Gerombolan Fasis Perusak Demokrasi di Aceh

Oleh : Ghazali Abbas Adan

Kebetulan suara yang menyatakan Aceh gagal dalam berdemokrasi keluar dari mulut Dr Husaini Hasan, salah seorang tokoh sentral MP GAM dan salah seorang deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976 (Theglobejournal.com, 6/4). Memang faktanya demikian.

Demokrasi dengan bahasa sederhana didefinikan dari, oleh dan untuk rakyat yang dilaksanakan dan berlangsung sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi di Aceh, khusushya di pantai timur tidaklah demikian. “5-P”  yang merupakan biangkeladi kekacauan dan kehancuran demokrasi di Aceh dengan pongah dipertotonkan kaum mufsidin gerombolan fasis bersamaan dengan proses dan pelaksanaan hajat demokrasi, seperti yang terjadi dalam pilkada 2012 lalu.

“5-P” yang saya maksud adalah, pertama, PEU-YO, yakni menakut-nakuti, intimidasi dan teror terhadap sesama kompetitor dan masyarakat, baik fisik maupun psikis. Dalam hari-hari yang sejatinya tenang, anjing herder (asee peulasoun) berkeliaran di desa-desa menggonggong rakyat niscaya memilih partai/kandidat yang didukung anjing herder itu, dan rakyat dihantui rasa takut menentukan pilihan sesuai hati nurani.

 Kedua PEUREULOH, yakni pengrusakan terhadap alat-alat peraga/pendukung pemilu, seperti baliho, spanduk, bendera. Juga kantor, posko, rumah, kebdaraan dan lain-lain. Ketiga, PEUNGEUT, yakni melakukan manipulasi suara di TPS, baik saat perhitungan, maupun pencoblosan lebih dari satu kali. Demikian pula mencoblos kertas suara lebih karena pemilih sah tidak mendapat undangan dan/atau tidak datang ke TPS.

 Modus operandi batil lainnya adalah meneror para saksi kontestan niscaya tidak berani hadir di TPS, dan kalaupun tetap nekat datang, namun dibuat takut untuk bersuara dan bersikap, sehingga gerombolan fasis itu sesukanya menghitung dan mencatat hasil perhitungan suara. Keempat, PENG, yakni dengan rupa-rupa dalih dan modus operandi menebar fulus dan dalam bentuk benda lain niscaya mendapat dukungan rakyat.

Kelima, POH-MUPOH, yakni agar mendapat dan memuluskan menjadi calon serta memperoleh kemenangan, langsung atau tidak langsung, menganiya, menumpah darah atau membunuh manusia.

Terhadap perilaku “5-P” tersebut, tidak harus menjadi ahli hukum atau teungku, apalagi ulama, rakyat jelatapun tahu, ia adalah bertentangan dengan doktrin demokrasi, sekaligus haram menurut pandangan syari’at Islam.

Fasisme Kembali Lagi

Sekaitan dengan pemilu legislatif 2014 ini perilaku fasistik kembali dipertontontonkan. Laporan media massa lokal dan nasional merupakan bukti nyata betapa gerombolan barbarian fasis jahiliyah telah menunjukkan eksistensinya, merusak, meneror dan membunuh. Mengeluarkan kata-kata ancaman, seperti kalau begitu, tidak begini akan ada lagi huru hara, perang, kekacauan, dan ada warga negara yang harus diusir dari bumi Aceh. Bahkan muncul “fatwa-fatwa” sesat. Seumpama, berdasarkan wasiat Allah, wasiat nabi dan wasiat endatu ada partai yang wajib dan haram dipilih.

Dengan “fatwa” demikian seakan-akan dapat dipahami betapa dalam al-quran dan hadis sudah terdapat nama partai yang wajib dan haram dipilih. Na’uzubillah. Betapa nafsu memburu tahta dan harta membuat budak nafsu itu kesurupan, sehingga dari mulutnya keluar ungkapan sesat dan menyesatkan demikian.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, hanya orang ediot, bebal dan buta mata hati yang masih menafikan demokrasi di Aceh tidak gagal, dan dalam waktu yang bersamaan enjoi dengan perilaku gerombolan fasis di bumi  syari’at Nanggroe Aceh Darussalam, yakni nanggroe yang sejatinya aman, damai, beradab, bertamaddun, toleran, tidak ada kazhaliman dan kebencian (laa zhulma walaa makruuh).

Memuakkan dan Memalukan

Berbeda dengan manusia bebal, dan buta mata hati, setiap manusia beradab, bertamaddun, apalagi bersyari’at pasti muak dengan perilaku babar, jahiliyah fasistik itu, sekalian malu. Dengan demikian, apabila ia sebagian kompetitor pasti muak dan malu berperilaku demikian. Dia memiliki harga harga diri, apabila kursi legisliatif merupakan tempat terhormat, maka proses mendapatkannya ditempuh dengan cara-cara terhormat serta diapun pantas dihormati. Juga muak dan malu apabila ia mendapat kursi kemenangan berkat peran dan jasa gerombolan fasis jahiliyah.

Sebagai rakyat yang hidup dan tinggal di bumi Aceh Nanggroe Syari’at, juga pasti muak dan malu. Apa kata dunia, di Nanggroe Syari’at yang bertamaddun, mulia, bermarwah dan meusyeuhu ban sigom donya, tetapi dalam suasana pesta demokrasi dengan pongah dibikin kacau dan dikotori gerombolan fasis jahiliyah itu. Na’udzubillahi min dzalik.

Wassalam

Ghazali-Abbas-Adan-289x217-customGhazali Abbas Adan

Anggota MPR/DPR-RI 1992-2004

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.