Oleh: Sadra Munawar*
Pada sistem demokrasi, kerap timbul siluman pengkritik yang mengatasnamakan dirinya sebagai orang yg ideal dan bersih. Kebebasan berpendapat dan berekspresi ia manfaatkan untuk memberi manuver kritikan sebagai upaya mendekatkan diri pada penguasa dan bahkan pengusaha.
Mereka yang berprofesi demikian, sekilas tampak anggun dan mempesona. Apalagi ketika berbicara, semua mata tertuju padanya, sehingga aroma pembicaraan mampu menggoyangkan pikiran dan jiwa. Matanya, bibirnya, dan tangannya memainkan peran, layaknya seperti pengkritik sejati yang berkualitas.
Mereka yang melakukan hal ini biasanya pasca tidak lagi sebagai mahasiswa, atau tak punya kerja yang tetap. Bahkan kerap mereka berkedok pada berbagai profesi, bisa hari ini jurnalis, esoknya aktifis, esoknya proyektis, atau pimpinan LSMis. Bagi yang kurang jitu atau mata hatinya sedang berlagu, maka ia tak akan menyadarinya.
Bahkan, ada juga yang berprofesi pegawai negeri maupun swasta. Semakin lengkap, jika ia punya media dan bahkan punya lembaga yang terus melakukan manuver kritik tanpa henti. Kebanyakan yang berprofesi demikian adalah mereka yang berasa dirinya lebih senior atau tua dan merasa paling berpengalaman.
Nah, profesi demikian penulis namakan sebagai siluman penyembah penguasa. Kala ia sepi, maka ia akan mencari mangsa, tapi jika sudah dicari maka ia akan sembunyi menunggu siapa yang akan menemuinya.
Silahkan kita perhatikan siapa sebenarnya siluman penyebah penguasa ini. Pada satu ketika, kita tak bisa mengelak bahkan kadang terjebak atau dengan sengaja melibatkan diri karena tak tahan puasa. Ya, nasib mereka bergantung pada pristiwa dan dinamika politik yang ada.
Silahkan kita renungkan, jika kita yang begitu, maka segeralah merubah diri menjadi siluman pengawas penguasa. Kapan, dimana, dan apa yang dilakukan menjadi catatan penting untuk dipertanggungjawabkannya, apalagi ia adalah seseorang yang terpilih karena pilkada.
*Ketua Bid. PA HMI Cab. Lhokseumawe