Takengen | LintasGayo – “Emas merah” merupakan nafas dan sumber hidup masyarakat pedalaman Aceh yang mendiami kawasan pegunungan.
Di dataran tinggi ini, masyarakatnya mayoritas petani dan mengharapkan “emas merah” sebagai penopang hidup. Butiran peluru berwarna merah itu yang menjadi konsumsi dunia, dengan kadar kafeeinya yang khas, kini dalam kondiisi sakit.
Emas merah yang dihasilkan dari Tanoh Gayo ini sudah go international. Namun walau sudah mendunia, kondisi lapangan dari petani kopi di sana belum diperhatikan secara serius, bagaimana petani di sana bisa memperbaiki nasibnya.
Sebelumnya kemarau melanda Aceh Tengah dan Bener riah, sehingga kondisi batang, daun dan buah kopi menjadi tidak sempurna (sakit). Dalam kondisi itu kemudian datang hujan, dampaknya banyak kopi yang rontok, dimakan ulat (pesot), dan kualitasnya rendah
Menurut Jali, Aman Leni, salah seorang petani kopi di Bintang, Aceh Tengah, musim kemarau lalu telah membuat semangatnya buyar saat kopi menjelang panen.
“buah kopi rontok, jatuh berguguran, bila ada yang masak dan bertahan di pohon kopi,kualitasnya juga rendah, lenen pesot, mupesel,” sebut Warga Dedamar ini.
Hampir semua wilayah di sentral kopi arabika terbesar di Indonesia ini, buahnya gugur ke bumi, walau kini sebagian sudah musim berbunga kembali. “Bunga ini yang kami tunggu semoga dapat menghasilkan dengan baik,” sebut Jali
Bagaimana dengan kopi yang kini sedang hancur (sakit), apakah dengan datangnya bunga, akan kembali berbuah dengan normal di saat penghujan ini. Semoga sakitnta emas merah di dataran tinggi Gayo ini, cepat terobati dan ada pihak yang mampu mengatasi bila terjadi persoalan yang sama. (Iqoni RS)