Adha Tanpa Rembulan

Oleh : Zuliana Ibrahim*

Ilustrasi : Ugiey Gayo

Lantunan kesepian Anan Rusip, kembali menggema. Ia turut menghiasi malam, diikuti deburan ombak dari Danau Lut Tawar. Sedang Mekar, sungguh tak bisa berbuat apa-apa. Selain setia, mendengar lantunan rutin anannya. Lantunan yang mengisyarat pada pilu. Entah pilu apa,……

***

Mekar tak lagi dapat menelisik lebih jauh, akan pikir yang terkadang membuat ia jenuh. Begitulah, perilaku anannya yang semakin gemar saja membuat pikir kadang tak bisa membeda antara nyata dan dongeng semata. Sampai senja melipat, hingga malam akhirnya menyelinap. Udara juga kian merasuk menusuk tulang, membuat gigil semakin terasa melekat. Anan Rusip pun akhirnya mengalah dan kembali bergumul di depan tungku, tempatnya muniru. Menghangatkan tubuh, dari beberapa susunan ranting yang dibakar dengan percikan api kecil.

“O, pantun kunehmi die. Rami pe rami, sengap pe sengap, hejep mi hejep. I timang rembege”

Seraya sesekali menyeruput kopi, buatan Mekar cucunya. Lantunan kesepian Anan Rusip, kembali menggema. Ia turut menghiasi malam, diikuti deburan ombak dari Danau Lut Tawar. Sedang Mekar, sungguh tak bisa berbuat apa-apa. Selain setia, mendengar lantunan rutin anannya. Lantunan yang mengisyarat pada pilu. Entah pilu apa, Mekar pun tak tahu mengapa.

“Oi, Mekar! Langit hitam segera runtuh, angin menghapus jejak para pelaut. Sang penjaga Lut pun akan menemu nyawa untuk direnggut. Segera rangkul anakmu, Mahdi akan dibawa lari!”

Ah, lagi. Kadang kala anan tak dapat diterima akal pikirnya. Mekar hanya dapat tersenyum, seraya memberi balutan selimut pada tubuh renta anannya. Tak lama, Anan Rusip kembali bergumam sendiri, pandangannya tertumpu pada tungku. Ia mulai membasuh bibirnya dengan tasbih Sang Maha Agung.

Seketika Mekar teringat pada waktu, menjelang maghrib. sebentar lagi takbir Adha akan bergulir, Mahdi belum jua kembali. Padahal azan telah berkumandang, ayam-ayam tetangga sudah masuk ke kandang. Ada perih dalam lubuk hati, Mekar segera pergi menuju lut yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya.

“Mekar, cepat! Ia sedang mencari mangsa, memburu jiwa anak manusia!” Nanar, tatapan Anan Rusip menggebu-gebu. Mekar takut, ia terus mencari Mahdi, anaknya yang masih berumur kurang dari tujuh tahun itu.

Malam menggeliat tapi tak semanja malam lalu. Langit menyimpan rembulan sama kalanya seperti pagi tadi, mentari enggan berbagi. Suara sahut menyahut jangkrik kurus, mengingatkan Mekar pada serumpun lalu yang mengisi haluan rindu. Tentang Konadi, yang tak lagi ada disampingnya. Setelah melabuhkan diri pada jala di malam pekat. Kini ia harus berjuang nasib sendirian, dengan seorang wanita yang kian senja saja. Dan anaknya yang akan naik kelas dua, sekolah dasar.

Mekar lagi-lagi hanya bisa mengelus dada, ketika mendapati Anan Mekar yang saban hari terus mengecup aroma ladang kejemuannya.

“Anan harus tidur! Besok aku akan antarkan anan berketibung.” Mekar semakin senang  kiranya jika mampu menimang rupa bisu Anan Rusip.

“Ya, aku senang jika kau berpikir demikian.” Anan Rusip patuh, ia pun berbaring menjulurkan kakinya dan menarik selimut sampai hampir menutupi seluruh tubuhnya.

* * *

Mekar, mencium aroma tubuh detak kematian. Mekar mulai  berprasangka buruk, meski begitu ia bersikukuh dan merangkul erat tangan pemuda itu. Wajah lelaki yang datar, tanpa ada berkas meski seculi senyuman. Senyum ia kemas dalam dinding beku, pun tak pernah silap Mekar dengan segera memberikan secangkir kopi buatannya, pada suami yang begitu ia rindukan tersebut.

