Oleh : Sabela Gayo*
Saman adalah seni tari yang berasal dari Tanoh Gayo (baca red; Lokop Serbejadi dan Gayo Lues) bahkan di daerah Gayo lainnya seperti Bener Meriah dan Aceh Tengah seni tari Saman kurang berkembang. Di kedua kabupaten tersebut justru lebih berkembang seni tari Didong, Guel, dan sebagainya. Perbedaan seni tari yang berkembang di dalam masyarakat Gayo merupakan suatu bukti bahwa Gayo adalah sebuah bangsa dan bukan suku bangsa. Gayo memiliki sejarah panjang dimana banyak putra-putra terbaiknya menjadi raja diberbagai wilayah Aceh dan bahkan menjadi pejuang yang gagah berani baik pada masa perang kolonial Belanda maupun pada masa perjuangan Indonesia merdeka.
Saman bagi masyarakat Gayo di daerah Lokop Serbejadi (Aceh Timur) dan Gayo Lues bukan hanya sekedar sebuah bentuk seni tari belaka tetapi juga sudah menjadi ikon (tanda) atau identitas yang melekat erat pada jatidiri masyarakat Gayo di daerah tersebut. Bahkan pada masa perang melawan Belanda di Aceh, tari Saman sudah ditarikan secara resmi dalam acara-acara kaum kolonialis di Aceh di Tanoh Gayo. Hal itu tidak ditemukan di bagian pesisir Aceh dimana Tari Saman dijadikan sebagai bagian dari identitas daerah atau kelompok suku. Tetapi mengapa hari ini banyak orang-orang tertentu di daerah pesisir Aceh khususnya kaum intelektual dan pekerja seni yang mengklaim bahwa Tari Saman adalah miliknya? Mana bukti sejarahnya?, dan bahkan gerakan-gerakan Tari Saman �dijiplak� kemudian ditransfer ke dalam bentuk tari-tarian lainnya yang pada dasarnya gerakan-gerakan tari tersebut menjiplak gerakan-gerakan Saman baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Tari Saman bagi masyarakat Gayo di daerah Lokop Serbejadi dan Gayo Lues sudah menjadi darah daging dan setiap anak/individu khususnya kaum laki-laki di kedua daerah tersebut dapat menarikan gerakan-gerakan Saman karena tari Saman telah ditransformasikan secara baik oleh para orang tua mereka. Hal itu tidak dapat kita jumpai di daerah pesisir Aceh, bahkan kalau diteliti secara mendalam tidak ada satu kabupaten pun di daerah pesisir Aceh yang masyarakat awamnya dapat menarikan tari Saman seperti yang dilakukan oleh masyarakat awam yang ada dan tinggal di wilayah Lokop Serbejadi dan Gayo Lues. Di daerah pesisir Aceh, orang atau kelompok masyarakat yang dapat menarikan �Tari Saman� mungkin hanyalah anak-anak yang tergabung di dalam sanggar-sanggar tari baik yang ada disekolahnya masing-masing maupun yang dibentuk oleh pemerintah kabupatennya masing-masing. Hal itu sebenarnya telah memberikan bukti nyata kepada semua orang bahwa pemilik mutlak tari Saman adalah rakyat Gayo dan yang hanya dapat menggunakan kata �Saman� adalah rakyat Gayo sebagai bentuk hak eksklusif yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam konsep kepemilikan benda dalam ilmu hukum tidak akan mungkin ada 2 (dua) orang pemilik yang sah terhadap 1 (satu) objek benda yang sama. Begitu juga halnya dengan penggunaan kata Saman, tidak akan mungkin kata �Saman� dimiliki oleh 2 (dua) identitas masyarakat yang berbeda yaitu Gayo dan Aceh pesisir?, yang pasti pemiliknya harus tetap 1 (satu) orang atau kelompok masyarakat.
Di dalam buku J.J van de Velde yang berjudul Surat-Surat dari Sumatra (1928-1949) dapat dibaca bahwa pada tanggal 4 Maret 1930 pemuda-pemuda Gayo menarikan tari Saman dalam suatu acara perayaan adat yang bernama �Nirin reje� hal ini adalah bukti tertulis sejarah yang dapat membuktikan secara hukum bahwa rakyat Gayo adalah pemilik tari Saman yang sesungguhnya. Oleh karena itu segala bentuk �plagiarism/misconduct� terhadap gerakan-gerakan Saman yang dilakukan oleh sekelompok pekerja seni yang tidak bertanggung jawab harus ditentang dan dilawan baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah di daerah pesisir Aceh pada tanggal yang sama yaitu 4 Maret 1930 ada juga membawakan tari Saman dalam perayaan-perayaan adatnya?, atau setidak-tidaknya pada bulan atau tahun tersebut masyarakat yang ada di pesisir Aceh pakah ada menampilkan tari Saman dalam kegiatan-kegiatan resmi atau upacara-upacara adat? Kalau jawabannya ada, tentu harus ada dokumentasi baik dalam bentuk tulisan atau foto yang dapat dijadikan argumen bahwa masyarakat Aceh pesisir juga memiliki budaya Saman sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat Gayo.sedangkan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Gayo di wilayah pedalaman saja ada dokumentasinya dalam bentuk foto yang dilakukan oleh fotographer kolonialis Belanda. Padahal akses transportasi dan komunikasi pada saat itu masih sangat sulit dan terbatas sekali tetapi mengapa Belanda sampai mempunyai foto-foto dimana para pemuda-pemuda Gayo di daerah Pinding menarikan tari Saman di dalam upacara adat “nirin reje”?.
