[Cerpen] Adzan dan Sebuah Tanya Hati

Oleh  Nurul Silvia*

Langkahku yang merapuh menoreh tanya. Ada luka tergambar dari sudut matanya. “Ibu, aku minta maaf” suara itu bergetar , pilu. “pergiiiiiiiii atau aku akan bunuh diri”. Ibu menjerit disudut kamar. Hari masih fajar, ketika aku meninggalkan rumah menuju kekampus, hari ini ada latihan menyanyi di gereja kampus. Ada persiapan untuk malam natal tahun ini, walaupun masih lama persiapan harus segera dilakukan, daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya. Senang rasanya bisa menjadi jemaat Tuhan yang taat, mengisi salah satu tempat dalam bilik Tuhan, menjadi manusia yang sudah ditebus dengan salib.

Aku masih belum bisa membayangkan lahir tidak dari agama ini, rasanya seperti aneh, apalagi lahir sebagai muslim? Miskin dan penuh dengan aturan menyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan, setiap pagi aku harus mendengarkan suara dari menara tempat ibadah mereka. Yang disebut masjid, mushala, atau apalagi aku tidak tahu. Dan itu tepat berada didepan rumahku. Ketika tiba dikampus, aku melihat seorang wanita memakai tudung kepalanya, jilbab dalam bahasa mereka, Kania Putri, terdengar lembut ditelingaku nama itu, dia mantan pacarku, dulu. Aku memberanikan diri menyapanya “ pagi pipit ( panggilan sayangku dulu padanya),dia menjawab “ pagi juga april, duluan permisi”, dia tidak melihatku dan berlalu degan sopan. Hatiku menggumam “april”, dia tidak memanggilku elang lagi, agama itu telah mengubahnya, membuat dia pergi dariku. Ini alasan kesekian kenapa aku membenci islam

“apriiiiiiiiiiil”, tiba-tiba aku mendegar seseorang memanggil namaku, aku menoleh kearah panggilan itu, Dyean Permana Putra rupanya, putra pemilik resort ternama di Bali,   mempunyai mimpi menjadi pelukis tato, aneh memang. Karena dia seorang muslim (orang beragama islam), dan satu-satunya muslim yang tidak kubenci, bahkan menjadi sahabat terdekatku sejak masuk kekampus ini. Aneh bin ajaib, tapi dia menyenangkan. Best freinds forever (teman selamanya).

“iyaaaaaaaaaaa”, aku juga berteriak kencang, sampai seisi koridor kampus melihat kami dan menyangka kami baru keluar dari rumah sakit jiwa. Memang mahasiswa yang aneh,  mungkin dalam pikiran mereka. Aku hanya tersenyum dalam hati dan berkata “puji Tuhan” lucu sekali dalam persahabatan lintas agama ini. Tiba-tiba dyean menepuk pundakku dan berkata “ masih ingat masalalu mas broe, hidup tidak cuma untuk urusan percintaan, skripsi lebih penting”, benar juga pikirku , mahasiswa tingkat akhir yang tidak kunjung lulus (pikiranku menerawang), ada wajah ibu disana.

“oke broe, aku duluan, harus kegereja ni, ada koor untuk misa dan kebaktian besok minggu” aku berlalu, meninggalkan dyean yang tersenyum dan berteriak lantang, “ hati-hati broe, yang ngajar nyanyi cantik banget”. “ yeah, haa..” aku tertawa sambil berlalu. Ada-ada saja bocah satu itu, ulahnya kadang memang sulit untuk ditebak, tapi menyenangkan, andai dia bukan muslim, tentu segalanya akan tampak lebih mudah. Dia bisa kuajak makan apa saja, tapi karena dia seorang muslim, ada batas-batasnya, aneh dan memang menyebalkan.

Suasana gereja masih sepi, tidak kutemukan siapa-siapa. Aku melihat deretan kursi yang selalu penuh dihari minggu tapi hari ini tampak sepi, wajar pikirku, ini masih hari jum’at, masih ada dua hari lagi sebelum kebaktian minggu. Tanda salib beserta yesus tergantung ditengah-tengah ruangan. Aku berlutut dan menggenggam kedua tanganku dan memejamkan sambil berdoa dalam hati. Atas nama Bapa dan Roh Kudus. Amin.

