Oleh: Ardiansyah Putra
Pasca pemilu legislative 9 april 2014, kembali mengudara suara-suara harapan untuk terwujudnya Aceh Leuser Antara (ALA). Hal ini terlihat dari banyak muncul statement tokoh di wilayah tengah aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah), menarik, sensitive serta terkadang provokatif. Disamping itu, siapa yang menduga bahwa wilayah ALA mengirimkan 4 (empat) wakilnya ke panggung penuh tipu muslihat di Senayan sana.
Sebuah harapan baru mejadi pantas untuk di perjuangkan, sebuah langkah baru memang harus di siapkan tentunya untuk mewujudkan ALA. Hal ini memang sudah tak bisa di tawar lagi, jika melihat kondisi nyata dari berbagai aspek, baik itu aspek ekonomi, pendidikan dan infrastruktur yang memang sangat timpang.
Melihat fenomena yang terjadi sejauh ini, seolah-olah Gayo tidak memiliki wawasan kebangsaan yang mumpuni, tidak memiliki kebijaksanaan yang baik, serta terkesan hanya berjuangan sendiri pada wilayah retotika semata.Terlepas dari hal di atas sebenarnya perjuangan ALA lambat laun akan menimbulkan hambatan yang amat sangat nyata. Bukan tanpa alasan hal ini, jika dilihat dari fenomena riak-riak ALA selama ini terlihat bahwa Gayo mempunyai libido kekuasaan yang sangat tinggi di banding wilayah lain yang tergabung dalam ALA. Gayo menunjukkan ego perjuangannya terhadap ALA, Gayo sangat primodial memperjuagkan ALA dan sikap Gayo akan menimbulkan malapetaka terhadap keseimbangan ALA itu sendiri.
Jika memang memperjuangkan ALA, maka kita stop berbicara entitas pribadi, stop bicara sukuisme. Karna Negara ini saja terwujud dalam bentuk rupa dan warna berbeda. Maka kemudian jika ALA di perjuangkan dengan ego sukuisme, ALA tidak akan terbentuk sampai kapanpun!!!. Seharusnya kita sadar bahwa terwujudnya ALA adalah sebuah keniscayaan dalam konteks kelengkapan administrasi dan potensi sumberdaya yang dapat di kelola dengan baik kedepannya.
Sudah saatnya GAYO reposisi kembali terhadap perjuangan ini, sudah saatnya kita bersama melakukan konsolidasi kembali dengan membawa semangat kebangsaan yang baik dan benar tanpa menunjukkan ego sukuisme yang ada. Sudah saatnya (Alas, Gayo, Singkil) membangun garis emosi, rasa dan harapan yang sama sebagai bentuk perjuangan kedepannya.
Sebuah filosofi saya dapatkan dari ujung timur Indonesia yang berbunyi “IZAKOD BEKAI, IZAKOD KAI” (Satu Hati, Satu Tujuan). Maka kemudian kita bersama dalam wilayah perjuangan Aceh Leuser Antara harus memantapkan sebuah iktikad bersama untuk mewujudkan apa yang akan di harapkan ke depan. Sebuah cita-cita dan harapan besar tentukan akan bisa terwujud bila di perjuangkan secara bersama-sama.
*Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB)
kan memang iya, yg asik sibuk merasa di tindas kayak orang di afrika (menurut penjuang2 ALAs kaki) kan gayo ditindas ngayal terlalu tinggi…
sama kayak yg komeng di atas KOPLAK…
eh di bawah …
KOPLAK orangnya
Sebuah tulisan yang keren, OTOKRITIK yang luar biasa. Pendapat dari penulis ini sangat patut untuk kita renungkan bersama. Karena memang kenyataannya, kalau Gayo terlihat begitu menggebu-gebu sementara kelompok lain seolah tidak dilibatkan, dengan berkaca pada apa yang terjadi di Aceh. Kelompok lain non-Gayo di calon wilayah ALA pasti akan berpikir, mereka nanti akan dianak tirikan.
Ada baiknya mulai sekarang, kelompok-kelompok Non-Gayo dirangkul kembali dan berikan mereka ketenangan bahwa kalau ALA berdiri, mereka tidak akan terdiskriminasikan.
Oh jelaslah orng non gayo pasti di anak tirikan, gayo sama mayoritas(aceh) aja begitu apalagi nanti sama minoritas(non gayo) lebih kejam lagi …