“Kau tak boleh lalai, Mekar!” Konadi meneguk dua-tiga kali kopi hangat dari dalam gelas yang baru disuguhkan Mekar. Setelah itu, tiada pula terlihat rupa Konadi, yang tiba-tiba menyusut dan hilang dari hadapan Mekar.

Sekilas Mekar teringat mimpi aneh itu kembali. Ya, ia harus selalu berhati-hati kadang mimpi benar-benar ingin menyampaikan tentang apa yang manusia tiada duga akan menimpa. Mekar tak putus nafasnya mencari ke sana ke mari jejak Mahdi, anaknya semata wayang. Sampai azan isya akhirnya berkumandang pula, akhirnya Mahdi dengan cengegesan sudah ada di hadapannya. Mekar lantas memeluk erat tubuh Mahdi. Segera membawanya kembali ke rumah.

Sepanjang perjalanan Mahdi tak banyak bercerita, ia hanya menunjukkan beberapa ekor ikan bawal yang ada di tangannya.

“Mahdi, dapat dari mana ikan besar ini?” Mekar heran, tak biasa anaknya bisa menemukan ikan sebanyak itu, Mahdi kecil hanya tersenyum sepuasnya seolah ia baru saja menemukan harta yang begitu berharga.

Degup jantung Mekar seakan semakin kencang saja berdetak, ia gelisah. Gelisahnya membuat Mekar ingin segera menemui anan, yang sedari tadi hanya membuat hatinya menjadi bimbang sendiri.

* * *

Gema takbir Idul Adha telah terdengar, dari berbagai masjid sekitar. Begitu pun Mekar, ia melantunkan takbir penuh khusyuk. Tiap ayat mengagungkan kebesaran Tuhan, pemilik jagad raya. Seekor kambing jantan pun telah ada dipersiapkan, esok usai shalat Idul Adha kambing tersebut akan menemu ajal. Untuk menjadi berat timbangan ibadah, di akhirat kelak.

Anan Rusip masih dengan pulas tidurnya, percikan api muniru pun mulai terlihat padam. Mekar, sekali-kali kembali teringat akan mimpi yang membuatnya habis pikir menemui makna dibalik ucap Konadi. Mengapa ia harus lebih bersikap waspada demi Mahdi anaknya? Ah, untuk sekian kali mekar beradu pikir sendiri.

Dentang waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam, Mekar belum bisa lelap. Suara takbir masih bergema, dengan merdu menambah bening iman dalam dada. Namun ada secercah rupa pada wajah Mekar, yang masih bersanding tentang kegelisahan.

“Apa yang membuatmu terus terlihat gelisah?” Tiba-tiba Mekar dikejutkan oleh suara anan yang ternyata terbangun dari tidurnya.

Mekar tersenyum, ia menyuruh anan kembali tidur. Anan Rusip tak bisa lagi memejamkan matanya. Ia pun memilih untuk kembali muniru, Mekar tak menolak dan menambah beberapa ranting untuk di bakar.

“Kau tahu! Langit hitam segera runtuh, Mekar.  Angin menghapus jejak para pelaut. Sang penjaga Lut pun akan menemu nyawa untuk direnggut. Segera rangkul anakmu, Mahdi akan dibawa lari!”

Mekar tersentak, kalimat itu kembali muncul dari mulut Anan Rusip. Ia tak bisa menimang gelisah ini terlalu lama. Ia pergi beranjak, namun dengan sigap Anan Rusip memegang tangannya. Untuk tetap bertahan di sampingnya.

“Tapi jangan takut, Mekar. Konadi bersama kita, ia berjanji padaku untuk menjaga Mahdi.”

Mekar semakin terjerumus pada buntu, ia semakin tak mengerti apa yang sedang membumbui pikir Anan Rusip tentang Sang penjaga Lut yang tak tahu apa hubungannya dengan Konadi almarhum suaminya atau Mahdi, putra satu-satunya.

Nanar, wajah Anan tampak bengis. Ia kesal karena Mekar tak jua menanggapi ucapnya. Ia menggambil sebuah pisau lantas memberikannya pada Mekar.

“Silahkan kau bunuh saja aku, jika kau tak percaya padaku dan menganggapku sudah gila.” Mekar semakin kalut. Segera ia singkirkan pisau tersebut dari tangan Anan Rusip. Mekar memeluk tubuh anannya yang tampak menggigil akibat terpacu emosi sesaat.