Tiba-tiba, ada seorang wanita memasuki gereja, ketika aku baru selesei berdoa. “siapa ya?” aku bertanya padanya. “ saya Maria” Dia menjawab sambil membetulkan tudung di kepalanya. Lalu tanpa sadar aku menggumam “ masih muda dan cantik “. Aku tidak menyangka dia memperhatikanku dan tersenyum. Hari ini kulalui dengan cinta kasih Tuhan, dalam bait-bait nyanyianNYA. Aku bangga jadi hamba Tuhan.

Selesai dari kegiatan di gereja, aku memutuskan untuk pulang. Aku rindu ibu. Ibu dulu seorang biarawati yang taat. Ketika ia memutuskan untuk menikah dengan ayah, ia meninggalkan profesinya sebagi biarawati. Sedangkan ayah seorang pengusaha yang taat beribadah, tapi sayang islam mengambilnya dariku. Islam membuat ayah menjadi domba tersesat.

Ayah meninggalkan kami dan memilih agama itu. Dan aku sudah melupakan bagaimana rasanya memilki ayah yang bisa kuajak melihat sinterklas. Yang bisa kuajak melihat indahnya pohon natal, dan aku tentu juga lupa bagaimana rasanya membuka kado di pagi natal. Dan pikiran tentang ayah menemaniku sampai kerumah. Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuang pikiran itu, aku benci dia, terlebih agamanya. Tapi tidak bisa kupungkiri ayah adalah makhluk Tuhan yang paling baik, sebelumIslam itu merenggutnya. Sebersit rasa aneh hadir di hatiku. Ayah adalah laki-laki paling tulus. Itu dulu fikirku.

Kulihat ibu sedang menyiram tanaman, saat aku memasuki perkarangan rumah. Aku memeluknya. Kemudian dia berkata” udah makan pril?”. “ belum bu, ibuudah?”aku bertanya padanya. “ sudah, makanlah, kemudian istirahat” Dia menjawab sambil berlalu ke taman belakang. Hari ini benar-benar indah, ibu memasak makanan favorite ku. Capcay asin dengan tambahan bumbu arak. Dan cumi goreng tepung dengan taburan bawang putih goreng.” Puji Tuhan”, ucapku dengan bergumam.

Bersyukur rasanya masih bisa makan seperti ini, tiba-tiba ada perasaan aneh menyelinap dalam dadaku, ketika aku mendengar suara adzan didepan rumahku, aneh. Biasanya aku tidak pernah begini. Ada rasa nyaman dihati, segera aku menepisnya, tapi rasa itu tetap tinggal di hatiku, sampai akhir suara.

Aku meneruskan makan selesai makan aku memutuskan dikamar saja, tidur.“ini bukan salah ayah, ini juga bukan salah islam. Cobalah buka hatimu untuk memahami agama islam. Bukan karena agama ini, kamu putus dari kania,bukan karena agama ini, ayah pergi dari kamu, ayah menemukan kenyamanan pada agama ini. Ayah menemukan konsep paling lengkap dalam agama ini. Tatanan hidup paling memadai. Ayah mohon, bukalah mata dan hatimu lebih lebar lagi, ayah terlalu sayang padamu, ikuti ajaran ini suatu hari nanti, walaupun kau harus merangkak dan menjerit memikulnya”.

 Tiba-tiba aku terbangun, aneh mimpi tentang ayah. Ayah membicarakan agama islam lagi, ayah mencoba membela diri tentu juga membela agamanya. Kenapa mimpinya jadi aneh begitu, tidak biasanya aku mimpi. Baiklah mungkin ini hanya bunga tidur saja. Aku berusaha menepisnya lagi. Sebersit rasa aneh itu juga muncul lagi. Ketika aku terbangun, aku melihat senja memerah, langit berwarna orange dihiasi awan yang berarak, kutemukan syahdu disana. Aneh kenapa aku jadi memikirkan hal-hal sentimental macam ini. Aku harus ke gereja bertanya pada pastur yang menemani doa mingguanku. Bergegas aku mandi dan menuju ke gereja. Selesai mandi, diluar langit telah gelap, adzan kembali terdengatr didepan rumahku, kutemukan damai dalam kata-katanya, walaupun aku sedikitpun tidak mnegerti artinya apa, ini benar-benar harus dihentikan, begitu fikirku.

