Lanjutan Cerpen Berinang Ku Tangkir
Sesilon Ken Kuning Emas
“gereeeeeduuuuuuuum”. Guntur sahut menyahut, memecah kesunyian malam. Kilat silih berganti saling menyambar, menemani gerimis turun ke bumi. Angin bertiup dari arah barat, menerbangkan dedaunan menjelang terhempas ke pelukan alam.
Sabar menarik upuh khasnya (upuh gunel– selimut tebal dari kain perca), sambil kengkung. Dingin yang menusuk tulang, membuat tidurnya harus “kelkup– (menutup muka dengan selimut)”. Matanya mulai berat, pertanda akan hanyut dalam alam impian.
Tiba-tiba dia dengar gubuk di kebun itu ada yang menggedor. “ tok, tok.” Kemudian sejenak terdiam.
Kembali ketukan keras terdengar. “Woi uken pintu, sejuk ideretni– Woi buka pintu, dingin di luarni,” Terdengar suara dari luar diantara gemercik hujan dan sapuan angin.
“Sahan ya– Siapa itu?” tidur Sabar terganggu.
“Aku, uken pintu– Aku, buka pintu,” terdengar balasan dari luar.
“Sahan ya. Sahan aku– Siapa itu, siapa aku?” Sabar kembali bertanya, walau hatinya mengatakan mengenal suara di luar, namun karena desau angin dan gemericik hujan, suara itu seperti kurang jelas.
“Aku, Bar. Uken pintu– Aku, Bar. Buka pintu,” kembali balasan dari luar.
Suara itu memang suara sahabatnya yang kini bagaikan intelijen, mengumpulkan informasi.
Dia lihat Item, jeket lusuhnya basah. “Te hana ken pong ni, jema male ranap, daboh igerlok.”
“Hehehehehe, tenang ko Bar, gere kenguk aku nome isen, hehehehe,- Hehehe tenang Bar, apa ngak bisa aku tidur di sini?” Item melepaskan tawanya.
Sambil duduk di sisi pembaringan Sabar, item munyintung rara, kopi adalah sahabat untuk menghangatkan tubuh saat dingin seperti ini. Dapur tempat memasak tidak jauh dari pembaringan Sabar, gubuk itu hanya berukuran 3 kali 3 meter. Di sanalah tidur, memasak dan ruang makan.
“Sengkat woi, enti petea isintung, basah ilen, oya ara kuwel si nge kering,(susah bernafas karena asap, jangan pete yang dibakar, tapi itu ada kuwel kering)” kata Sabar sambil membuka tingkep, agar asap yang mengepul di ruang itu dihembus angin. Dingin menusuk tulang ketika tingkep dibuka.
Sambil menyeruput kopi, Item kembali memulai kebiasaannya menyampaikan info yang didapat hari ini.
“Telase upes serius Bar. Data nge meh isapati. Halus kesekke, male ibeteh upesni si belatah, (Nampaknya polisi serius Bar. Data dikumpulkan, halus ayaknya, untuk memisah hampa” sebut Item yang kembali menarik rokok panama Sabar. Tetapi asap rokok ini masih kalah dengan sengkatnya dapur, bekas memasak air.
“Sayangdi Pang,” sebut Item,” lagu gere ara sebet si mubelae, beritape nge ketar-ketur. (Seperti tidak teman yang membela, berita juga ramai).”
Sabar tidak menjawab. Dia hisap dalam-dalam asap rokoknya.
“Buetni telase Bar, lagu itunin ku cemucut, telaswe ku sesampe. (Kerjaan ini seperti disembunyikan di ilalang, nampak di rumput kecil)”
Item baru kembali dari Kute, dia hobi meneguk kopi roasting. Namun bagi Sabar, daripada membeli kopi roasting, dia lebih mau membeli rokok panama, maklum hanya sebagai buruh kasar, mangan ongkosen di kebun orang.
Informasi yang didapat Item dari Kute, dia sampaikan kepada Sabar. Apa saja yang didengarnya dari hiruk pikuk warung kopi, direkam dimemorinya dan cerita itulah yang dibaginya kepada sahabatnya yang hidup bagaikan sebatang kara ini.
“Kune maksutmu Tem, itunin kucemucutne. (Apa maksudnya disimpan ke ilalang)?” ahirnya Sabar bertanya juga.
“Upesni lagu mehne betehe data tentang kegiatan Berawang Musane ni. (Polisi seperti semua tahu persoalan berawang musane)”
“Hana si beteh pakeni Tem? (Kenapa mereka bisa tahu)?”
“Yah oya selo ku betih, nalammu pelisi ke aku, ehhh ge lagu si aneh ko Bar. (Yah, mana kutahu, kau pikir polisi aku. Eh seperti aneh ko Bar).”
“Nipongni, gere keko merene oyane upesni betehe mehne, dabuh mergeng. Aaaa udah kope, (kawanni, kan tadi kamu bilang polisi tahu semuanya, kenapa marah. Aaa mau kamupun),” balas Sabar.
Item melepaskan tawa. “Akupe keber ari jema woi, sa berani ngunee ku pelisi. (Aku juga kabar angin, siapa berani nanya ke polisi)”
“Keber le ini, kupenge reje-reje te, kaum ibu pe nge kemana sesara itiro keteranganne. Eleh buetni sesilon ken kuning ni emas,( Kabarlah kudengar, raja-raja, kaum ibu sudah diminta ketarangannya. Pekerjaanni seperti silau dengan kuningnya emas)” sambung Item sambil meneguk sisa kopi terahirnya.
“Gere perlu imelasi Tem, nge nasib ni tubuh, tuah rembege. Kadangpe buetni nge ikelsihi jema, wan delee jema munatang pumu, ke ara we si makul kusi sara. (Tidak perlu disesali Tem, sudah nasib tubuh, tuah badan. Kadang pekerjaan ini udah disumpahin orang. Dari banyaknya orang berdoa, ka nada yang terkabul),” sebut Sabar, matanya menatap dinding papan yang sudah “sangut” diasapi jaman.
“ahhhh nge ya Bar, aku nge tunuh ini, gere perlu neh kite bahas persuelen berawang. Buette si perlu ipekeri, meh empusni kusi mi kite man ongkosen. Si nume buette sana si rike, (aah udah tu Bar, aku ngantuk. Tidak usah dibahas persoalan berwang. Kerjaan kita yang perlu dipekiri, habis kebun ini, kemana lagi kita kerja. Bukan kerjaan kita tak usah dipikir)” sebut Item, sambil menarik upuh gunel, yang juga sudah bau asap.
“Bar telase, opohni nguk isesah. Lagu sengkat kesahku, hehehehe. (Bar selimut ni harus dicuci. Susah aku bernafas. Hehehhe)”
“Yoh enti sesah woi, oya meh pinungen kahe relo, se jemat ni gera mera kering, gelahta betengkedep, oya si nobon pesam,. (Yoh, jangan. Nanti pitaman ikan relo. Satu minggu belum kering. Biarkan compang-camping, itu yang membuat hangat)” balas Sabar sambil memejamkan matanya.
Saat matanya terkatup, Sabar sempat tersenyum mengingat kisah berawang. Entah apa sebabnya, lelaki lajang mangan ongkosen ini tersenyum. (Fajri Gayo)
Cerita sebelumnya: