Ali AbubakarAman Nabila*
Di dataran tinggi Gayo, khususnya di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah, sudah sejak lama dikenal fabel atau dongeng tentang binatang Atu Bale (batu balai pertemuan). Dikaitkan dengan batu karena di wilayah ini ditemukan sebuah batu besar yang bergambar telapak kaki berbagai jenis binatang, seperti sebuah “tanda pengesahan” atas sebuah keputusan musyawarah. Sampai kini batu tersebut masih ada, tetapi banyak yang sudah rusak karena berada di alam bebas dan sering dijahili manusia.
Alkisah, menurut yang empunya cerita, wakil-wakil dari para binatang melakukan pertemuan besar di sekitar atu bale itu untuk memilih siapa yang layak menjadi raja hutan. Harimau lalu mengajukan diri. Ia cocok menjadi raja karena kuat, cepat, dan ditakuti. Tetapi rakyat hutan tidak setuju karena ia dikhawatirkan akan memakan rakyatnya sendiri kalau sedang kelaparan. Lalu kera berbicara, kalau untuk raja, dialah yang paling tepat. Ia dapat bergerak dan bernegosiasi “di atas” untuk mengawasi semua rakyatnya. Rakyat juga tidak setuju karena kera terkenal rakus. Walaupun sudah kenyang, mulutnya masih penuh, tangan dan kakinya masih mengait banyak makanan. Uniknya lagi, dalam keadaan seperti itu, ia masih suka mencibir siapapun yang melihatnya.
Lalu kancil maju. Ia mengaku cerdas, berakal, dan pintar berpolitik. Banyak masalah binatang yang telah ia selesaikan. Para binatang juga tidak setuju karena kancil sering menipu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia selalu memanfaatkan kelemahan hewan lain untuk kepentingannya. Buaya dan harimau sudah sering menjadi korbannya.
Setelah itu gajah, rusa, badak, dan elang maju, tetapi tetap tidak mendapat suara aklamasi dari warga yang memiliki hak suara karena semuanya memiliki kekurangan. Anjing yang cerdas, pintar, setia, gesit, dan berani menilai dirinya sosok yang paling ideal untuk raja binatang. Hampir semua hewan setuju, kecuali rusa. Awalnya rusa tidak mau mengungkap alasannya karena aib tidak boleh disebarkan katanya. Setelah dipaksa, ia akhirnya mengatakan bahwa anjing tidak cocok untuk raja karena duduknya sangat tidak sopan (cangkung). Tidak etis kalau memimpin rapat. Anjing tersinggung. Ia bersumpah, tidak akan berhenti mengejar rusa sampai ia dapat memakan hatinya. Dan, kata sahibul hikayat, itulah sebabnya anjing selalu siap memburu rusa dan ia tidak mau lagi berburu kalau sudah diberi makan hati rusa.
Siapa kemudian yang menjadi raja karena semuanya memiliki kekurangan? Dalam satu versi cerita atu bale ini, ayam dinilai paling ideal karena kelebihannya yang memberikan perlindungan buat anak-anaknya. Pagi hari, kokokannya selalu membangunkan warga agar dapat memulai hari dengan cepat. Jika ada bahaya yang mengancam, ia memberikan warning kepada warga melalui informasi berantai. Terlepas dari kekurangannya yang mudah sekali berpoligami, kelebihannya dibutuhkan oleh warga hutan karena yang mereka inginkan adalah kelestarian dan terhindar dari serangan musuh. Akhirnya, warga hutan secara aklamasi memilih dan membaiatnya menjadi raja.
Apa pesan moral yang disampaikan atu bale ini? Tidak lain adalah bahwa setiap calon pemimpin, atau calon anggota legislatif (caleg), memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi juga memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kita harus memilih secara selektif sosok yang memiliki kelebihan yang dibutuhkan untuk menutupi kekurangan kita, sementara kekurangannya dapat dimaafkan. Kita harus memilih, walaupun yang terbaik di antara yang tidak baik.