Ketika tiba di gereja, kulihat pastur sedang duduk di samping altar, pria yang masih muda tapi sangat kebapakan. “malam pastur” aku memecah keheningan. “ malam juga april, ada apa? Tumben kamu kesini malm-malam?” dia meletakkan bible yang berada ditangannya. “Ada yang ingin saya tanyakan bapa”. “Apa itu?” jawabnya. “ hari ini saya mengalami kejadian yang sangat aneh. Saya merasa sangat nyaman ketika mendengarkan suara adzan.

 Saya merasakan ada panggilan dari dalam hati ini. ” aku berusaha meletakkan telapak tangan didadaku, merasakan sesuatu. “ kamu salah memilih tempat bercerita, anakku, carilah guru spritual agama islam itu, yang mereka sebut usatadz, mereka akan memberikan jawaban pastinya, aku tidak ingin mengintervensi apapun padamu,  pesanku, apapun nanti yang kau dapatkan , kau harus komitmen menjaganya”. Dia menjawab dengan menatap lurus kedalam mataku, seperti memberi kekuatan, bijak sekali fikirku. Jarang ada pastur seperti itu.

Aku pulang kerumah dengan lunglai. Aku harus menemukan jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba hadir dihidupku ini, besok aku akan meminta dyean mengantarkan aku untuk bertemu dengan pemuka agama islam itu apa namanya ustadz, aku tidak tahu, yang jelas aku harus mencari jawabannya. Ini membingungkan  sekaligus menyiksaku. Apa ini karma dari Tuhan karena aku terlalu membenci islam. Aku tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu, ku coba memutar file didalam otakku tapi yang kutemukan hanya kepingan puzle  perkataan ayah semalam dalam mimpiku.

“itu mungkin hidayah”, kata itu memecah lamunanku ketika aku selesei menceritakan masalahku pada dyean,. Dyean berkata dengan lembut, filosofis sekali. “ apa maksudnya?’, aku menopang dagu, “ petunjuk” ujarnya kemudian. “mungkin aku bukan orang yang paham tentang agama ini, tapi aku tahu dalam agama ini ada hal-hal yang hanya iman yang bisa menjawabnya” ujuarnya lagi dengan nada yang sangat bijak. Aku benar-benar mendengarkannya dengan seksama, tidak berani membantah, mungkin benar, sesekali aku harus mendengar kata hatiku.

Aku mulai mencari buku-buku tentang agama islam, tentang Al-quran, tentang tuntunan shalat. Aku mulai menemukan irama hidupku, rasanya damai sekali. Berbeda dengan yang kemarin-kemarin bahkan lebih berbeda dengan saat aku menyanyikan lagu pujian di gereja. Ini seperti oase ditengah sahara yang memanas. Setelah berminggu-minggu aku memantapkan diri, merenung, “berilmu” dengan anak-anak mushola kampus, dengan para mentor mereka, dengan ustadz-ustadz mereka. Aku memutuskan untuk memeluk agama yang mulia ini yakni islam. Segala caci maki yang pernah kutumpahkan lenyap seketika. Aku seperti terlahir kembali. Benar agama ini benar-benar memberikan kenyamanan dan rasa yang sulit untuk didefinisikan bagaimana.

Aku bersyahadat dimasjid kampus, kumandangnya merasuk kedalam hatiku,kulihat disana dyean menangis dan memelukku, “aku berjanji akan jadi muslim yang lebih baik, selama pencarian keresahanmu, aku juga mencari agamaku ini, dan aku menemukan Allah dalam tiap bait hidupku, kita belajar sama-sama ya?” sambungnya ketika selesei prosesi sakral itu. Aku menghubungi ayah, ketika nada sambung telephone selularberganti suara ayah, ayah begitu bergembira mendengarnya, ayah akan menemuiku 2 hari lagi, saat ia selesei bertugas, satu ucapku “ayah maafkan aku”. Ayah berkata “ ini pilihanmu, jagalah dia, pupuklah, semai dengan belajar dan terus belajar. Pertahankanlah. Walau aku harus merangkk dan menjerit untuk memikulnya. Aku menjawab takzim dalam hati “ ya , baik ayah” ( tertegun, sesaat. Kata di mimpi itu).

