Oleh: hanif sofyan*
Barangkali tidak ada sangkut pautnya antara keterlambatan RAPBA propinsi Aceh dengan APBK di Aceh Tengah. Namun realitasnya, sekalipun DPRK Aceh Tengah telah memiliki ketua, namun terganjal prosesnya karena pihak eksekutif belum mengajukan usulan pengesahan dan pelantikannya. Proses yang berlarut ini tentu saja akan berimplikasi pada molornya pengesahan APBK 2015 yang waktunya sudah sangat terbatas karena sudah hampir memasuki minggu kedua Desember 2014.
Kekuatiran kita tidak hanya pada soal adanya kosekuensi pinalty berupa pemotongan anggaran sebesar 25 persen. Itu artinya dana APBK Aceh Tengah 2015 akan menjadi lebih kecil dari tahun sebelumnya. Belum lagi dampaknya bagi ribuan masyarakat Aceh Tengah secara keseluruhan.
Selama ini pertumbuhan ekonomi, investasi kita masih bergantung pada pembiayaan yang mengucur dari realisasi APBK. Sekalipun Aceh Tengah menjadi lumbung kopi yang telah mondial pemasarannya, namun tidak dapat menafikan peran APBK sebagai penyeimbang pertumbuhan ekonominya. Apalagi orientasi ritual tahunan kita masih bertumpu pada pembangunan infrasturktur, sebagai pola dan cara cepat menghabiskan anggaran, bukan pada orientasi pembangunan sumber daya manusia yang juga memiliki urgensi penting.
Hal ini harus menjadi catatan karena dalam Forum Kopi Internasional di Unsyiah medio November 2014 lalu, yang mengangkat komoditas unggulan kopi ke pasar Uni Eropa, ternyata nasib petani kopi masih lemah. Sekalipun kopi Arabika dan Robusta Aceh Tengah diburu pasar global dan dihargai sebagai komoditas paling unggul dari sembilan jenis kopi varietas lokal lain di seluruh dunia. Persolannya sangat sederhana, pemasaran, penyuluhan, peremajaan bibit kopi dan sistem pengolahan pra panen, panen dan paska panen masih menjadi persoalan krusial. Intinya soal sumber daya manusia menjadi sangat darurat saat ini untuk melambungkan kembali kejayaan petani kopi. Dan itu dimungkinkan, salah satunya dengan tersedianya ‘stok’ dana dalam APBK 2015 kita.
Sementara di tataran pemerintahan kita, justru berkutat pada soal tehnis ‘ pengajuan’ sumber daya modal pembangunan yang sudah jelas tersedia namun belum jelas nasibnya. Tentu berbagai implikasi ini akan tertumpah pada para anggota DPRK dan eksekutif sebagai representasi wakil rakyat. Apa yang menjadi inti persoalan mengapa DPRK hingga hari ini belum dilantik dan disahkan kepengurusannya, mudah-mudahan bukan soal beda kepentingan. Karena akan menjadi sangat absurd jika inti persoalannya adalah tarik ulur kepentingan itu.
Mestinya persoalan ini juga menjadi perhatian yang intens dari gubernur selaku representasi pemerintah yang berwenang mengeluarkan Surat Keputusan (SK). Atau mungkin karena di tingkat propinsipun masih disibukkan dengan diskursus soal Tata Tertib (tatib) yang tak kunjung usai karena masih terjadi tarik ulur Pusat dan Propinsi?.
Namun tentu tidak relevan mengaitkan soal keterlambatan di propinsi dengan keterlambatan di daerah, mengingat di masing-masing daerah telah memiliki otoritas penanggungjawab untuk mengawal pembangunannya.
Terlepas dari kaitan itu, mestinya blundernya tidak mengimbas kepada APBK Aceh Tengah 2015, dimana inisiatif cepat harus dilakukan oleh DPRK, karena menunggu munculnya kebijakan dari eksekutif, di luar konteks politis menjadi sangat naif. Jauh berbeda dari semangat mereka ketika maju ke ‘tampuk’ dewan yang sangat menguras ‘tumpok’ dan tenaga.
Dampak ini menyangkut ‘nama baik’ dan nasib ribuan rakyat di Aceh Tengah, sehingga krisis parlemen, pemerintahan harus disikapi dengan sangat serius. Tidak perlu harus melewati rangkaian konflik horizontal yang bisa saja muncul sebagai implikasi ketidakpuasan atas kondisi yang sesungguhnya sangat tidak diharapkan, konon lagi sampai muncul ‘parlemen jalanan’.
Setidaknya kasus ini menjadi pembelajaran bagi para pengambil kebijakan pembangunan di daerah, terutama karena soal pengganggaran merupakan ‘ siklus’ tahunan yang rutin dilakukan. Agar jebakan politis tidak mencederai kesejahteraan dan nasib ribuan rakyat yang ada dibawahnya hanya karena di tataran elit berbeda cara pandang dan beda kepentingannya.
pemerhati sosial ekonomi*