Redelong | Lintas Gayo– Pembangunan Bandar Rembele, berawal dari mantan Bupati Aceh Tengah, Mustafa M Tamy, yang ingin memajukan dan membuat terobosan didaerah pedalaman Aceh ini.
Sebelum dibangun, bupati yang bertugas pada 1998-2004 itu didampingi sejumlah anggota DPRD Tingkat II Aceh Tengah sempat menemui Presiden Abdurahman Wahid atau Gusdur, untuk mengutarakan niat membangun sebuah bandara di Dataran Tinggi Gayo.
“Setelah mendapat semangat dan motivasi dari Gusdur, Bapak Mustafa M Tamy melakukan berbagai rapat dan lobi berulang kali di Kementerian Perhubungan. Begitu pula saat permohonan disampaikan kepada Mendagri, sebagai upaya yang dilakukan kepada Pemerintah Pusat, tetapi tetap melalui keputusan yang dikirimkan ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,” kata Nilawati, istri Almarhum Mustafa M Tamy didalam forum Penelusuran dan Penulisan Sejarah Bandara Rembele, yang digelar di terminal bandara tersebut, Sabtu (29/7/2017).
“Langkah awal ketika itu, Mustafa M Tamy kepada Rahmad Salam, untuk mengkaji berbagai tahapan yang harus ditempuh. Kemudian Rahmad Salam beserta tim kajian AMDAL, bersama Kementerian Perhubungan melakukan berbagai kajian dan peninjauan lapangan, tidak mempedulikan saat itu situasi konflik (GAM-RI,red) yang sedang mendera dan amat memanas, tetapi kajian tetap dilakukan,” lanjut Nilawati.
Karena hal itu tambah Nilawati, sesuai aturan Kementerian Perhubungan RI saat itu, untuk mengkaji AMDAL terhadap rencana pembangunan Bandara Rembele di Kabupaten Aceh Tengah terlebih dahulu.
“Bapak M Din AW selaku ketua DPRD Aceh Tengah saat itu mengadakan rapat di DPRD, dan meminta opini dan rapat dengar pendapat dengan masyarakat, setelah mendengar paparan dari Bapak Mustafa M Tamy, seluruh masyarakat yang hadir pada saat itu memberi dukungan secara antusias, bahkan secara gegap gempita, menyambut hangat rencana tersebut,” tambah dia.
Setelah itu jelas Nilawati, Mustafa M Tamy mengeluarkan SK tim penyusun AMDAL, yang melibatkan Pusat Penelitian SUmberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia (PPSML-UI), kemudian tim UI menunjuk Rahmad Salam menjadi koordinator tim kajian AMDAL. Tim yang dibentuk itu kemudian bekerja keras untuk mempercepat proses yang dimintai oleh Kementerian Perhubungan kala itu.
“Termasuk membawa tujuh orang tim dari Universitas Indonesia ditengah suasana konflik, adalah hal yang membutuhkan keberanian. Dengan didampingi pihak keamanan, Mustafa M Tamy kemudian memerintahkan pengawalan khusus untuk tim studi AMDAL dari Universitas Indonesia tersebut,” ungkap Nilawati dengan berkaca-kaca.
Perjuangan dalam membangun Bandar Udara Rembele mendapat tantangan yang cukup berat, menurut Nilawati, dengan kegigihan suaminya saat itu, semua tantangan dapat dikalahkan dengan cepat dan tepat serta akurat.
“Setelah daya upaya dan kegigihan yang luar biasa dalam penyiapan dokumen, AMDAL dan serta persyaratan lainnya, akhirnya Pemerintah Pusat dapat diyakinkan sepenuhnya, sehingga disetujui anggaran pembangunan bandara, kemudian dimulailah pembangunan fisik bandara, sehingga keberadaan bandara akhirnya dirasakan kini oleh masyarakat luas,” pungkasnya.
Ia mengaku, selama memperjuangkan pembangunan Bandara Rembele hingga ke Jakarta, Mustafa M Tamy mempercayakan dirinya menjadi Sekretaris Pribadi, sehingga dengan demikian, Nilawati merasa sangat paham segala aktivitas yang dilakukan suaminya dalam upaya membangun Bandara Rembele yang pada awalnya didarati perdana oleh pesawat jenis Foker CN 235.
Dalam perkembangannya, Bandara Rembele kini berada dikawasan Kabupaten Bener Meriah, yang tekah mekar dari Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2003, pemekaran itu juga dilakukan pada masa kepemimpinan Mustafa M Tamy.
Kini Bandara Rembele telah resmi menjadi bandara yang melayani penerbangan komersil dengan pesawat Lion Air ATR 72, yakni untuk rute penerbangan Rembele – Kualanamu dan sebaliknya. (IWB/ KBRN. rri.co.id)