Mensikafi proses “drama politik” di gedung DPRK Aceh Tengah; periode 2014 – 2019; khususnya dalan hal penyususnan TATIB DPRK yang difasilitasi oleh Pimpinan sementara DPRK Aceh Tengah, sesuai PP 16 Tahun 2010, pasal 38 ayat 1. Serta yang berkaitan dengan Pembentukan Alat Kelengkapan Dewan;khususnya Pimpinan Dewan, tampaknya cukup menarik perhatian khalayak; khususnya kami memandang secara akademis,dan legalitas formal dari lahirnya sebuah kebijakan.
Prinsipnya adalah;bahwa lembaga DPRK Aceh Tengah yang merupakan representasi 200 ribu lebih rakyat Aceh Tengah, telah semestinya mengambil kebijakan-kebijakan,baik mengenai dirinya sendiri maupun terhadap rakyat yang diwakilinya secara arif dan bijaksana. Lembaga DPRK Aceh Tengah adalah sebuah lembaga yang publik yang merupakan pelaksana dari undang-undang, bukan penafsir dan Pembuat Undang – Undang. Kecuali DPRRI; DPRRI lebih khusus,mereka pelaksana sekaligus pembuat Undang – Undang. Tupoksi DPRK dalam bentuk Legislasi terbatas pada pembentukan Qanun/Perda dan kebijakan-kebijakan lain yang diatur Undang – Undang.
Dilema lembaga perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tengah sampai hari ini belum juga menemui titik temu. Akan tetapi tampaknya celah untuk mereka berembuk kembali mencari solusi paling pas tampaknya mulai terbuka lagi, setelah Gubernur Aceh; melayangkan surat tertanggal 8 desember 2014: yang ditujukan pada pimpinan sementara DPRK Aceh Tengah. Secara etika politik dan etika pemerintahan tentunya segenap anggota DPRK hampir dipastikan harus merujuk pada surat Gubernur ber nomor :171.2/41029 tersebut. Karena secara pemerintahan juga; bahwasanya SK Pengangkatan Anggota DPRK berasal dan diteken oleh Gubernur, Dan dalam surat itu telah secara gamblang dijelaskan bahwa “agar kiranya DPRK Aceh Tengah mempedomani UU No.11 Tahun 2006 pasal 30 serta UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 164 dan dalam hal mekanisme pengangkatan Pimpinan DPRK Aceh Tengah,agar mempedomani PP No.16 Tahun 2010. PP 16/2010 adalah tentang Pedoman Penyusunan Peraturan TATIB DPRD”. Artinya hal ini tentu sebuah titik terang dari “kesimpangsiuran” sumber aturan dalam pembentukan Pimpinan DPRK Aceh Tengah. Dengan keluarnya surat tersebut, hakikatnya adalah mengembalikan semua persoalan legalitas Kepemimpinan DPRK Aceh Tengah pada Peraturan perundang – Undangan yang berlaku.
Bahwa perlu juga kita sampaikan bahwa pasal 30 UU PA (UU No.11 Tahun 2006) ayat 1; mengatur tentang apa saja itu AKD (alat kelengkapan dewan); mulai dari Pimpinan sampai dengan komisi – komisi. Kemudian pada ayat 2:dijelaskan bahwa pembentukan,susunan dan tugas AKD diatur dalam TATIB.
Nah dalam UU No. 11 Tahun 2006 tidaklah diatur mekanisme pembentukan AKD itu; melainkan diatur dalam UU No.23 Tahun 2014 pada pasal 164 ayat 2,3 dan 4 serta ayat 7. Dan hal ini sinkrons dengan PP 16 Tahun 2010 pasal 37 ayat 2 s/d ayat 9. Serta pasal 39 beserta penjelasannya.
Sehingga tampaknya ini menjadi titik kulminasi bahwa DPRK Aceh Tengah akan mengahiri dramanya; apalagi ini sudah Injury Time dalam hal pembahasan dan pengesahan guna mendapatkan persetujuan bersama antara DPRK dan Kepala Daerah tentang APBK 2015 yang itu menurut surat edaran Mendagri tertanggal 24 November 2014 wajib sifatnya. Manakala ketentuan ini tidak dipatuhi; maka berkonsekwensi pada tidak dibayarkannya hak – hak keuangan Kepala daerah dan DPRD selama 6 (enam) bulan.
Dalam episode drama kali ini tampaknya akan sedikit butuh pengorbanan yang cukup berarti. Bahwa dengan surat gubernur tersebut legalitas kepemimpinan DPRK dikembalikan dan harus mengacu pada UU No.11 Tahun 2006 pasal 30,serta UU No.23 Tahun 2014 pasal 164 dan mekanisme pembentukan AKD dan pembentukan TATIB merujuk pada PP 16 Tahun 2010; maka dipastikan kembali bahwa Pimpinan DPRK secara Otomatis akan diisi oleh kader Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Nasdem.
Tentu hal ini menyisakan sedikit persoalan yang kurang “mengenakkan” bagi fraksi PAN; yang kadernya urung menjadi salah satu unsur Pimpinan DPRK. Akan tetapi demi kemaslahatan bersama dan demi terjaminnya legalitas Pimpinan DPRK Aceh Tengah kedepan serta produk-produk yang mereka hasilkan baik dari sisi legislasi,budjeting dan controlling dapat menjadi kuat secara hukum, maka kondisi ini secara lapang dada tampaknya akan diterima.
Bahwa sekiranya tidak diterima; ya tentu agak membingungkan kita selanjutnya dan “kesimpangsiuran” ini akan berlanjut, tentunya semua kita hal itu tidak kita inginkan. Kita ingin DPRK Aceh Tengah kedepan lebih sejuk, lebih banyak melahirkan prestasi-prestasi positif, bukannya menghasilkan drama – drama politik yang menguras energi disaat masyarakat sedang menagih janji,guna perbaikan kesejahteraan dan perbaikan dari semua sisi. Semoga semua fihak berfikir semakin jernih. “Salah bertegah benar berpapah”.
Penulis : Yunadi HR ; pemerhati sosial politik Tanoh Gayo. Dosen FISIPOL UGP.