“Konadi telah dibawanya pergi, aku tak ingin Mahdi juga ikut dibawanya pergi.”  Isak jerit tangis Anan rusip pun pecah, ia tenggelam dalam pelukan Mekar yang sedari tadi hanya memilih untuk diam.

Sebab Mekar tak tahu apa-apa. Ia hanya tahu bahwa satu tahun yang lalu suaminya ditemukan tewas tak berdaya, tenggelam di Danau Lut Tawar. Aman Nurdin, saat mandi ke danau menemukan jasad suaminya. Beberapa bagian tubuh Konadi seperti kehilangan darah, sebagian besar tubuhnya terdapat luka kecil di bagian pangkal jari jempol kaki. Seperti luka bekas gigitan lintah. Mekar tak ingin mengingat tentang hal itu lagi, ia terus berprasangka baik, bahwa suaminya kini telah tenang di alam sana.

“Mereka sedang haus, Mekar. Kita harus waspada!” Suara Anan Rusip terdengar lemah, agaknya wanita yang telah berumur lebih dari tujuh puluh tahun ini, sangat kelelahan. Mekar membaringkan tubuh anannya, memberikan balutan selimut hangat. Mengantar Anan Rusip untuk kembali tenang.

Seketika, ia teringat pada Mahdi. Ia ingin pastikan anaknya masih tertidur pulas, tak terbangun akibat tangisan Anan Rusip. Mekar pindah ke ruangan sebelah, tempat Mahdi tertidur di sana. Tubuh kecil itu masih terlihat lelap. Mekar tersenyum, anaknya tampak tenang dengan iringan gema takbir yang begitu ramai terdengar. Mekar mendekati tubuh putranya. Ia meragu, mengapa tubuh Mahdi kini tanpa selimut? Bahkan ia lebih galau, ketika mendapati tubuh Mahdi basah kuyup. Ia memeluk tubuh anaknya itu. Dingin, kaku. Ia kalut, memanggil anannya. Namun tak ada sahutan. Ia semakin bingung, ketika mendapati anannya juga tak ada lagi di tempatnya. Selimut, bantal yang biasa dipakai anannya tampak berantakkan dan percikan api yang baru saja dihidupkan lagi, pun kini padam kembali.

Mekar membopong tubuh Mahdi, membawanya lari. Mencoba mencari bantuan, namun di sekililingnya aneh tak ada tampak orang. Suara takbir yang masih menggema menenggelamkan suaranya. Ia tak sanggup lagi berlari, tak tahu ke mana arah pasti.  Tanpa terasa ia telah sampai pada tepi Danau Lut Tawar, pikirannya buram. Seperti awan hitam yang bergumul dengan langit malam. Angin dari Danau Lut Tawar, menghempas kasar tubuh Mekar yang perlahan semakin lunglai. Ia terjatuh bersama tubuh kecil Mahdi, terperosok tenggelam bersama dengan gelombang dari Danau Lut Tawar. Mahdi terlepas dari rangkulan Mekar. Samar-samar terombang-ambing dalam air, Mekar melihat Anan Rusip termangu di tepi danau, lantas membasuh wajahnya dengan air Lut, meneteskan airmata dan melambaikan tangan pada Mekar seolah ia tahu apa yang akan terjadi pada Mekar malam ini.

Dan tubuh Mekar semakin jatuh tenggelam. Ia kini tak bisa lagi mengingat tentang ucap Anan Rusip padanya, yang acapkali membuatnya risau bukan kepalang. Tak pula ingat pada mimpi dengan Konadi yang datang silih berganti, bahkan tak ingat lagi bagaimana tawa bahagia Mahdi, saat mendapatkan beberapa ikan bawal besar yang tak tahu dari mana asalnya. Kadang logika, kerap seperti buah mimpi baginya dan ilusi menjadi pikir yang sejatinya sulit ditembus oleh akal nyatanya, namun dapat terjadi di hadapannya.

Kini, Mekar semakin tak lagi ingat apa-apa. Yang tampak dihadapannya hanyalah seekor makhluk yang begitu besar, mendekap erat tubuhnya. Membuatnya biru, kaku. Kini ia tahu akan jawabnya, mengapa risau anan begitu membuncah tiap adha tak berpayung sinar rembulan. Bersebab para penjaga Lut ingin tuntaskan dahaganya di pekat malam.

Ranah KOMPAK, November 2011

——

* Alumni SMA N 1 Takengon. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.