Aceh; Macan Ekonomi Baru di Asia Tenggara

Oleh : Sabela Gayo*

Membangun sebuah perekonomian yang kuat haruslah mempunyai pondasi ekonomi yang kuat pula. Dan salah satu cara yang paling efektif adalah dengan mulai memberdayakan unit usaha kecil, menengah dan koperasi yang pada akhirnya dapat menopang ekonomi makro suatu propinsi atau Negara.  Membangun sebuah Negara atau daerah tidak harus dimulai dengan membangun bangunan yang besar-besar dan megah dan membangun industri besar bernilai puluhan miliar dolar melainkan harus dimulai dengan membangun kekuatan ekonomi rakyat sebagai basis kekuatan ekonomi nasional yang nantinya dapat melahirkan produk-produk ekonomi berskala besar.

Politik ekonomi mercusuar sudah pernah dipraktikkan oleh rejim Orde Lama tetapi kebijakan ekonomi tersebut terbukti gagal menyejahterakan bangsa Indonesia. Disusul kemudian dengan rejim Orde Baru yang mempraktikkan politik ekonomi mercusuar jilid II yang juga kemudian terbukti gagal. Krisis ekonomi 1998 yang melanda berbagai Negara dunia termasuk Indonesia, ternyata dengan begitu mudahnya menyapu bersih simbol-simbol kejayaan ekonomi Orde Baru. Skandal dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bernilai triliunan rupiah sampai hari ini tidak jelas kemana lenyapnya dan bagaimana pengembalian uang tersebut ke dalam kas Negara.

Pembangunan ekonomi yang kuat dan mantap memang memerlukan perjuangan yang keras dan usaha yang ekstra dari seluruh elemen bangsa. Hal itu bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu satu malam dan dikerjakan oleh satu orang saja melainkan harus dilakukan oleh segenap elemen bangsa. Pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi tidak mustahil untuk dicapai karena sudah ada terlebih dahulu bangsa-bangsa sebelumnya yang mempraktikkan semangat kerja keras dan pantang menyerah dan kemudian mereka berhasil mencapai cita-cita bangsanya.

Pembangunan ekonomi yang kuat tidak bisa hanya diserahkan kepada Tim Ekonomi semata tetapi juga terkait dengan bidang-bidang lainnya (multi disciplinary). Bidang-bidang lain seperti bidang hukum, sosial, budaya, pendidikan, agama, keamanan, dan politik memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dalam menciptakan kondisi menuju arah pembangunan yang kuat. Demikian kompleksnya permasalahan yang ada sehingga pada saat yang sama diperlukan sebuah kepemimpinan nasional (national leadership) yang mantap. Kemampuan kepemimpinan (leadership skill) yang kuat dari seorang visioner leader sangat dibutuhkan dalam melakukan sentuhan-sentuhan dan intervensi-intervensi menuju arah pembangunan yang direncanakan. Indonesia merindukan hadirnya seorang pemimpin yang visioner yang mampu mengubah set of mind dan menginspirasi anak-anak bangsa untuk berbuat yang terbaik bagi negerinya.

Aceh sebagai sebuah daerah yang baru saja keluar dari 2 (dua) bencana sekaligus yaitu tsunami dan konflik termasuk salah satu daerah yang pesat dalam melakukan pembangunan pasca bencana. Aceh harus belajar dari pengalaman daerah lain seperti Taiwan, Korea Selatan dan Jepang dalam melakukan upaya-upaya rekonstruksi pasca “bencana” yang menimpa masing-masing daerah tersebut. Taiwan yang sampai hari ini masih berstatus sebagai daerah “persengkataan” dengan Republik Rakyat China tidak terpengaruh dengan gejolak politik tersebut. Bahkan pemerintahnya terus menggalakkan pembangunan industri dan pendidikan sebagai pilar utama ekonomi Taiwan. Demikian juga halnya dengan Korea Selatan yang terus-menerus diselimuti “perseteruan” dengan saudaranya di Utara tidak terlalu memecah perhatian para pengambil kebijakan negeri itu untuk menyelenggarakan kebijakan ekonomi progressif dan agresif sehingga mampu menghantarkan Korea Selatan sebagai salah satu kekuatan baru ekonomi di Asia. Bahkan dalam beberapa hal seperti Sepak Bola dan Produk Industri, sudah mampu mensejajarkan diri dengan Jepang walaupun Jepang sudah terlebih dahulu melakukan penetrasi pasaran dunia dengan produk-produk industrinya.

Salah satu pilar yang paling penting untuk menghantarkan Aceh sebagai salah satu macan ekonomi baru di Asia Tenggara adalah dengan memperkuat semangat persatuan dan kesatuan sebagai sebuah komunitas Aceh diantara berbagai etnik yang ada di Aceh. Pluralisme yang ada dan sudah tumbuh sejak lama di Aceh harus dipandang sebagai kekuatan dan bukan justru malah dijadikan sebagai isu untuk memperlebar perbedaan yang. Yang perlu dilakukan adalah mencari berbagai kesamaan pemikiran diantara berbagai kekuatan sosial politik yang ada di Aceh. Untuk melakukan pekerjaan tersebut diperlukan seorang pemimpin besar yang visioner, berintelektual dan berorientasi pada kemajuan.

