Terkecil Diantara Terpenting

ulfa khairinaOleh: Ulfa Khairina

Saya mendapat sebuah pesan beserta selembar undangan pada kamis malam jam 11 malam. Saat itu saya dan empat orang teman sekelas lain baru menyelesaikan rapat untuk tugas mata kuliah International Broadcasting and Journalism. Teman saya yang memberi undangan sedang melanjutkan studi di jurusan Communication Studies program doktoral. Ia adalah seorang dosen di negara asalnya, Pakistan.

Paginya ketika berada di aula yang dimaksud justru mengejutkan saya. Semua yang hadir berjas dan bergaun rapi. orang-orangnya kebanyakan berkulit hitam, tinggi besar dan kelihatan sangat berpendidikan serta berwibawa. Saya seperti melihat Nelson Mandela dan Barrack Obama di seluruh ruangan. Beberapa orang berkulit putih juga hadir di sana. Di atas meja bundar sudah terpampang pamplet nama. Di layar digital dengan teks merah tertulis, “International Conference on China-Africa Communications”. Untungnya saya juga hadir berpakaian rapi, terusan hijau dengan blazer putih.

Semua undangan yang hadir terlalu asing bagi saya. Namun dari handout yang dibagikan, saya mengenali mereka sebagai orang-orang penting. Profesor, ambasador, peneliti, jurnalis senior, politikus dan berbagai macam profesi penting lainnya. Beberapa mahasiswa yang hadir saya kenal sebagai mahasiswa program doktoral. Saya satu-satunya yang sedag melanjutkan studi di bidang master.

Konferensi internasional yang berlangsung selama dua hari pada tanggal 12-13 Juni 2015 di Beijing, dimulai dengan sederetan pidato. Inti dari pidato sama, hubungan China dan negara-negara Afrika. Perwakilan dari China masih berbicara dalam bahasa mandarin dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Perwakilan dari negara-negara Afrika dan delegasi lainnya berbicara dalam bahasa Inggris, namun prononsasinya sedikit membingungkan. Selama konferensi berlagsung, semua isi dan presentasi disampaikan dalam bahasa Inggris. Isinya sangat menarik dan membuka wawasan saya tentang posisi negara-negara Afrika yang selama ini tidak pernah terlintas di benak saya.

Dari diskusi selama dua hari, banyak hal yang selama ini tidak pernah saya ketahui muncul menjadi pengetahuan baru. Ternyata perfilman China identik dengan kungfu di negara-negara Afrika. Sementara perspektif benua Afrika di mata dunia hanya orang berkulit hitam, miskin dan alam liar. Di hari kedua saya baru tahu bahwa ada perusahaan perfilman lain di samping Bollywood (India) dan Hollywood (USA), yaitu Nollywood.

Nollywood dicetuskan di Nigeria sebagai bentuk kemajuan perfilman Afrika untuk mengubah pandangan dunia terhadap negara-negara Afrika. Selama ini banyak film khususnya buatan Hollywood yang menyudutkan negara-negara Afrika sebagai kawasan terbelakang. Film merupakan salah satu alat propaganda paling mudah, baik propaganda dalam makna positif ataupun negatif. Inilah yang dilakukan oleh Nollywood.

Teknik softpower yang dilakukan oleh China kepada negara-negara Afrika dipandang negatif oleh beberapa negara maju seperti yang dipublikasikan oleh media barat. Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhang Yan Qiu, seorang peneliti media dan komunikasi Afrika-China, hanya sekitar 149 data akademik yang membahas kedua negara tersebut. Ada sekitar 73 akademik riset membahas tentang China di keselurahan negara Afrika, dan 79 riset dilakukan oleh akademisi China tentang Afrika.

Selama ini China juga sudah membangun hubungan bilateral dengan negara-negara di benua Afrika dengan cara membuka sekolah konfusius dan mengajarkan bahasa mandarin untuk masyarakat di negara-negara Afrika. Kekuatan bilateral antara negara juga semakin meningkat dengan banyaknya mahasiswa asal benua Afrika yang memutuska untuk melanjutkan studi di China, baik dengan cara memperoleh beasiswa atau biaya sendiri. Hal ini salah satu yang menunjukkan bahwa China cukup dikenal di negara-negara Afrika. Sementara negara-negara Afrika tidak begitu dikenal di lingkungan orang-orang China.

