Oleh: Feri Mahdi Selian*
Aku tak pernah berniat meninggalkanmu.
Sumpah, setiap keputusan yang kubuat tak pernah kusadari. Selalu gegabah. Sampai hingga ketika pagi itu engkau bersedia meninggalkanku, aku bingung entah bagaimana. Aku kehilangan segalanya yang seharusnya bisa kugenggam, tapi tak kugenggam. Kau selalu menyodorkan dirimu untuk kugenggam, tapi aku seakan takut menggenggammu. Dan kutolak untuk menggenggammu.
Berkali-kali kau datang setelah berkali-kali kau kutelantarkan. Hatimu yang mulia telah kuning keriput karena sangat sering menangis. Kesetiaanmu yang luar biasa telah mengalahkan legenda-legenda cinta Laila dan Qais atau legenda cinta Romeo dan Juliet. Tapi kesetiaan itu kuabaikan seperti mengabaikan ludah yang sudah kubuang.
Kesetiaanmu sangat sering melelehkan air matanya di pangkuanku dan merebahkan impiannya di hatiku, tapi kuhempaskan hingga kau tercampak membentur tiang penyangga rumahku. Kau terdiam meringkuk sejenak dalam tangismu yang begitu hebat. Kau tak berkata-kata karena takut membuatku semakin marah dan tak bersedia lagi menerimamu.
Lalu cintamupun datang sambil membawa beribu-ribu bukti yang tak terbantahkan. Tapi hatiku yang tak peduli dan penuh kesombongan ini mencelanya. Menyumpah serapahinya. Dan meneriakinya dengan sangat kejamku.
“Bohong!”
“Bohong! Cintamu tak pernah untukku. Cintamu palsu penuh tipuan. Cintamu penuh dengan perselingkuhan dan kucing-kucingan. Kau tak pernah mengharapkanku. Kau tak pernah menyimpan namaku dihatimu. Kau hanya ingin sebuah nama yang kau sematkan di belakang nama anakmu nanti. Kau busuk. Bohong. Dusta.”
Cintamu terus meyakinkanku tanpa lelah. Cintamu tetap berdiri didepan hidungku yang kembang kempis merona merah dengan mata yang nanar seperti menatap musuh bebuyutan yang sudah sangat kudendami. Tapi cintamu membalas tatapanku dengan pandangan sayu penuh harapan. lalu cintamu meraih tanganku dan meletakkannya tepat didadanya. Dapat kurasakan detakan jantungmu yang menggebu. Dapat kurasakan kesetiaan yang luar biasa disana. Kuhentakkan tangannku segera setelah kutahu betapa besar cinta itu. Kau terhuyung karenanya.
“Lihatlah mataku, sayang.”
“Lihatlah kedalam sini. Lihatlah hatiku. Lihatlah betapa dia tak pernah diisi oleh siapapun kecuali namamu. Lihatlah ukiran-ukirannya. Takkah kau bisa mengenali wajahmu lagi? Lihatlah garafiti-grafiti indah itu, bukankah itu ukiran nama kita? Lihatlah, kekasihku.”
“Lihatlah aku, sayang. Kedalam sini. Rabalah lebih dalam. Selamilah lebih dalam lagi, periksalah hatiku ini. Perhatikan segalanya. Ini hanya milikmu, kekasihku. Ini untukmu.”
Aku menitikkan air mataku sesaat. Sesaat kemudian keangkuhan muncul lagi. Sesaat kemudian semua tak dapat kuingat lagi. Sesaat kemudian bibirku hanya miliki satu kata yang mengiris-iris.
“Bohong!”
“Bohong!”
“Bohong!”
Cintamu memegang dadanya lalu pergi keluar dari teras rumahku, berlari kearah sungai yang sering kita kunjungi. Aku tahu apa pastinya yang kau kerjakan disana. Tempat dimana kita menghabiskan hari-hari kita sambil bercerita di tepi sungai itu. Tempat dimana kau sering merebahkan cintamu diatas pangkuanku sambil mengulang kata-kata cinta beribu-ribu kali. Tak bosan. Tak jemu bahkan aku juga. Cinta kita saat itu sangatlah luar biasa. Dan kau akan mengenang masa lalumu disana. Diatas sebuah batu. Dibawah sebuah pohon. Ditepi sungai yang airnya jernih beriak lembut.
