Oleh : Vera Hastuti, M.Pd
Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November 2013, baru saja berlalu. Momen ini seharusnya dapatlah menjadi media refleksi untuk kita merenung kembali hakikat menjadi seorang guru. Seorang guru akan selalu dikenang dan dihormati apabila kehadirannya bermanfaat bagi orang lain dan tingkah laku serta ajarannya memiliki nilai semangat yang besar terhadap anak didik dan masyarakat.
Dalam bahasa Sansekerta guru yang juga berarti guru, tetapi arti harfiahnya adalah “berat” adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam agama Hindu, Gu artinya gelap, Ru artinya mengusir. Menurut ajaran ini guru merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Jadi secara etimologis dapat dikatakan jika guru artinya mengusir gelap dengan pengetahuan atau wawasan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
McLeod, (1989). Salah satu tokoh pendidikan, berasumsi bahwa guru adalah seseorang yang pekerjaanya mengajar orang lain. Kata mengajar dapat kita tafsirkan misalnya :Menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif). Melatih ketrampilan jasmani kepada orang lain (psikomotorik). Dan menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (afektif).
Dalam proses pendidikan, guru menempati posisi penting dan sentral. Berhasil tidaknya proses transfer ilmu (kepada anak didik) dalam kegiatan belajar mengajar ditentukan salah satunya oleh guru. Oleh karenanya peran besar guru harus ditopang dengan kinerja dan pengetahuan serta kreativitas yang dimiliki guru itu sendiri.
Dalam realitasnya, profesi guru banyak menjadi alternatif terakhir ketika pekerjaan lain tidak bisa didapatkan. Sehingga profesi yang dipilih dengan tujuan agar tidak menganggur dan mengisi waktu tersebut berimbas besar pada kualitas dan kinerja guru. Menjadi guru, bukan hanya perihal mengajar dalam kelas, kemudian lepas tanggung jawab di luar kelas. Guru bukan hanya bisa mengajar, tapi juga harus mampu mendidik siswanya. Guru yang baik adalah guru yang mampu mendidik murid-muridnya bersikap dewasa, memiliki nilai individualitas, moralitas, dan sosialitas dalam kehidupan.
Menjadi guru dengan panggilan hati, pasti akan menjadikan seorang guru tersebut mencintai pekerjaannya. Sehingga, tidak mengajar dengan setengah hati. Bagi guru yang bermental sepenuh hati, mengajar adalah panggilan jiwa untuk memberikan pengetahuan dan semangat kepada anak didiknya. Sedangkan, bagi yang bermental separuh, menjadi guru hanya perihal menerima gaji di awal bulan dan tidak berkeinginan untuk mengembangkan dirinya untuk memberikan perubahan dan pencerahan kepada anak didik dan masyarakatnya.
Sesungguhnya, menjadi guru adalah sebuah misi yang penuh dengan moralitas dan idealitas. Menjadi guru harus punya panggilan hati untuk mendidik, panggilan untuk merubah dan mencerahkan. Menjadi guru haruslah lahir dari idealisme, dari dasar batin untuk mendidik anak-anak bangsa. Tanpa adanya panggilan hati, perbuatan mendidik anak bangsa, hanya ibarat tugas pokok rutinitas . Guru yang mengajar tidak berlandaskan panggilan hati, hanya bekerja setengah-setengah dan asal-asalan. Ilmu yang diajarkan dan tingkah laku yang ditunjukkan guru pada anak didik, sebenarnya, muncul dari hati nurani yang dalam.
Seorang guru ataupun calon guru, haruslah wajib menyadari posisi dan pekerjaannya sebagai amanah, tugas suci, dan misinya sangat sakral. Jadilah guru dengan panggilan hati, yang lebih mengutamakan pengabdian tulus, tanpa syarat, tidak dengan embel-embel materi. Sebab, jika pengabdian seorang guru dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, akan memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan transfer ilmu kepada anak didiknya. Dengan ketulusan hati, seorang guru akan dapat menjadi penuntun jalan bagi anak didiknya, sebagai pengarah kepada proses pencerahan umat manusia. Karena sejatinya, guru merupakan penggerak dan penuntun jalan agar anak didik dapat menjadi manusia seutuhnya, lahir dan batin, rohani dan jasmani, dunia dan akhirat dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusian .Walaupun gelar yang terpatri padanya adalah “pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.
Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Takengon
Alamat: Jalan Sengeda Takengon