Aceh ; Keberadaan Pajak Rokok

Akim
  Oleh : Akim*
Berbicara mengenai pajak rokok berarti tidak terlepas membicarakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak rokok sebagaimana menurut peraturan tersebut, ialah salah satu jenis pajak provinsi yang pungutan cukai rokoknya dialokasikan sekitar 50 (lima puluh) persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
Beberapa waktu lalu, pajak rokok ialah salah satu bagian dari topik yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat di beberapa wilayah (Sumatera Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur) karena isu kenaikan cukai pajak rokok yang mencapai 10 (sepuluh) persen yang dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing tersebut dari harga biasanya. Sehingga, sikap menentang kenaikan cukai pajak rokok pun dinilai jalan yang harus ditempuh oleh pecinta atau sipenggila rokok. Lalu, bagaimana dengan Aceh?
Kondisi Kekinian Aceh : Antara Pajak dan Rokok
Aceh dalam hal ini merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang ikut bergejolak dalam kenaikan cukai pajak rokok. Tercatat dari pemaparan Konsultan Tumbuh Kembang Anak Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh Muhammad Thaib mengatakan Aceh menempati peringkat pertama dengan jumlah perokok tertinggi di Indonesia, dan setiap satu perokok di Aceh menghabiskan 19 batang rokok perharinya.
Hal ini pula sejalan dengan penuturan Kementerian Kesehatan terhadap riset kesehatan dasar yang telah dilakukan pada 2007 dan 2010 menunjukkan delapan dari 10 laki-laki Aceh merupakan perokok.
Pecinta asap rokok di Aceh sendiri. Ternyata lebih dari 70 (tujuh puluh) persen didominan oleh kalangan menengah kebawah dan 30 (tiga puluh) persennya diduduki oleh kalangan menengah keatas.
Tingginya tingkat perokok dari kalangan menengah kebawah ini. Rupanya, disebabkan tingkat stress yang dimiliki orang miskin dalam hal kebutuhan sehari-hari jauh lebih rumit dibandingkan dengan kalangan menengah keatas. Selain itu pula, harga rokok yang murah merupakan alasan pemicu kalangan menengah kebawah memilih menjadi perokok agar dapat keluar dari zona permasalahan.
Alhasil, jalan yang dipilih oleh perokok tersebut menyebabkan presentase penduduk yang berada dibawah garis kemikinan di Aceh pada September 2013 lalu, meningkat hingga 20 persen (Badan Pusat Statistik, 2013).
Pajak Rokok Tinggi Agar Orang Tidak Merokok
Perlu kita ketahui. Sebenarnya, keberadaan rokok di Aceh sendiri merupakan salah satu faktor pendorong tingginya angka kemiskinan yang terjadi di provinsi ini (Radio Antero FM, 2013). Hal ini diperjelas oleh catatan dari KBR8H, bahwa lebih dari 15 (lima belas) persen penghasilan dari para perokok yang berada di Aceh digunakan untuk membeli rokok.
Diharapkan, Pemerintah Aceh harus mengambil kebijakan menaikkan pajak rokok di awal 2015 (dua ribu lima belas) mendatang agar jumlah pecandu rokok di Provinsi ini dapat berkurang disetiap tahunnya. Sebagaimana menurut A. Dhiyanto, ia mengatakan bahwa “setiap kenaikan cukai pajak rokok sebesar 10 (sepuluh) persen akan mengurangi konsumsi sebesar 4 (empat) persen di negara maju dan 8 (delapan) persen di negara berkembang”.
Dengan berkurangnya jumlah pecandu rokok di Aceh sekitar 8 (delapan) persen disetiap kenaikan pajak rokok. Berarti, mantan pecandu rokok ikut berpartisipasi terhadap pengurangan polusi yang disebabkan asap rokok. Dan pula, cukai pajak rokok yang dinaikkan 10 (sepuluh) persen dari harga biasanya dapat memberikan peningkatan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh.
Terhitung pada tahun belakangan ini Aceh telah menyumbangkan cukai pajak sebesar 8,7 (delapan koma tujuh) milyar disetiap minggunya kepada pemerintah pusat (greenkompasiana, 2011). Dan memperoleh Rp. 2,78 (dua koma tujuh delapan) milyar dari dana bagi hasil tersebut berdasarkan perhitungan Peraturan Menteri Keuangan R.I. Nomor 66/PMK.07/2010 Tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
Jika kebijakan kenaikan pajak rokok diusung oleh pemerintah daerah, khususnya Aceh di awal tahun 2015 mendatang, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari cukai pajak rokok tidak lagi sebesar Rp. 2,78 (dua koma tujuh delapan) milyar. Akan tetapi lebih besar dari angka tersebut, hal ini jelaslah akan membawa Aceh kepada pembangunan yang selama ini dinanti.
Selain itu pula, bila kebijakan ini diambil oleh Pemerintah Aceh. Berarti, dapat menekan angka pecandu rokok ditingkat pelajar. Para pelajar hanya akan menghindar dari ketertarikan terhadap rokok, bila harga rokok tidak lagi ramah dengan isi kantong.
Kenaikan pajak rokok di Aceh tidak akan membebani masyarakat nantinya. Karena rokok bukanlah kebutuhan pokok bagi masyarakat. Melainkan hanya kebutuhan pokok bagi sipenggila asap rokok.

Akim adalah:
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh selaku Penerima Beasiswa Bidikmisi Prestasi, dan Anggota Budaya Menulis Bidikmisi Se-Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.