Kesetiaanmu menundukkan kepalanya. Menatap kearahku yang entah bermuka apa. Lagi-lagi meneteskan air mata yang entah keberapa kalinya. Lagi-lagi tersedu dan tersedan. Sebenarnya ada rasa iba di hatiku. Tapi saat ini sangat sedikit. Sangat tidak dapat kutimbulkan. Seperti perasaan cinta yang kumiliki, kurasa dia besar, namun dia berada dikedalaman entah berantah yang tak dapat kudeteksi saat ini. Sangat didominasi kebencian yang entah muncul dari mana.
“Takkah cukup bukti-bukti yang dimiliki cinta, kekasih?” tanya Kesetiaanmu dengan muka basah berbasuh air mata.
Aku diam saja.
“Apa sudah tertutup pintu hatimu untuk melihat kebenaran cinta murni yang ada didasar dada? Lihatlah betapa suci cahaya cinta itu. Betapa polosnya dia, tak mengenal kedengkian dan pengkhianatan. Betapa dia hanya mengenal sebuah pengabdian kepada cinta yang mungkin akan memberinya segala hal lebih dari segala-galanya.”
Ataukah harus binasa karena cinta? Itu tak masalah baginya. Selagi dia bisa merasakan seteguk saja dari cinta itu. Apakah ini yang disebut dengan cinta buta? Apakah ini yang disebut dengan kegilaan cinta yang muncul tanpa bisa diterima oleh akal sehat? Yang ribuan kepala professor akan dibuatnya menggeleng bila dihadapkan pada penyelesaian tragedi cinta? Berlebihan! Tapi inilah fakta yang mesti disadari.
“Kau sombong, kekasih! Kau tak bisa sedikitpun mendengarkan hati kecilmu yang beku itu. Entah terbuat dari apa hatimu itu, kekasih. Kau sebenarnya bukan manusia. Kau hanya seperti binatang yang tak berperasaan. Bahkan kau lebih buruk.”
“Terserah apa katamu!”
Kesetianmu menamparku sangat keras. Membuat hatiku terhuyung dan aku menatap kearah pintu lalu kejalan setapak menuju sungai.
“Bila kau manusia, kejarlah dia!”
“Tak akan,” ucapku.
Kesetiaanmu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memukul-mukul jidadnya beberapa kali. Aku tetap tak bergeming. Karena aku tahu kesetiaanmu akan tetap berada bersamaku. Ah, itulah bentuk kesombongan itu. Sudah sangat tampak dan mulai kusadari.
Bila aku boleh bercerita, itulah kesetiaan yang paling indah sebenarnya.
Kesetiaanmu berbisik kepadaku. Aku sebenarnya ingin mengelak. Tapi, aku tak lakukan. Aku diam dan mendengar apa yang dia katakan. Kesetiaanmu berbisik serindai kepadaku. Aku geli terkena hembusan nafas kesetiaanmu yang membuatku seakan semakin marah. Tapi sekali lagi, biarlah kudengarkan saja.
“Kau tahu apa yang dia katakan pada Romdan pagi tadi, kekasih?”
“Apa?”
“Kau mesti tahu ini. Dan kau tak akan percaya kalau Romdan itu adalah orang yang kedelapan. Anak juragan pula. Kau dengarlah ceritaku ini.”
“Tak perlu kau bercerita panjang lebar. Katakan saja yang terpenting. Apa yang dia katakan?”
“Baiklah, pagi tadi Romdan datang beserta empat orang pengawal bapaknya, juga bapaknya. Mereka membawa hadiah begitu banyak. Dan kau tahu apa yang mereka inginkan? Mereka ingin mempersunting cinta. Mereka ingin mengambil Cinta yang selama ini hanya mengharapkan tubuhnya bersatu dengan tubuhmu untuk menjadi istrinya. Dan kau pikir cinta tergiur, kekasih?”
Kesetiaanmu mencoba menerobos blokade kebencian dihatiku yang telah berlumut dan pagar kebusukannya telah berkarat.
Dan tak bisa.
Tak pernah bisa dan selalu saja seperti angin yang berhembus membawa bebauan tahi yang tak kusukai. Ah, kurasa bau itu lebih kusukai daripada bau Cinta yang kuanggap palsu itu.
