Banda Aceh | Lintas Gayo – Masyarakat dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh, khawatir produksi kopi di daerah ini turun gara-gara suhu panas global yang meningkat. Suhu di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, yang rata-rata normalnya 23 derajat meningkat 0,67 derajat Celcius. “Peningkatan suhu tersebut bisa mengakibatkan produktivitas kopi menurun 10-30 persen,” kata Ketua Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo Mustafa Ali dalam siaran persnya Rabu, 21 Oktober 2015.
Implikasi peningkatan suhu udara antara lain timbulnya penyakit penggerek buah yang sebelumnya hanya terdapat di dataran rendah, seperti di Kecamatan Rusip Antara dan Celala. Penyakit ini berkembang di ketinggian di bawah 1.000 meter dari permukaan laut. “Kalau sekarang, penyakit penggerek buah sudah ditemukan di wilayah yang relatif lebih tinggi,” ucapnya
Mustafa menekankan pentingnya penyuluh pertanian untuk mengawal petani guna meningkatkan produksi. Caranya, mengajak petani menanam pohon sengon di pinggiran atau batas antarkebun kopi. Fungsi pohon ini dapat memecah angin, sehingga proses pembuahan tanaman kopi tidak terganggu.
Menanam tanaman pelindung petai cina atau lamtoro sebanyak 30-40 persen dari jumlah tanaman kopi juga dapat meningkatkan produktivitas. “Bagi petani yang rajin, ada yang sudah mampu memproduksi 203 ton kopi per hektare per tahun.”
Harapannya, ada perubahan pola pikir petani. Ditargetkan, satu batang kopi minimal dapat menghasilkan 2 kilo green bean. “Jadi, kalau seribu batang pohon, dapat menghasilkan 2 ton kopi.”
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah memiliki luas tanam kopi arabika terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 48.300 hektare, dengan produksi rata-rata 720 kilogram per hektare per tahun. Kopi menjadi komoditas andalan di dataran tinggi Gayo, yang terdiri atas tiga kabupaten: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. (Adi Warsidi/ Tempo.co)