fasilitas sejenis dari seorang kandidat? Bagi kandidat yang punya ambisi untuk membangun secara serius maka pasti tidak dilakukan.
Melainkan hanya kandidat yang punya ambisi pribadilah yang akan melakukannya. Sekali lagi terserah kita, silahkan merenung dan berfikir terhadap masalah ini.
——-
* Pemerhati social politik, warga Pinang Rugup, Rikit Gaib