Keadilan Dalam penegakan Hukum

Oleh :Datuk Haris Molana*

Datuk Haris Maulana

  Dengan adanya penegakan hukum yang saat ini menjadi hal terpenting untuk terciptanya suatu sikap tindak masyarakat yang respontsif memberikan dampak positif  bagi seluruh elemen masyarakat yang majemuk dalam berbangsa dan bernegara. Upaya yang  dilakukan oleh para penguasa untuk memberikan suatu wejangan kepada masyarakat untuk mematuhi apa yang telah dikehendaki agar terlaksananya keadilan  dengan sebaik-baiknya itu  tidak terlepas dari keinginan masyarakat itu sendiri.

Keadilan adalah nilai universal,  satu nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah  hak asasi bagi setiap manusia. Islam menghormati hak-hak yang sah dari setiap orang dan melindungi kebebasannya, kehormatannya, darah dan harta bendanya dengan jalan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara sesama.  Tegaknya keadilan dan kebenaran dalam masyarakat akan dapat mewujudkan masyarakat yang damai, sejahtera, aman, tentram, dan saling percaya, baik antara sesama anggota masyarakat, maupun terhadap pemerintah. Keadilan disini tidak terlepas daripada tanggung jawab para penegak hukum, Hukum disini itu mengandung pemaksaan (coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum tidak ada artinya bila perintahnya tidak dapat dilaksanakan.

 

Oleh karena itu, penegakan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum yang bertugas mengawasi dan memaksa agar hukum dilaksanakan (seperti: polisi, jaksa, dan hakim). Aparat penegak hukum diberi kewenangan yang diatur oleh hukum melalui peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum yang akuntabel akan memberikan suatu upaya dalam membentuk suatu keadilan dalam penegakan hukum itu sendiri, arti akuntabel disini merupakan pertanggungjawaban  kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian proses keadilan dalam menegakkan hukum itu harus dilihat dalam beberapa faktor diantaranya Faktor hukumnya sendiri, Faktor penegak hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, dan Faktor kebudayaan. Semua faktor inilah menjadi  penjelasan-penjelasan utama yang dapat ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.

 

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Bahwa pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tata-prilaku masyarakat tersebut mendukung tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yang tedapat dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yang intinya adalah : 1.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; 2. Memajukan kesejahteraan umum ; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ;

Manusia dan keadilan

            Berbicara tentang keadilan pada dasarnya semua itu tidak terlepas dari kata hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka  mau tidak mau kita wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan kerja tanpa merugikan orang lain. Jadi, Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan kesadaran etis, manusia dituntut tidak hanya menuntut hak dan melupakan kewajiban. Karena jika manusia hanya menuntut hak, sikap dan tindakan nya akan mengarah pada pemerasan dan memperbudak kepada sesamanya. Sebaliknya jika manusia hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut haknya maka akan mudah diperbudak dan diperas orang lain. Misalnya seorang buruh harian, beliau sehari-hari bekerja sebagai petani pemetik teh pada kebun orang lain. Sebagai pekerja tadi si petani secara langsung telah memiliki kewajiban nya yaitu harus memetik teh itu secara  tuntas. kemudian setelah beliau mengerjakan semua kewajibannya, maka disitulah terdapat hak daripada petani tersebut yaitu hak untuk mendapatkan upah dari hasil kerjanya tadi. Selanjutnya Menurut plato keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuaanya. Sedangkan, Aristoteles berpendapat keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama, dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama.  Maka dengan demikian keadilan dalam penegakan hukum itu harus membedakan antara  mana yang hak dan mana yang kewajiban.  Dalam islam Allah swt memerintahkan manusia bertindak adil, termasuk dalam memutus perkara dan memberikan kesaksian. Sangat penting sikap adil ini dilakukan oleh setiap manusia, apalagi pemimpin dan orang-orang yang terlibat dan bertugas dibidang peradilan, baik itu hakim, jaksa, polisi, pengacara, maupun saksi. Begitu pentingnya berlaku adil, maka Allah SWT menegaskannya dalam banyak ayat Al-Qur’an. Beberapa ayat dimaksud antara lain “Allah memerintahkan berbuat Adil, mengerjakan amal kebajikan, bermurah hati kepada kerabat, dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, munkar, dan kekejaman. Ia mengajarkan kepadamu supaya menjadi pengertian bagimu”.(Q.S An-Nahl/16:90) dan  “Hai orang-orang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi karena Allah, dan janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Maidah/5: 8). Sedangkan dalam dewasa ini keadilan sudah menjadi masalah universal, namun tidak menarik untuk diperbicangkan jika disbanding dengan masalah ketidakadilan. Karena dalam kenyataanya keadilan menunjukkan keragaman persepsi, implementasi ataupun upaya pemenuhannya. Keragaman semacam itu bisa jadi tidak akan ditemukan dalam ketidakadilan.