“Besar juga dustamu, kesetiaan!” bentakku.
“Aku tak berdusta. Aku berkata benar.”
“Aku tak disana. Dan aku tak menyaksikan penolakan yang kau anggap luarbiasa itu.”
“Mestikah kau selalu disana dan menyaksikan?”
“Mesti!”
Kesetiaanmu mengurut dadanya untuk kesekian kalinya. Dan aku memalingkan wajahku dari kesetiaanmu yang selalu berusaha tegar. Setegar mungkin yang dia bisa.
“Entah bagaimana lagi cara meyakinkanmu, kekasih.”
“Kau tak perlu membuatku yakin. Aku tak ingin untuk yakin.”
Kesetiaanmu memalingkan wajahnya. Menatap kearah gunung yang tak pernah beranjak itu. Ke arah gunung yang katanya ikut berjalan dan berputar bersama perputaran bumi yang sama sekali tak kulihat putarannya. Dan aku kembali pada keangkuhan dan gemelut perasaan yang kutanggung.
Pagi, siang dan malam berlalu berkali-kali. Pulang pergi berkali-kali. Dan aku tetap pada kebencian, diikuti oleh kesetiaanmu yang tak pernah bosan.
Ketika hari-hari itu berlalu, tak secuilpun cinta itu muncul ke permukaan dan menyapa kenyataan. Dan akupun tak ambil pusing dengan semua kebisuan itu. Tak ada lagi dirimu, cintamu dan kesetiaanmu. Dan disaat itulah kau muncul kembali didepanku.
“Bolehkah aku mendapatkan sedikit saja dari yang kau miliki, kekasih?”
“Apa lagi yang harus kuberikan?”
“Sedikit dari yang sudah sering kuminta.”
“Ah…”
“Aku paham, itulah hal mustahil yang paling tak mungkin kuberikan.”
Ah, itulah kerjamu yang paling kubenci selama ini. Menangis! Entah apa yang membuatmu sangat suka menangis? Naluri kewanitaan? Tak sepenuhnya kupercaya. Tak sepenuhnya wanita itu lemah dan selalu menangis. Berapa banyak dari wanita yang sangat perkasa dan menjadi pahlawan?
Terserahlah! Menangis saja. Itu tak akan mengubah apapun.
Tak cinta, tak juga rasa kasih. Apa lagi rencana-rencana emas yang kemilau yang pernah kau torehkan pada khayalmu itu.
Semua sudah pudar pada setiap hembusan hari yang cepat. Dan tak ada lagi tempat untuk itu. Tak ada lagi harapan yang dapat kau proleh dari bekunya hatiku ini. Bila kau seorang yang bijak dan tahu cara menghadapi situasi, sebaiknya kau pergi saja. Tapi, pada kenyataannya kau tetap bertengger pada kakimu yang menekuk memegang tanganku.
“Sudah cukup sedu sedan dan pengemisan yang sia-sia itu.” Ucapku pada cintamu dan juga kesetiaanmu yang tak ingin kutatap. Pantasnya lagi, tak sanggup untuk kulihat.
“Mengapa kau berkata begitu?” hidungmu memerang dan kembang kempis.
“Aku sudah tak punya apa-apa lagi dihatiku untukmu.”
“Takkah sebutir bibit cinta yang nantinya akan kusirami dengan cinta dan kesetiaanku?”
“Tak juga bibitnya.”
Kau merangkul lututku. Lalu menciuminya sambil meminta hal-hal klise yang sering sekali kau ucapkan.
“Aku sudah tak punya lagi.”
“Sedikitpun?”
Aku diam saja.
Kau melepas rangkulanmu dan duduk meringkuk. Lalu menatap ke arah yang sangat kita kenal, sungai dengan riak airnya yang lembut. Kau menarik nafasmu dalam-dalam dan menghembuskannya jauh-jauh. Seperti membuang rasa cinta jauh-jauh dan dia kembali lagi.
“Begitukah keputusan itu?”
Aku mengangguk dan memalingkan wajahku.
“Baiklah!”
Takengon, Aceh 7-7-2010
* Pencinta Sastra, Tinggal di Blang Kolak I, Aceh Tengah