Jika kita analisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa Belanda saja selaku kaum kolonialis mengakui bahwa budaya dan tari Saman itu berasal dari Tanoh Gayo dan milik masyarakat Gayo makanya mereka dengan susah-payah mencapai desa Pinding dalam rangka meliput dan mendokumentasikan kegiatan upacara adat “nirin reje” yang didalamnya ada pagelaran seni tari Saman.
Tari Saman bagi masyarakat Gayo di Lokop Serbejadi dan Gayo Lues adalah bagian yang tak terpisahkan dari serangkaian upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Gayo di kedua daerah tersebut.sehingga masyarakat Gayo wajib menyelamatkan dan menjaga identitas dirinya dengan cara menyelamatkan dan menjaga identitas tari Saman itu sendiri. Di dalam adat Gayo di kedua wilayah tersebut (lokop serbejadi dan Gayo Lues) adalah suatu hal yang tabu (sumang) jika ada kaum perempuan (banan) membawakan tari Saman. Karena gerakan-gerakan Saman memang segaja diciptakan bagi kaum laki-laki dimana tari tersebut dibawakan dengan ritme gerakan yang cepat, bersemangat dan berapi-api. Bagi kaum perempuan ada tari tersendiri yang diperuntukkan oleh mereka yang bernama Tari Bines. Jadi jika ada para pihak yang menamakan suatu tari dengan tari Saman kemudian dibawakan oleh kaum perempuan sebenarnya hal tersebut sudah menodai �kesucian� dan mencabik-cabik �hati dan perasaan� rakyat Gayo dimanapun berada.
Kondisi yang terjadi hari ini dimana banyak sanggar tari, kelompok masyarakat, organisasi intelektual, persatuan seniman, dan sebagainya yang menjiplak gerakan-gerakan Saman baik sebagian maupun keseluruhan ataupun yang menggunakan kata �Saman� untuk berbagai tujuan baik budaya dan sebagainya, harus dilarang jika hal itu semua dilakukan tanpa ada ijin atau persetujuan tertulis dari rakyat Gayo khususnya masyarakat Gayo yang menjadi pemilik sah seni tari tersebut yaitu masyarakat Gayo di Lokop Serbejadi dan Gayo Lues. Apabila himbauan-himbauan baik lisan maupun tulisan sudah dilakukan namun masih juga tetap berlangsung dan diabaikan oleh kelompok-kelompok tersebut, maka rakyat Gayo dapat meminta penetapan Pengadilan sebagai institusi penegak hukum yang sah untuk menetapkan secara hukum bahwa tari Saman beserta baju, bahasa pengantar syair dan gerakan-gerakannya yang sedemikian rupa adalah milik sah rakyat Gayo khususnya yang ada di Lokop Serbejadi dan Gayo Lues dan penggunaan kata �Saman� itu sendiri merupakan hak eksklusif rakyat Gayo. Jika proses tersebut dapat ditempuh dan menjadi pilihan terakhir yang harus diambil maka rakyat Gayo harus dan akan melakukan upaya hukum tersebut sebagai satu-satunya solusi terbaik ketika diplomasi, negosiasi dan mediasi mengalami jalan buntu (deadlock).
Karena pada dasarnya tiap manusia akan mempertahankan kepentingan dan harga dirinya dengan segala cara termasuk dalam proses pengklaiman siapa pemilik sah dari Tari Saman?, Siapa yang berhak menggunakan kata Saman?, dan sebagainya. Sehingga jika 2 (dua) kelompok tetap bersikeras bahwa ia adalah pemilik sah tari Saman dan berhak menggunakan kata �Saman� maka jalan terakhir adalah ranah Pengadilan yang berhak memutuskannya.
Jika Pengadilan nantinya sudah menjatuhkan putusan penetapannya terkait sengketa kepemilikan tari Saman tersebut maka bagi pihak yang menang (dimenangkan) dapat menuntut ganti rugi sesuai dengan kerugian yang dideritanya baik secara moral maupun material atas penampilan tari Saman tanpa hak dimuka umum tanpa bentuknya yang asli dan penggunaan kata Saman tanpa hak yang telah terjadi selama ini. (alabaspos.com)