Usianya belum 50 tahun, berat badannya juga tidak sampai 60 kilogram. Namun rambutnya mulai putih. Kalau dilihat sekilas, bagai tidak memiliki “kekuatan”. Namun ketika dia bersuara, dan menunjukkan karyanya, khususnya dalam membela Gayo, banyak pihak yang memperhitungkannya.
Untuk mengangkat semen lima sak, atau mengangkat kopi satu karung sesuai berat badannya, ia mungkin tidak punya kekuatan. Tapi kalau disuruh menulis, nah “itu kekuatan”-nya. Tulisannya tajam, kritikannya pedas, tidak peduli berbenturan, bila menyuarakan kepentingan Gayo. Namun dibalik tulisannya yang menggigit, lelaki itu tidak pelit dengan ilmu. Siapa saja yang mau bersama-sama “mengail” kedalaman penulisan, dia siap berbagi.
Itulah sekilas sosok Bahtiar Gayo wartawan senior di Aceh Tengah yang meraih predikat terbaik saat dilangsungkanya ujian kompetensi wartawan se Aceh baru-baru ini.
Menghadapi Gayo yang diamuk gempa, banyak pihak yang merindukan tulisannya. Bahkan ada yang sampai menitikan air mata, saat membacanya.
Bagi wartawan junior, kehadiran wartawan Waspada ini , di posko media gempa gayo, persis di depan Kantor Bupati Aceh Tengah, membawa kesan sendiri buat wartawan-wartawan. Aman Iqoni RS ini, bukan hanya tegas dalam mengedit berita teman-teman junior. Namun memberikan masukan, bagaimana membuat dan menyajikan berita agar menarik dibaca.
“Enti lagu oya. Selo gure ibaca. Ibarat masam jing kegere ara powa rum asam, selo murasa idelahte. Jangan seperti itu. Mana enak dibaca. (Ibarat masakan asam pedas, kalau tidak ada garam dan asam, mana terasa di lidah),” sebut Bahtiar, ketika mengedit berita Iwan Bahgia, wartawan RRI di posko media.
Pesan panutan wartawan di Gayo ini, terasa di bathin penulis. Bahkan ketika dia memainkan leptop merangkai kata menjadi kalimat, wartawan di posko yang menyaksikannya melepaskan decak kagum. Bukan hanya cepat dalam membuat tulisan, namun diksi kata dan ekonomi kata digambarkannya.
Bahkan, ketika dia memegang leptop sedang membuat tulisan, ada wartawan lainnya yang minta diedit tulisannya, dia meningalkan leptopnya. Memperbaiki tulisan yang disodorkan. “Kalian sudah belajar pada pakar pers di Aceh Tengah. Lagi ada kesempatan berkumpul seperti ini, pergunakanlah,” pinta Muhammad Syukri, MPd, Pj. Kadis PU Aceh Tengah, saat wartawan di posko hiruk pikuk membahas keadaan terahir paska gempa.
“Bang tetahpe tulisenni. Hanahe si kurang,” sebut penulis. Walau sedang mempersiapkan tulisan untuk Waspada, pria kelahiran Takengen, 15 Desember 1968 ini, meninggalkan leptopnya. Membaca, mengedit dan menyarankan penulis untuk menambah bahan agar tulisannya menjadi indah.
Tetapi bila bercerita prinsip, Bahtiar Gayo, tegas di atas jalurnya. Namun tidak kaku, dia bisa elastis dan memahami keadaan. Namun ketika berbicara dalam membela kebenaran, khususnya buat tanah tembuninya, dia mau bersitegang.
Sikap itu ditunjukkanya ketika mengkritisi sikap Gubernur Aceh, Zaini Abdullah saat menangani masa tanggap darurat musibah gempa Gayo. Dalam pertemuan resmi itu, Bahtiar Gayo dengan tegas menanyakan ke gubernur, mengapa SKPA yang dijanjikan bertempat di Gayo, justru tidak pernah hadir. Mengapa gubernur tidak menyiapkan dana tanggap darurat dalam paket Dana Siap Pakai (DSP), tetapi justru dijadikan gubernur sebagai paket proyek.
Mendapat pertanyaan ini, gubernur terdiam dan tidak memberikan jawaban. Demikian ketika dilangsungkan temu pers dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), manager klub Kambar FC ini, kembali menunjukkan “taringnya” walau segi postur tubuh terlihat kecil.
Falsafah hidupnya sederhana. “Selagi ada umur jangan simpan ilmu di dada, tetapi bagilah. Berat tanggungjawabnya dengan Allah bila ada ilmu, namun tidak dibagi. Membagi ilmu itu indah, semakin dibagi bukan semakin hilang, namun semakin meresap di dada,” sebut Bahtiar Gayo.
Sikapnya yang tegas, bukan menjadi halangan buat junior untuk berbagi ilmu. Ternyata sosok lelaki yang gemar catur ini, manusia yang tergolong kocak. Tidak pilih keadaan dan teman. Tidur di Posko, merasakan bagaimana penderitaan sesama wartawan, makan apa adanya, serta bercanda, merupakan bagian sisi sifatnya.
Kemampuan menulisnya tidak disimpannya, khususnya kepada mereka yang mau “berbagi”. Namun dia juga enggan menonjolkan diri dengan kemampuannya. Tetapi ketika mengritik, dia tidak peduli kepada sesama pers. Wartawan itu juga manusia, ada kesilapan. Namun itulah gunanya kita bersama, satu tujuan untuk menyuarakan Gayo. Bila ada kesalahan, maka wajib kita sesama memperbaikinya. Jangan mengangap diri super.
Gayo tidak akan dikenal orang bila tanpa wartawan. Namun yang perlu diingat, wartawan juga manusia, jangan hanya pandai mengkritik orang lain, namun ketika giliran kita yang dikritik orang, kita tidak terima. Itu bukan wartawan yang profesional.
Menurutnya, melihat perkembangan saat sekarang ini, Gayo memiliki wartawan muda yang potensial. “Bukan umur yang menentukan seseorang wartawan itu profesional. Namun kemampuan dan karya wartawan itulah yang menentukan seseorang itu profesional. Yang muda di gayo harus bangkit,” terang Bahtiar yang rokoknya sering “diserang” wartawan lainnya.
Tubuh yang kecil, bukan ukuran untuk melihat karya seseorang. Bahtiar Gayo sudah membuktikan, walau posturnya kurus, terbilang kecil, namun karyanya sering menggegerkan Aceh. Semoga muncul Bahtiar Gayo yang lainnya dari bumi Linge ini. (Zan KG/LG12)
Mantap PAK
kalau bukan orang gayo menyuarakan suara rakyat gayo siapa lagi,, ayoo lintas gayo menulislah terus semi gayo….
lanjutkan
(y)
guru jurnalistik
Gere cocok ya bang, door itetut ne aku asal maen dam iposko. wkwkkw