Pluralisme Aceh adalah suatu rahmah dari Allah SWT dan jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang memaksakan agar bahasa dan budayanya diterima oleh kelompok etnis lain dengan berbagai macam alasan yang dbuat-dibuat sebagai alat justifikasi. Allah SWT sudah menciptakan manusia dengan segala macam keanekaragaman ideologi, latarbelakang social dan etnik. Islam adalah salah satu agama yang sangat menghargai pluralitas sehingga Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal….”. demikian mulianya Islam dalam menghormati perbedaan (pluralisme) dan melindungi tiap-tiap kelompok etnis yang ada. Maka sudah sepantasnya rakyat Aceh yang dianugerahi agama dengan agama Islam menerapkan nilai-nilai pluralisme tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Aceh memerlukan seorang pemimpin yang berkarakter dan memiliki ide-ide alternatif dalam mewujudkan cita-cita rakyat secara keseluruhan. Pemimpin yang mampu memotivasi dan menginspirasi semua orang dan menyadarkan setiap “jiwa yang sedang tertidur” untuk menggapai cita-cita dan masa depannya. Pemimpin yang diharapkan oleh rakyat Aceh tidak hanya sekedar mampu melaksanakan tugas-tugas administratif saja seperti menandatangani surat-surat dan nota-nota dinas, menerima kunjungan kepala dinas, tokoh-tokoh masyarakat, menghadiri rapat-rapat resmi dan menyampaikan pidato pada pelantikan-pelantikan organisasi sosial kemasyarakatan saja tetapi yang diharapkan oleh rakyat Aceh adalah seseorang yang punya kemampuan lebih dari sekedar melaksanakan semua kegiatan-kegiatan seremonial tersebut.

Kepemimpinan puncak (Top Leadership) sangat mempengaruhi arah dan gerakan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh suatu daerah. Apalagi oleh Aceh yang masih berada dalam masa transisi pembangunan dan transformasi masyarakat dari pola tradisional menuju pola modern. Kalau pemimpinnya memble alias tidak punya semangat dan ide-ide cerdas serta hanya menerima laporan dari bawahan saja maka dapat diprediksi kepemimpinan yang dijalankannya tidak akan mampu membawa perubahan yang signifikan. Kalau pun ada perubahan, hanyalah perubahan yang bersifat mikro dan tidak bersifat makro.

Sumber daya alam yang melimpah ruah di Aceh bukan suatu jaminan bahwa Aceh akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Sudah banyak contoh dimana negara-negara yang tidak punya sumber daya alam justru berhasil mensejahterakan rakyatnya lebih dari apa yang dilakukan oleh negara-negara yang punya banyak sumber daya alam. Demikian juga sebaliknya, Negara-negara yang punya banyak sumber daya alam justru tidak mampu memanfaatkan keunggulan sumber daya alam yang dimilikinya dan mengakibatkan rakyatnya banyak yang menderita kelaparan dan kemiskinan terjadi dimana-mana. Kesalahan pengelolaan (mismanagement) adalah satu isu besar yang sering kali dihadapi oleh Negara-negara/daerah-daerah yang bersumber daya alam. Hal itu terjadi karena kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki dan lemahnya “guidance (pengawalan)” dari pemimpinnya. Setiap pemimpin yang baik dan amanah harus memegang teguh filosofi bahwa ketika ia terpilih sebagai pemimpin maka ia jangan bertindak seolah-seolah sebagai tuan melainkan harus bertindak sebagai seorang “pelayan yang baik”. Karena pada hakekatnya seorang pemimpin merupakan kepanjangan tangan rakyat untuk mengurus segala kepentingannya. Kalau mau melihat di Aceh apakah seorang pemimpin tersebut baik dan amanah maka dapat dilihat dari alokasi penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kalau lebih besar balanja operasional (pegawai) daripada belanja pembangunan maka dapat dipastikan pemimpin tersebut bukanlah pemimpin yang baik dan amanah. Berarti pemimpin tersebut hanya bertujuan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kepentingannya saja seperti membeli mobil dinas baru yang mahal dan mewah, biaya rumah tangga yang besar, dana taktis bernilai milyaran rupiah, dan biaya perjalanan dinas yang fantastis.

Aceh masih berpeluang besar menjadi salah satu daerah yang menjadi pusat investasi baru yang sangat menjadikan di kawasan Asia Tenggara. Hal ini karena didukung oleh letak geografis wilayahnya yang strategis dipusat lalu-lintas pelayaran dunia, sumber daya alam yang melimpah dan status “self government” yang diperoleh dari pemerintah pusat. 3 (tiga) modal dasar tersebut dapat dijadikan sebagai “entry point” untuk mewujudkan Aceh sebagai macan ekonomi baru di kawasan Asia Tenggara. Jangan sampai dikarenakan beberapa poin MoU Helsinki yang belum sesuai dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh menjadikan para pengambil kebijakan menjadi tidak fokus dalam menjalankan program-program pembangunan yang pro-rakyat dan meletakkan pilar-pilar ekonomi bagi perwujudan target pembangunan jangka panjang Aceh sebagai macan ekonomi baru di Asia Tenggara.

 

* Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia) dan Wali World Gayonese Association (WGA).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.