Pesona Kopi dari Telege Sari

Siapa yang tak kenal dengan kopi Gayo? Salah satu jenis kopi arabica terbaik dari nusantara yang diminati dunia .

Gayo (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues) memiliki hamparan kopi yang mencapai 102.000 hektar. Citarasanya beragam, memiliki ciri khas, tergantung jenis kopi dan daerah berkembangnya tanaman kapein ini.

Kopi  Gayo dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di 1000-1600 meter dari permukaan laut dengan curah hujan 1250-2500 ml pertahun. Suhu juga mempengaruhi keadaan kopi, tanaman ini akan sangat baik di suhu antara 15-25c.

Dari sekian banyak wilayah di Gayo yang mayoritas masyarakatnya mengandalkan hidup dari kopi, terdapat sebuah perbukitan di sebuah kawasan transmigari, dimana kualitas kopinya juga dikenal.

Wilayah itu adalah Telege Sari, Dikecamatan Jagong, Aceh Tengah. Kopi di sana mayoritas didonimansi kopi arabika jenis ateng. Ada ateng super, ateng janda, ateng ilang pucuk dan ateng yang menghiasi perkebunan penduduk dengan sebutan ateng lama.

Ateng lama merupakan primadona petani setempat. Kopi di perkampungan ini kualitasnya lebih bagus bila dibandingkan kawasan kampung sekitarnya, makanya harga kopi di kampung ini sedikit lebih mahal dibandingkan dengan kampung sekitarnya.

“Varietas kopi tertua yang ada di kampung Telege Sari adalah  kopi ateng jaman. Keunggulan kopi ateng ini adalah cepat berbuah, tetapi mempunyai kekurangan,  buah  berukuran agak kecil,” ucap Peraras Nura, 23, salah satu petani di sana yang juga mulai mengolah kopi dengan system roasting.

Menurut Nura, panggilan akrabnya saat berbincang bincang tentang kopi, Sabtu (19/06/2021), kopi ateng ini memiliki masa panen setahun dua kali. Aromanya khas, untuk kampung Telege Sari bobot timbangan kopinya lebih berat, makanya harga jualnya sedikit lebih tinggi dibandingkan kopi lainya.

Kopi ateng  memiliki perawakan semi kutai, jelasnya,  cepat berbuah, sehingga mudah dibedakan. Tetapi  kelemahan kopi ateng ini mulai turun produksinya setelah umur 10 tahun. Sebenarnya masa produktif kopi ini masih bisa diperpanjang.

“Kalau kopi dirawat dengan baik seperti rajin menyeding dahan, memupuk, melakukan penyiangan, membuat gedung angina untuk tempat pupuk, serta memperhatikan sirkulasi udara dan masuknya matahari, kopi ini akan bertahan dan akan tetap berbuah,” jelas lajang yang juga dipercayakan sebagai Kadus di Telege Sari.

Karena kopi di Telege Sari Kualitasnya bagus dan memiliki aroma yang khas, Nura, memanfaatkan kesempatan itu dengan mengolahnya, membuka usaha kecil kecilan. Memanfaatkan kopi itu dengan greenbean dan meroastingnya dan mengemasnya untuk dipasarkan.

Nura memberi nama kopi hasil olahanya dengan Alas Linge Coffe. Dia mendapatkan kopi ini dari masyarakat sekitar. Usahanya terbilang kecil, karena minimnya modal. Masyarakat disekitarnya sudah mulai merasakan cita rasa dan aroma kopi hasil olahan Nura.

Hanya sedikit, sebagian kecil yang dia kirim ke pulau Jawa. Namun walau dengan keadaan terbatas, Nura punya semangat untuk mengembangkan usahanya.

“Walau keadaan terbatas, minimnya modal, namun melihat prospek ke depanya, kopi dari Telege Sari akan diminati masyarakat, saya yakin Allah akan memberi jalan,” sebut anak yatim ini, yang sudah agak lama ditinggalkan ayahnya.

Nura berharap, masyarakat disana untuk tetap mengurus kebunya, apalagi kini harga kopi sudah mulai membaik sejak wabah corona melanda negeri ini. Varietas kopi yang cocok untuk Telege Sari terus dikembangkan, agar tanaman ini tetap menjadi harapan hidup masyarakat.

Di Telege Sari, selain kopi yang menjadi andalan masyarakat, sebagian petani juga mengandalkan tanaman muda, seperti cabai, sayur mayur. *** Ifa Zahra Fadhila, alumni pesantren Al Huda Jagong/Red LG

Comments are closed.