Banda Aceh – Pemerintahan Aceh yang dijalankan selama ini bukanlah termasuk self government, melainkan suatu otonomi khusus yang dijelaskan oleh Undang-Undang. Demikianlah yang disampaikan oleh Yusra Habib Abdul Ghani dalam kuliah umum Self Government Aceh: Studi Perbandingan di Negara-Negara Eropa, yang diselenggarakan oleh BEM FISIP Unsyiah, Kamis (14/04) di aula Lab School Unsyiah.
“Self Government sendiri adalah pembeda antara negara dengan pemerintahan. Jadi dalam suatu negara bisa saja beda pemerintahannya. Sebagai contoh di St.Luciana hukum nasional Amerika tidak berlaku disitu,” ujar tokoh Aceh yang pernah menetap di Eropa saat ditemui oleh The Globe Journal seusai Kuliah Umum.
Menurut studinya tentang self government sejak tahun 2005, Yusra mengatakan bahwa Aceh tidak menjalankan self government, tapi Aceh diberikan otonomi khusus sama seperti provinsi lainnya, dan penerapan pemerintahan Aceh berdasarkan kerangka otonomi khusus tersebut. Bahkan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang merupakan program dari Pemerintah Aceh juga bukan termasuk salah satu langkah self government di Aceh.
“JKA itu bukan program melainkan suatu kewajiban yang harus dijalankan pemerintah untuk melayani rakyat. Di sini, JKA adalah sesuatu yang hebat, tapi sebenarnya di negara-negara Eropa, itu adalah kewajiban pemerintah untuk melayani rakyat,” jelasnya.
Otonomi khusus yang ditawarkan kepada rakyat Aceh itu adalah penjabaran butir-butir MoU Helsinki ke dalam Undang-Undang No.11 tahun 2006. “Tidak pernah butir-butir MoU di terjemahkan ke dalam undang-undang. Di Knesset (parlemen Israel-red), mereka tidak pernah menerjemahkan MoU dalam Undang-Undang Israel,” katanya.
Dia menyebutkan bahwa Aceh kecolongan saat menandatangani MoU. “Kita hanya belajar beberapa jam saja sebelum tanda tangan MoU Helsinki,” ujarnya mengutip kata-kata juru runding GAM saat itu. Yusra juga mengatakan Wali Nanggroe sendiri mengatahui draft MoU seminggu sebelum tanda tangan dan draft tersebut di fax oleh Tgk. Abdullah Ilyas dari Rotterdam.
Dalam penjabaran MoU sendiri, pihak yang terlibat dalam penandatanganan MoU Helsinki tidak terlibat. Hanya satu pihak saja yang menjabarkan butir-butir MoU itu ke dalam Undang-Undang. “Bahkan Bakhtiar Abdullah setelah penandatanganan MoU mengatakan ‘Kami menyerahkan penjabaran kepada rekan kami yang lebih pintar di Senayan’”.
Menurutnya, penerapan Self Government itu adalah relative. Dia mencontohkan penerapan selft Government di Veao Denmark. “Disana partai lokal bisa memasukkan misi-misi partai lokal menjadi Anggaran Dasar dan Anggaran rumah tangga. Di Scotlandia misalnya, jabatan tertinggi adalah Perdana Menteri, tapi setelah referendum dirubah menjadi menteri utama,” ungkapnya. (Nurul Fajri | www.theglobejournal.com)
Bung Yusra ini ngawur. Yang harus kita perhatikan adalah bagaimana memanfaatkan ke-otonomian Aceh agar dapat memakmurkan rakyat. Bukan malah mau balik ke belakang lagi, MoU itu telah ditandatangani, implementasinya yg seakarang kita harus jalankan dgn baik.
Tanpa otonomi khususpun, UU Otonomi Daerah itu telah memberi kewenangan yang banyak kepada daerah. Ini yang harus kita manfaatkan, kita maksimalkan. Jangan ngomong ngaco-ngaco dan aneh spt Bung Yusra ini, sama sekali tidak membantu membangun Aceh dgn omong kosongnya itu.
MoU atau Tidak aceh tetap dijajah oleh pemerintah pusat dan sekelompok orang aceh, dan wilayah gayo adalah korban ‘Langganan”
dan GAM tidak lebih copet kampung yg hanya berani merampok sebuah permen dari tangan anak anak
ini bukan eropa,,,ini bukan amerika,,,
ini indonesia bung
lah si bung ini katanya tokoh gam kok ketika MoU tidak menguntungkan skrg berkoar2. dasar latah ne si bung
terjemahan si bung ini dari hari ke hari makin aneh. asal beda aja. cape deh… ini dah siang bung bangun2 :p