Berada di konferensi internasional ini, banyak hal baru yang saya dapatkan. Pengatahuan, relasi dan pengalaman. Saya merasa sangat beruntung mendapat undangan untuk menghadiri konferensi internasional yang tidak semua orang bisa masuk ke ruangan. Ketika foto bersama, teman-teman yang hadir di ruangan menyuruh saya ke depan, agar terlihat di frame. Awalnya saya tidak pede berdiri di antara para ambasador. Tapi teman saya asal Uganda berbisik, “Hei, Ulfa… Kamu sangat kecil. Kami semua dua kali dari tinggimu. Berdiri di depan!”

Setelah foto bersama, seorang wanita cantik yang kerap dipanggil doktor Nina oleh mahasiswa program doktoral mendatangi saya. Ia tersenyum dan menyapa, “Malaysia?.” Saya menggeleng dan meralat, “Indonesia.” Ia adalah orang yang menyuruh saya datang melalui perantara orang lain. Ia tidak memiliki kontak saya karena saya bukan mahasiswa fakultas Komunikasi, tapi fakultas Arts, Televisi dan Jurnalisme.

Doktor Nina adalah salah satu host senior di China Central Television (CCTV) channel 6. CCTV merupakan TV nasional China yang merupakan TV pertama juga di China. Wajahnya selalu muncul di berbagai acara khusus di CCTV 6 yang berkaitan dengan kritik film, analisis film dan hal-hal yang berkaitan dengan perfilman.

Perempuan Asia Tenggara berjilbab selalu identik dengan negara jiran, Malaysia. Indonesia hampir tidak dikenal dengan perempuan berjilbab di Beijing. Jika ia berasal dari salah satu negara ASEAN pertanyaannya, “Malaysia or Indonesia?”. Sementara umumnya saya selalu diduga sebagai orang Thailand atau Pakistan.

Hal yang sangat lucu ketika jam istirahat tiba, saat semua tamu dan pembicara keluar meeting room dan menuju ke kafe untuk segelas kopi. Saya tertarik dengan coklat dengan bentuk bendera Afrika Selatan dan lambang CUC. Saya mengambil beberapa potong coklat dan siap menyantap. Seorang pria berkulit putih dengan rambut ikal memutih. Ia warga negara asing, seorang profesor di The University of Hong Kong. Ia berkomentar tanpa bertanya, “Jika coklatnya bendera Pakistan, kamu makan tidak?”

Tentu saja saya jawab, “Makan.” Tapi ia melanjutkan, “Di dalam sana, perwakilan dari negara afrika selatan tidak memakan coklat ini. Sebaliknya mereka makan yang bergambar lambang CUC. Sebaliknya perwakilan dari China makan keduanya dengan lahap. Tidak ada lambang China dan CUC bukan kampus mereka. Itu yang namanya nasionalisme dari sepotong coklat.”

Sama mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Profesor ini melanjutkan, “Apakah anda lulusan dari International Islamic University di Islamabad? Satu dari alumni kampus ini sudah diterima di HKU. Dia pakistani”.

Barulah saya sadar siapa yang dimaksud dan sang profesor mungkin mengira saya juga berasal dari almamater yang sama dengan senior saya. Saya mencoba meluruskan sebelum perbincangan semakin membingungkan, “Maaf profesor, I am Indonesian, not pakistani”.

Sang profesor terkejut, lalu tertawa terbahak. “You looks like… Sorry for my bad” dan saya hanya tersenyum lagi. Seandainya di kelas, bukan di konferensi internasional, mungkin saya sudah tertawa keras.

Dari menghadiri konferensi ini, saya belajar banyak hal. Khususnya tentang hal-hal kecil yang selama ini kita abaikan. Banyak hal kecil yang kita abaikan di antara hal-hal penting lainnya.
*
Ulfa Khairina, adalah mahasiswa program master di jurusan International Journalism and Communication, Communication University of China, Beijing. Penulis juga alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan MAN 1 Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.