Sebuah Janji Klasik

Oleh: Ulfa Khairina

Sometimes queit people really do have alot to say… they are just being careful about who they open up to. (Susan Gale)
*
Izzy lemas, kakinya tak bisa bergerak. Telepon yang sedari tadi bergetar diikuti lagu Rabiosa milik Shakira tidak bisa ia sentuh lagi. Apa yang terjadi? Apa yang seharusnya ia lakukan kini?

“Bukumu jatuh semua, Zy..” Suara serak-serak basah Marie terdengar di balik selimut putih yang membungkus.
“Oh, aku memang butuh sebuah rak buku untuk semua benda-benda ini. Aku sudah berjanji tidak akan membeli benda-benda bodoh ini. Tapi aku masih melakukannya. Tidak! Bagaimana aku membawa pulang ke Indonesia, Marie?” Izzy mendekati buku-bukunya. Memunguti dan meletakkan di atas sofa krem di dekat jendela.

Marie mengangkat bahu dan tersenyum acuh. “Kau hanya harus berhenti untuk membeli buku-buku yang memang tidak terlalu penting. Kau harus pikirkan bagaimana saat transit.”

Izzy mengiyakan dalam hati. Ya, tragedi ketinggalan pesawat sepertinya cukup menjadi pelajaran hidup paling gampang. Tapi ia tetap saja tidak bisa berhenti untuk membuka dompet, mengeluarkan lembar-lembar merah dalam kurs Renminbi hanya untuk setumpuk atau sebuah novel berbahasa Inggris. Beberapa di antaranya tertulis dalam bahasa mandarin.
Izzy gila.

Terkadang ia berpikir begitu. Bagaimana bisa seorang maniak buku berhenti untuk tidak membuka mata ketika senyum ramah pemilik toko seolah menggoda untuk masuk. Bagaimana bisa?
Sebelumnya ia sudah berjanji tidak akan membeli lagi, tidak jika tidak begitu penting. Itu janjinya ketika pertama kali selembar surat panggilan lulus di negeri tirai bambu itu ia terima. Kenyataannya harga yang miring sekali menggodanya untuk beli.
Janji klasik berhenti membeli buku itu diubah secara sepihak. Ia hanya akan membeli satu setiap bulannya. Tidak lebih. Dana yang akan dianggarkan pun tidak akan lebih dari 50 yuan.

Kenyataannya?
Bulan ini Izzy sudah menghabiskan 500 yuan lebih untuk setumpuk novel Harry Potter dan Twillight dalam bentuk seri lengkap. Semua itu tertulis dalam tulisan keriting kotak-kotak yang belum bisa dibaca sepenuhnya oleh Izzy. Belum lagi buku-buku lain yang ia sendiri tidak paham untuk apa, dibaca atau nggak, dan sederetan alasan lain.

Vin sendiri pernah berkata, namun itu sebuah peringatan terselubung. Ia menatap buku-buku Izzy sambil mengangguk-angguk. “Suatu malam kau akan tertidur nyenyak, tapi kau tak akan pernah tahu kapan buku-buku itu akan runtuh dan menimpamu. And you die… go to hell.”

Izzy hanya tertawa menanggapi candaan Vin yang lucu. Anak itu meski sudah tua tapi sangat lucu sekali. Malamnya Izzy mulai kepikiran untuk membeli sebuah rak buku dan berjanji akan menabung untuk benda lima lantai. Harganya tergolong murah. Setidaknya bila dibandingkan dengan apa yang ada di Indonesia, Banda Aceh dan jenis yang ditawarkan.
Di lain sisi, Izzy kembali berpikir. Bagaimana bisa ia membeli lagi. Bagaimana ia akan membawa pulang ketika selesai kuliah nanti. Tentu akan sulit sekali untuk pengirimannya. Sekalipun nanti ia sudah tahu bagaimana caranya mengirim paket menggunakan pos. Bagaimana membuat semuanya menjadi lebih mudah. Akhirnya rencana itu tersimpan rapi dalam diary merah jambu.
Baiklah. Ia tidak akan membeli rak buku yang harganya tidak sampai 100 yuan itu. Ia juga tidak akan membeli buku lagi. Ia berjanji.
Dua minggu lalu ia berjalan-jalan ke toko buku kawasan Wang Fu Jing. Banyak buku bahasa Inggris dan bagus-bagus. Matanya melotot pada sebuah buku cerita anak-anak berwarna dengan kertas lux dan harganya sangat terjangkau. Liurnya menetes dan matanya ia pejam rapat-rapat. Secepat kilat ia pulang dan berusaha melupakan lembaran penggoda iman ini.
Pulang. Lupakan. Pulang. Lupakan.

Mantra ini tidak berhasil melenyapkan bayangan buku tebal bergambar dalam bahasa Inggris ini. Terbayang kehidupan Izzy di masa depan dengan anak-anak yang lucu. Mereka duduk manis di gazebo berarsitektur khas tiongkok sedang membuka lembaran-lembaran buku itu.

“Ma, aku ingin baca yang versi bahasa mandarinnya..” suara bocah yang entah dari mana muncul di imajinasi Izzy suatu waktu.
Tanpa menunggu bulan depan, Izzy kembali ke Wang Fu Jing. Ia rela berdesak-desakkan untuk mendapatkan dua buah buku itu. Ya, ia akan mengeluarkan tidak sampai 200 yuan untuk uku tebal, warna-warni, buku bagus. Malamnya ia kembali dengan wajah riang dan gembira.
“You are crazy!” komentar kaget Marie ketika melihat teman sekamarnya menenteng dua buah buku baru menyadarkan Izzy. Ia membeli sesuatu yang tidak benar-benar penting lagi.
“Aku pikir akan aku simpan untuk anakku kelak.” Izzy menanggapi konyol.
“Kau akan menyimpannya untuk sepuluh tahun lagi? Kupikir mereka akan lebih senang membaca dengan media lain, Izzy”
Izzy diam.
Janji klasik terlanggar lagi.
Hari ini, ketika buku-bukunya jatuh karena ketinggian dan kebanyakan Izzy bersyukur. Tuhan membuka matanya untuk menepati janji klasik yang selalu dia buat untuk dilanggar. Untunglah dia bukan sedang tidur siang saat ini. Sehingga kata-kata Vin tidak menjadi kenyataan. Mati tertimpa buku.
Satu hal lagi. Ia memang butuh rak buku. Lemari.***

Ulfa Khairina
Ulfa Khairina

Penulis adalah mahasiswa program master Jurusan International Journalism and Communication di Communication University of China, Beijing, RRC. Saat ini berdomisili di Beijing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.