Berhari-hari kujalani agama baru ini dengan dada lapang dan melegakan. Walaupun masih harus sembunyi-sembunyi dari ibu. Aku takut melukai hatinya. Setelah suaminya ( ayaku-red) pergi dari hidupnya. Dia semakin membenci Islam. Aku tidak berani membuatnya lebih dalam terluka lagi. Karena aku, juga memilih menjalani agama yang mulia ini. Aku tidak ingin ibu menjadi berang dan menyakiti dirinya sendiri. Demi Allah, walaupun dia bukan seorang muslim, tapi dia itu ibuku. Ibuku yang paling kucintai. Lillahita’ala ( karena Allah SWT ).

Tapi cepat atau lambat, aku harus mengatakan ini pada ibu, aku memohon pada Allah, agar pintu hati ibu, terbuka, untuk keislamanku ini. Membuka pintu hatinya untuk tetap menerima anaknya ini. Suatu hari di sudut awan yang berarak. Aku memberanikan diri menyapa ibu, berbicara dari hati ke hati dengan ibu. Aku memulainya dengan tangan dingin dan hati gemetar “ibu, apa ibu punya waktu? ada yang ingin april bicarakan,” tanganku menggenggam tangannya.” Ada apa, nak?” ibu menatap lurus kedalam mataku, dan aku tidak berani menatapnya. “ ibu, aku telah memilih jalan yang berbeda dengan apa yang selama ini kita yakini, april telah memilh mengikuti jejak ayah, jalan yang ayah pilih” aku melepaskan genggamanku dari tangan ibu.

Ibu terdiam cukup lama, dan memutuskan masuk kekamarnya, ada kilat air mata dimatanya. Hatiku seperti tersayat pisau. Durhakakah aku? Tapi bukankah Allah dan rasul adalah segalanya termasuk menentang ibu. Bukankah ini soal akidah? Ini soal keyakinan. Allah tunjukilah jalan yang terbaik untukku. Jika ibu belum bisa menerimanya, berikanlah aku ketabahan ya Rabb, jaga dia untukku, walupun dia ingkar pada ayat suciMU.

Berhari-hari ibu hanya mengurung diri di kamar. Aku jadi takut untuk menegurnya. Aku jadi takut mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Ini sungguh menjemukan. Apa yang sebenarnya harus aku lakukan. Ibu yang melahirkanku begitu meradang. Salahkah pilihanku? Aku mencoba mennetrakan hatiku dengan mengucap istighfar banyak-banyak di dalam hatiku.

Hingga hari bersemu merah, aku tetap terpaku, pada dinding mushola ini. Langkahku yang merapuh menoreh tanya. Ada luka tergambar dari sudut matanya. “Ibu, aku minta maaf” suaraku bergetar , pilu. “pergiiiiiiiii atau aku akan bunuh diri”. Ibu menjerit disudut kamar.  Itu pengantar pagi ini ketika ku ingin pergi. Ibu meracau. Menjerit sendirian, hatiku semakin sakit. Batinku menjerit. Ibu mengertilah. Aqidah tidak dapat ditukar dengan apapun. Termasuk cintamu. Aku akan berpegang teguh pada janjiku padaMU untuk menjaga ibundaku.

Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku berpegang pada ayatMU,  sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Setidaknya walau badai besar ini datang, aku sekarang telah memiliki tempat kembali yang kekal, yakni Engkau Rabb. Sujudku dengan penghambaan paling akhir, ampuni aku dan ibuku.  Jagalah dia. Tuntunlah dia. Walau aku bukanlah anak yang sangat baik. Semoga hatinya terketuk, untuk mencintaiMU. Walaupun itu entah kapan. Amin

 —

nurul s.

*Nurul Silvia, gadis ini lahir pada tanggal 07 Mei 1991. Mahasiswi Fakultas Dakwah, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Mempunyai motto : “don’t judge the book by the cover”, hidup adalah perjuangan, dan butuh kerja keras untuk dapat bisa mewujudkan segalanya bisa menghubungi di  emailnya nurul.silvia34@yahoo.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.