Horas Café, Kopi Gayo ala Batak

Oleh: Arief Rahman*

MENEMPATI kios berukuran 12 meter persegi dan memanfaatkan trotoar untuk pengunjung, Horas Café mampu mengumpulkan hingga Rp.2,5 juta perhari. Menawarkan cita rasa kopi Gayo, pria asal tanah batak ini sukses memikat para penikmat kopi.

Kios ukuran 4 kali 3 meter itu memang kecil. Terselip dalam deretan kios di sepanjang jalan yang memang tidak begitu ramai lalu lintasnya. Dua buah meja fiber dengan masing-masing tiga buah kursi pelastik berwarna merah berada di bagian dalam kios.

Di sudut kanan depan kios bagian dalam, satu unit mesin roaster kopi terpasang dengan kokoh. Beberapa selang besar terbalut alumunium foil terulur ke luar. Sebuah kotak kaca berisi pecahan-pecahan kecil rupiah, kotak sumbangan, berada di depan roaster, hampir menempel.

Sebuah meja bar terpajang membelah bagian tengah kios, memisahkan meja, roaster, dengan lemari pajang dan meja dapur. Membagi dua ruangan yang sudah kecil tersebut, menjadi terlihat sempit. Dalam kondisi normal, tampilan ini kemungkinan akan membuat kita jenuh dan bosan.

Namun sang pengelola memiliki trik jitu untuk mengurangi kesan sempit dan sumpek. Spanduk berukuran besar dengan warna yang lembut terpajang di dinding kanan dan kiri kios. Tulisan besar dengan logo yang khas menjadi pemanis spanduk tersebut.

“Kedai Kopi Gayo, Horas Café”. Itulah kata yang tertulis di spanduk, dengan biji kopi menjadi pengganti huruf O di kata horas sekaligus menjadi logo. Kios ini menjadi terlihat lain dan memaksa siapapun yang melintas Jalan Sengeda, Pasar Inpres, Kota Takengon, Aceh Tengah, untuk sekedar meliriknya.

Horas adalah salam khas suku Batak dan menjadi ciri tersendiri bagi warga Sumatera Utara. Sama seperti Aloha di Hawai. Dan kata itulah yang ditabalkan pengelola café Horas yang berada di Pasar Inpres Takengon ini, untuk menunjukkan jati dirinya.

Dari luar, terlihat tiga buah meja dengan masing-masing tiga kursi tersusun di trotoar yang memanjang di depan kios-kios yang bersebelahan dengan Horas Café. Sebuah tenda gaul berwarna biru berdiri di depan kios, menggunakan badan jalan dan menutupi plang merk café yang berada di bagian luar atas kios.

“Hanya kalau malam kita gunakan tenda ini. Kalau siang hari tidak. Mengganggu pengguna jalan,” kata Abdi Manulang, pria perantauan asal tanah batak yang mulai membuka usaha tersebut sejak 10 Juni 2012 lalu.

Abdi Memang Cerdik.

Agar kafenya tak terlihat sumpek dan mengurangi daya tarik pengunjung, dia menata ruangan kecil tersebut sedemikian rupa. Tak hanya hiasan merk café di kedua sisi dalam kios, dia juga menyusun beragam kopi racikannya di lemari pajang yang tergantung di dinding bagian belakang kios.

Bak ruang pamer, outlet tersebut menunjukkan kepada pengunjung apa saja jenis kopi yang yang ada di Tanah Gayo. Dalam toples berbagai ukuran berisi biji-biji kopi yang terpajang di situ, Abdi menuliskan jenis-jenis kopi.

Kopi Luwak, King Gayo, Loong Berry, Pea Berry, Washed Kopi, Arabika Gayo dan Arabika Ampera. “Semua kopi lokal dari Tanah Gayo,” kata Abdi, yang sudah menetap di dataran tinggi Gayo ini sejak tahun 1983 dan telah menikah dengan wanita setempat. “Sudah dikarunia empat anak,” kata Abdi.

“Pajangan kopi yang ada di outlet tersebut yang membuat saya tertarik untuk singgah. Tampilannya yang artistik membuat kita harus mampir. Dan aroma serta cita rasa segelas kopi espresso yang langsung digiling kala kita pesan, memaksa kita untuk kembali lagi,” kata Roni, pengunjung yang datang dari Banda Aceh.

Abdi dan empat pramusajinya memang tak hanya mengandalkan hasil dari sajian kopinya. Roaster (alat penyangrai kopi) yang terpajang di kiosnya sesekali digunakan untuk menyangrai dan menggiling kopi milik warga.

“Hanya sesekali. Yang selalu kita pakai untuk mengolah kopi kita sendiri. Kita beli dari warga, kita olah langsung dari mulai green bean (biji hijau) hingga menjadi bubuk kopi siap saji,” kata Abdi, sambil sesekali meneruskan kerjanya, menghitung pemasukan hari itu.

Dengan modal awal hampir Rp.160 juta, termasuk Rp.110 juta untuk membeli roaster, Abdi pun memulai usahanya. Setelah enam bulan bejalan, kini dia bisa menghitung untung. Rp.2,5 juta perhari masuk dalam buku keuangan harian Horas Café.

“Rata-rata sebulan bisa mencapai Rp.20 juta keuntungan bersihnya,” kata Abdi, dalam obrolan santai dengan Ariefara, Minggu sore 16 Desember lalu di cafenya. Hasil itu telah dipotong untuk gaji empat karyawannya, rekening listrik, air, pajak dan pengeluaran lain.

Café ini memang unik. Sebab, hanya di tempat itulah pengunjung tahu cara pengolahan kopi dari biji hingga siap minum. “Cuma di sini yang ada rosting kopi di café,” kata Abdi sedikit membanggakan diri.

Bukan tak punya niat untuk pindah di tempat yang lebih besar. Namun Abdi yang menjadikan alasan ‘menjual kopi tidak ada basinya’ menginginkan ’Horas Café’ dikenal dulu.

“Kalau sudah dikenal luas, baru kita buka di tempat yang lebih besar dan lebih santai,” kata pengusaha yang juga menjual bubuk kopi kemasan dengan merk “Horas Coffee Gayo” ini.

“Masih untuk konsumen lokal. Belum kita pasarkan ke luar Aceh. Pernah coba ke Medan, namun karena kebanyakan orang Medan bukan penikmat kopi, ya kurang jalan. Makanya di Medan kita hanya membuka cabang warung kopinya saja tanpa memasarkan kopi bubuknya,” kata Abdi menambahkan.

Masih kecil-kecilan, Abdi Manulang hanya membeli sekitar 20 kilogram biji kopi dari masyarakat untuk diolah menjadi bubuk kopi ‘Horas Coffee Gayo’, dengan harga jual Rp.60 ribu perkilogram.

Terlepas dari apapun, pria yang mengawali usahanya di tanah Gayo dengan membuka usaha ekspedisi khusus mengangkut kopi ini, kini sedang menikmati hasil jerih payahnya yang tak bergeser jauh dari kopi.

Sukses terus Lae Manulang.!(aditya_tsunami[at]yahoo.com)

*Pemegang Kartu Wartawan Utama PWI Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. JAGO JUO KESEHATAN DA… JANGAN SIBUK DI KOPI GAYO SAJO
    KIRIMKAN SAKALI-SAKALI KOPI MANTAP TU…
    PARLU DI PASANG DI CAFE TU OTOMATIS GENSET?
    SELAMAT DAN SUKSES SELALU
    DARI DIWATMAN KAMPUNG MERDEKA