Saat ini, ketika para cagub/wagub dan cabub/wabub memampangkah gambar melalui koran, internet, televisi, radio, stiker, spanduk, atau baliho, masing-masing menyertakan kelebihan pribadi atau partainya. Di berbagai foto calon, dengan mudah kita menemukan kata-kata yang mengedepankan integritas pribadi: cerdas, tegas, disiplin, muda, jujur, amanah, istiqamah, takwa, profesional, pembawa suara rakyat, kritis, adil, peduli perempuan, saatnya perempuan memimpin, setia pada pemilih, awak droe, dan lain-lain (belum ada yang berani mengungkap cantik atau tampan, padahal harus diakui bahwa keduanya juga dinilai sebagian pemilih). Atau menggunakan slogan partai: pengusung syariat Islam, konsisten pada MoU, anti korupsi, anti skandal, prioritas pendidikan, pembangunan ekonomi pedesaan, bersama kita membangun, saatnya berubah, aman, Aceh beujaya, hudeep saree, ade beurata, matee syahid, peujroh nanggroe, damee, sepakat segenep (Alas), beluh sara loloten mowen sara tamunuen, lemem beramik pantas berulo (Gayo), dan lain-lain. Namun juga tidak sedikit yang hanya menggunakan pesan sederhana: selamat idul adha 1432H, mari tingkatkankan semangat berkurban, di samping foto pasangan calon ybs, dan tidak lupa nama pulan dan pulen.
Untuk memperkuat jati diri, sebagian calon juga “menyandarkan diri” pada orang tuanya yang sudah lebih dulu populer dengan menulis lengkap bin/binti, potret kiprah di masyarakat sebagai latar fotonya, tokoh pendiri partai, atau ulama pendukungnya. Bahkan, di beberapa tempat, foto pendiri partai dibuat lebih besar dibanding calon sendiri.
Semua kelebihan yang ditonjolkan itu tentu sah-sah saja, karena ibarat menjual tentu harus menyatakan barangnya terbagus dan bermutu sehingga pembeli bersedia membelinya. Masalahnya adalah, apakah pembeli membutuhkan barang-barang yang ditawarkan itu? Kita membeli karena hobi shopping atau karena kebutuhan? Membeli sesuatu yang tidak kita butuhkan adalah sebuah sikap yang salah karena dianggap mubazir alias perbuatan yang sia-sia, karena kita hanya menguntungkan penjual, sementara kita sendiri tidak dapat memanfaatkannya.
Di sinilah pentingnya kecerdasan kita sebagai pemilih. Kita harus mengerti apa masalah atau kekurangan yang kita hadapi bersama sehingga kita tahu apa sesungguhnya yang kita butuhkan. Dengan demikian, kita baru bisa menentukan kelebihan calon pemimpin yang kita anggap dapat menyelesaikan masalah kita. Yang jelas, tampaknya tidak baik menjadi tidak peduli, pasif atau golput, karena sikap itu justru akan melahirkan pemimpin yang “sembarang orang”. Itulah juga yang menjadi salah satu pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga memfatwakan bahwa golput adalah tindakan yang tidak dibolehkan dalam agama. Mungkin sulit mencari tokoh yang benar-benar ideal, tapi itu tidak berarti bahwa dia tidak ada. Mungkin sulit mencari sosok yang memiliki kelebihan yang banyak dan kekurangan yang sedikit, tetapi karena kita harus memilih, maka kita harus menjadi waras walau hidup di dunia yang tidak waras.
Selain itu, bercermin kepada atu bale, para calon reje dan pendukungnya dituntut bersikap sportif, tidak dendam, tidak memaksa, tidak ada intimidasi, dan bersaing secara sehat. Di samping menunjukkan kelebihan-kelebihan, baik pribadi atau partainya, juga harus harus bersikap berlapang dada jika ada calon atau orang lain yang menunjukkan kekurangan dirinya. Semua itu dilakukan agar pemilih betul-betul dapat menentukan pilihan dengan tepat. Jika sikap ini tidak dijaga, pemilu akan berimbas pada munculnya konflik horizontal dan masalah yang kita hadapi bersama selamanya tidak terselesaikan. (03)
——
*Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh