Mahasiswa, Jangan Apatis dengan Politik

Belakangan mahasiswa cenderung menolak partai politik masuk kampus

Lintas Gayo – Forum Rektor Indonesia menilai dunia kampus kini cenderung apatis atau acuh tak acuh dengan politik. Bahkan belakangan mahasiswa cenderung menolak partai politik masuk kampus, padahal seharusnya justru diterima dengan baik sebagai bagian dari khazanah intelektual.

“Harusnya mahasiswa tidak apatis terhadap politik maupun partai politik,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia, Prof Dr Laode M Kamaludin, saat membuka seminar pemaparan visi, misi, dan program calon presiden Aburizal Bakrie di kampus Universitas Padjadjaran di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat, Sabtu 21 Desember 2013.

Laode mengaku memahami bahwa fenomena apatisme itu sebagai akibat dari kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) di masa Orde Baru. Kebijakan itu telah memisahkan kampus dan mahasiswa dengan dunia politik praktis.

Akibat jangka panjang dari kebijakan itu, menurut Laode, seperti yang terjadi sekarang: politikus atau partai politik ditolak masuk kampus. Padahal, seharusnya hal itu menjadi bagian dari aktivitas intelektual kampus.

Pada tingkat yang lebih teknis, mahasiswa seharusnya menjadikan kampus sebagai tempat untuk menguji kapasitas atau pun kredibilitas partai politik. Bisa juga menjadikannya sebagai ajang menguji visi, misi, dan program seorang calon presiden.

Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Amerika Serikat. “Saya dulu tahu ada tiga calon presiden, yaitu Ronald Reagan, George Bush Sr, Bill Clinton, berkeliling ke kampus-kampus untuk memperkenalkan visi, misi, dan programnya kepada para mahasiswa.”

“Dari situlah iklim demokrasi di Amerika menjadi lebih berkembang,” ujar Laode di hadapan para hadirin yang terdiri dari para guru besar dan mahasiswa Unpad.

Aburizal Bakrie mengaku setuju dengan pernyataan Laode. Menurutnya, mahasiswa harus menjadikan politik sebagai bagian dari khazanah intelektual. Selain itu, mahasiswa juga harus memberikan sumbangsih solusi atas segala permasalahan bangsa dan negara.

“Mahasiswa harus keluar dari comfort zone dengan solusi, bukan dengan keluhan,” kata ARB, begitu ia akrab disapa.

Ia menambahkan, keterlibatan mahasiswa dalam politik bukan berarti menjadi pelaku politik praktis, tetapi, seperti yang disampaikan Laode, menjadikan kampus sebagai wahana untuk menguji kapasitas atau kredibilitas partai politik maupun calon presiden.

Dengan begitu, katanya, mahasiwa terlibat dalam mencarikan solusi atas berbagai permasalahan bangsa dan negara. “Jadi, jangan hanya membicarakan yang jelek-jelek dari indonesia, tapi juga: bagusnya bagaimana?”

Ia pun mengutip satu kalimat bijak untuk mahasiswa: “Jika tiba datangnya malam, jangan mengeluhkan gelapnya, tetapi nyalakanlah pelita untuk menerangi malam itu.”

Hal yang dilakukannya saat itu, kata ARB, juga merupakan bagian dari upaya mencari solusi. Sebagaimana juga dilakukan Partai Golkar dalam proses perumusan hingga penyempurnaan Visi Negara Kesejahteraan 2045.

ARB memaparkan visi, misi, dan program sebagai calon presiden di kampus Unpad atas undangan Forum Rektor Indonesia. Di forum itu, ia menguraikan visi, misi dan programnya yang disebut Visi Negara Kesejahteraan 2045. Visi itu berisi konsep dan strategi pembangunan nasional menjangkau waktu hingga tahun 2045, ketika bangsa Indonesia memasuki satu abad berdirinya negara.

Blue print atau semacam Garis-garis Besar Haluan Negara yang biasa disebut Visi 2045 itu berisi program jangka panjang pembangunan nasional di segala bidang hingga tahun 2045. Ia dibagi dalam tiga tahapan dasawarsa, yakni dasawarsa pertama tahun 2015-2025, dasawarsa kedua tahun 2025-2035, dan dasawarsa ketiga tahun 2035-2045. (eh/Vivanews)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.