Catatan : Bahtiar Gayo/ Wartawan Waspada
Sebelum Bur Telege, Kampung Bale, Aceh Tengah, dikelola untuk menjadi obyek wisata alami, saya sudah beberapa kali menikmati kopi pagi menjelang matahari terbit, persisnya di Atu Tingok. Usai shalat subuh saya sudah di sana.
Ketika mentari masih malu keluar dari peraduanya, kopi pahit arabika Gayo yang mengalir di tenggorokan saya terasa nikmat. Dingin menusuk tulang, kopi pahit dan kepulan asap dari bibir dapat mengusir tantangan alam, sambil menunggu sinar surya memancar ke kota Takengen.
Saya pernah juga ditemani dua wartawan tempo, menikmati kopi pagi di Atu Tinggok, menjelang matahari terbit. Wartawan tempo ini melakukan liputan obyek wisata di Indonesia. Pilihan mereka Aceh, Takengen dengan Danau Lut Tawar, serta penghidupan masyarakat.
Saat mahatari pelan pelan menampakan dirinya di ujung Bintang, mata saya tak berkedip rasanya. Terasa ada kekuatan di dalam hati yang mengalir dalam darah. Mata saya terus mengikuti berlarinya sinar surya ini.
Pelan pelan kemilau di danau terlihat memantul ke udara. Gunung yang gelap, semakin indah ketika pertama kali disiram matahari yang terus berlalu sampai ke jantung kota Takengen…… Allahuakbar, bibir saya mengucapkan kalimat yang keluar dari hati. Begitu cinta dan sayangnya Tuhan kepada bumi Gayo.
Begitu indahnya negeri ini ketika pertama disinari matahari. Masya Allah sangat sempurna ciptaanmu ya Rabbi. Ketika mentari sudah menyinari bumi, pelan pelan saya teguk kopi pahit, rasanya sulit dikatakan bagaimana nikmatnya.
Sambil menikmati indahnya alam Gayo, di atas Atu Tingok, saya merenung. Mengasah hati untuk lebih mengerti siapa sebenarnya diri ini. Ketika fitrah manusia sudah berbicara, dia akan mengerti mengapa tuhan menciptakan ini semuanya?
Manusia dan alam adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. Namun manusia tetap manusia dan alam tetap alam, semuanya mahluk tuhan. Lantas mengapa diantara kita lupa kepada siapa diri kita yang sebenarnya. Mengapa kita ingin menguasai semuanya mahluk ciptaan Tuhan?
Memang Tuhan memberikan semuanya untuk kita manusia, namun dalam memanfaatkanya, kita punya tatanan, ada aturan. Bukan menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu keinginan kita.
Tanpa terasa ada tetesan air mata saya, haru bercampur sedih. Timbul pertanyaan dari nurani saya yang masih sulit saya menjawabnya, bila melihat keadaan saat ini. Manusiakah kita atau kita ingin lebih dari manusia untuk melawan kudrat Tuhan?