 

Ketidakadilan  dalam suatu masyarakat seringkali dibiarkan begitu saja oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Kendaati banyak teori membuktikan kalau ketidakadilan merupakan akibat logis dari suatu system yang berlaku, baik ekonomi, sosial, ataupun politik dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, berbagai praktik ketidakadilan ini sering ditolak oleh anggota masyarakat yang merasakannya. Dengan demikian, bisa diartikan bahwa penolakan praktik-praktik ketidakadilan telah jadi suatu nilai universal, yang berarti diikuti oleh hampir seluruh masyarakat. Isu ketidakadilan juga telah menjadi isu menarik untuk memunculkan gerakan protes oleh kelompok-kelompok tertentu.

Kesadaran  Hukum Dalam Penegakannya

            Ketaatan pada perintah hukum, dan terhadap tegaknya hukum yang di positifkan oleh penguasa negara diakui bahwa hanya berdasarkan sanski-sanskinya saja. Kesediaan masyarakat tanpa dipaksa-paksa untuk menaati hukum tidak serta merta dipatuhi sepenuhnya. Tanpa adanya sikap suka dan rela mengikuti apa yang telah diperintahkan atau dilarang oleh hukum tidaklah aka nada sanski sekeras apapun bisa mengontrol sepenuhnya dari perilaku seorang  subyek. Selalu ada celah dan kesempatan, sekecil apapunyang akan dicoba dimanfaatkan oleh seorang  subyek untuk menghindari diri dari control hukum. Menaati hukum salah satu cara untuk tercapainya determinan hukum secara sosiologos. Dalam hal ini timbul pertanyaan : Apa sajakah yang akan menentukan terbangkit tidaknya kesediaan seseorang untuk menaati hukum ?                             Perlu diketahui seseorang subyek untuk menaati hukum itu di timbulkan oleh kesadarannya, yang artinya kondisi mental tatkala harus menghadapi suatu imperative normative  untuk menentukan pilihan perilakunya. Dengan demikian  proses pengkhabaran dan pengajaran terhadap kesadaran hukum harus dibangkitkan. Pendidikan tidak hanya hendak menanamkan pengetahuan baru (kognisi) saja, akan tetapi juga hendak menggugah perasaan (afeksi) dan membentuk sikap positif.

 

Harapan ini semoga akan dapat membangkitkan rasa taat yang ikhlas oleh masyarakat terhadap hukum. Dan pada intinya proses untuk tercapainya kesadaran hukum terhadap masyarakat diperlukan sikap pemerintah yang serius untuk  mampu mensosialisasikan pemahaman hukum yang dulunya dipakai hukum tradisi di modernisasi kepada hukum positif yang berlaku pada saat ini.

*) penulis adalah, Mahasiswa Hukum pidana Universitas Malikussaleh (UNIMAL), alumni Basri Daham Journalism Institute (BJI)/ AJI Lhokseumawe, saat ini aktif di KSM Creative Minority

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.