Oleh Toto Zurianto
Saya selalu bersemangat untuk bercerita tentang wilayah Aceh Tengah atau terkenal dengan kota Takengon-nya. Bukan hanya saya, tapi kami sekeluarga, yang bukan berasal dari wilayah ini, tetapi pernah bermukim cukup lama (1971-1980) di wilayah yang sekarang, paska pemekaran, meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon, Kabupaten Benar Meriah, dan Kabupaten Gayo Luwes.
Wilayah dataran tinggi Gayo terletak di tengah-tengah propinsi daerah istimewa ACEH (DISTA), sekarang NAD, sebagian besar wilayahnya berada di dataran tinggi pegunungan, sekitar 500 sampai dengan 1700 meter dpl. Udaranya sungguh segar, sejuk, dan bersih membuat siapapun merasa sangat nyaman berada disana. Tentu saja, dengan curah hujan yang cukup tinggi, tanaman dan hutan menjadi sangat subur. Dua pertiga pegunungannya ditumbuhi oleh Pohon Pinus Merkusi, sejenis Cemara yang sejak zaman Belanda sampai dengan tahun 1980-an dikelola oleh perusahaan perkebunan negara untuk diproses menjadi Minyak Terpentin dan Damar yang banyak digunakan oleh industri-industri manufaktur. Disamping tumbuhan Pinus, wilayah Aceh Tengah terkenal sebagai penghasil Kopi Arabika yang sangat terkenal yang lebih banyak diekspor ke luar negeri. Tumbuhan lain disamping sayur mayur dan buah-buahan, wilayah ini juga sangat bagus untuk ditanami tembakau. Hanya sayang, tembakau tidak terlalu banyak diusahakan oleh masyarakat Aceh Tengah.
Terakhir perkebunan Pinus ini dikelola oleh PT Perkebunan I Aceh yang berkedudukan di kota Langsa, kabupaten Aceh Timur. Perusahaan ini pada waktu itu (sampai dengan tahun 1980-an) mengelola perkebunan Pinus di Aceh Tengah (Takengon), Kelapa Sawit di Karang Inoue (Peureulak, Aceh Timur) dan Tanjung Seumentoh (Aceh Timur), Perkebunan Karet di Kebon Lama, Kebon baru, dan Pulo Tiga di Kabupaten Aceh Timur.
Hampir selama 10 tahun mengikuti orangtua yang bekerja di PT Perkebunan I, kami pernah tinggal di Aceh Tengah, tepatnya di Lampahan, ibukota kecamatan Timang Gajah, yang berada di jalan Raya Bireuen Takengon, 25 Kilometer menjelang kota Takengon. Sejauh-jauhnya mata memandang, kita hanya melihat pohon-pohon pinus yang tinggi dan lebat yang diolah di pabrik (kilang) yang berada di Kota Lampahan. Pohon Pinus secara periodik dicangkul batangnya untuk diambil getahnya (seperti dideres pada tanaman Karet), selanjutnya dikumpulkan pada bak-bak pengumpul di Afdeling-afdeling oleh karyawan perusahaan untuk diambil oleh truck-truck Getah, dan dibawa ke Pabrik. Getah pohon pinus yang disebut dengan Balsem itu, selanjutnya diolah dipabrik menjadi Minyak Terpentine dan Damar. Olahan minyak Terpentine dan Damar dimasukkan dalam Drum dan Kotak Kayu khusus untuk dibawa ke pelabuhan Lhokseumawe ke tempat tujuan sesuai dengan order yang dilakukan oleh PT Perkebunan I. Hasil dari konsesi dan pengelolaan pohon Pinus ini diperkirakan telah memberikan kontribusi yang besar bagi pendapat negara, pemerintah daerah, dan tentunya karyawan perusahaan perkebunan, serta masyarakat setempat.
Tetapi, sejak tahun 1980-an, konsesi pengelaolaan perkebunan Pinus itu sudah dialihkan (dijual?) ke perusahaan swasta, kalau tidak salah namanya PT Alas Helau, yang selanjutnya melakukan penebangan terhadap pohon-pohon pinus tersebut untuk dikirim dan diolah menjadi bahan kertas bagi pabrik kertas yang ada di Aceh Utara (Lhokseumawe). Sejak saat itu, dan sampai saat ini (2010), kondisi perkebunan Pinus di dataran tinggi Gayo (Aceh Tengah) sungguh sangat memperihatinkan. Sebagian wilayah tersebut saat ini dapat dijatakan sudah gundul akibat penebangan yang tidak diikuti oleh penenaman kembali. Pohon Pinus yang menjadi kebanggaan dan penyangga hutan, kini tidak lagi berdaya. Yang kurang dimengerti adalah, siapa menjadi penanggung jawab wilayah konsesi perkebunan itu saat ini? Banyak tanah-tanah yang sudah beralih fungsi, atau mungkin diserobot untuk kepentingan lain.
Memandang masa depan dataran tinggi Gayo sebagai wilayah perkebunan, pertanian, dan wisata yang andal, situasi pohon Pinus yang semakin minim ini perlu kita antisipasi. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah penting untuk menyelamatkan hutan dataran tinggi Gayo. Kecuali kita tidak ingin meninggalkan apapun kepada anak cucu kita.
Saya selalu ingat ketika guru kami di kelas V SD Negeri II Lampahan mengajarkan lagu daerah ini yang sangat terkenal, Tawar Sedenge yang sebagian liriknya seperti ini;
Engon ko so tanoh Gayo Si megah mu reta dele (lihatlah tanah Gayo yang terkenal dengan harta yang melimpah).
Rum batang uyem si ijo, kupi bako e (dengan batang pinus yang hijau serta, kopi dan tembakaunya).
Pengen ko tuk ni korek so Uwet mi ko tanoh Gayo
Seselen pumu ni baju, netah dirimu
Enti daten bur kelieten Mongot pude deru Oya le rahmat ni Tuhen,
ken ko bewen mu
Uwetmi ko tanoh Gayo Semayak bajangku Ken tawar roh munyang datu,
uwetmi masku
Ko matangku si mu mimpim Emah uyem ko ken soloh Katiti kiding enti museltu,
i lah ni denedan seterusnya.
Saya jadi teringat ke guru-guruku di SD Negeri II Lampahan, Bapak Kepala Sekolah dan Wakilnya, Pak Abdul Mutholib dan Pak Kasman, guru kelas V dan kelas VI, Ibu Nursyiah dan Ibu Siti Ali’ah. Juga para guru di SMP Perkebunan Lampahan, Bapak Ara Djoeli (almarhum, Guru Bahasa Indonesia dan Kepala Sekolah), Bapak Teruna Jaya (Guru Sejarah dan Olah Raga), Bapak Nurizal Anaz (Guru Aljabar), Bapak Kamaluddin Bsc (Guru Bahasa Inggris), Ibu Latifah (guru PKK dan Kesenian), Bapak Yunus (Guru Agama), Bapak Kadir (Guru Ilmu Ukur).They are all Great!
(totozurianto.blogspot.com)